Chapter 30

9K 709 44
                                    

10 November 2020

•••

Di dalam pesawat, mereka duduk berhadap-hadapan, kala sang Nyonya Besar hanya menatap gado-gadonya yang sudah disediakan sedemikian rupa dengan baik, terlihat sendu. Sementara ayah Ugo dan Ugo menatap sosok di samping wanita itu yang sibuk memainkan ponselnya dengan tertegun.

Wajahnya ... wajahnya itu ....

Nyonya Besar pun dengan agak ketakutan, memasukkan sesendok gado-gado ke mulutnya, dan tiba-tiba ia menutup mulutnya. Terdiam. Tanpa disangka berdiri dari duduknya dan berlari menjauh.

"Mom? Apa yang terjadi?" tanya pria itu, kaget.

Ia menatap Ugo dan ayah Ugo yang kaget. "Kalian masukkan apa makanan ini? Kalian apakan?!"

"Ka-kami--"

Tanpa pikir pria itu menggebrak meja dengan keras, berdiri dari duduknya dan menyusul ibunya. Sementara Ugo dan ayahnya masih kaget, kesulitan mencerna.

"Dad, wajahnya ...."

"Wajahnya mirip tukang gado-gado itu?" tanya sang ayah.

"Nasrul ...."

Ya, wajah pria itu mirip Nasrul. Pria berjas hitam itu, yang membuat mereka buru-buru masuk ke dalam pesawat. Tak ada percakapan karena Nyonya Besar diam terus karena gado-gado itu, sementara Ugo dan ayahnya syok, dan pria itu sendiri tak peduli.

Kini ia ada di toilet, menyadari ibunya kelihatan menangis tersedu. "Mom, ada apa?"

"Gado-gado ini ...." Wanita itu menatap sang pria muda, anaknya, dengan wajah sendu. "Mirip buatan ayah kamu, ayah kamu masih hidup ...."

"What?" Ia kelihatan kaget.

"Dia mungkin masih hidup, bersama kembaran kamu," kata si wanita, menatap putranya dengan yakin.

"Mom, mungkin aja resepnya sama, kita udah nyari di mana-mana tapi Dad dan kembaran aku udah meninggal dari lama, kan? Ingat? Mereka udah tiada dan kuburannya--"

Wanita itu menggeleng. "Enggak, gak mungkin. Rasanya begitu sama, Sayang. Sama ...." Ibunya menangis tersedu, dan ia langsung menariknya ke dalam pelukannya. "Mereka masih ...."

"Oke, aku akan cari mereka, Mom." Ia menatap si wanita dengan wajah penuh keyakinan. "Mom saja yang pulang, biar aku di sini."

"Quill ...."

"It's okay, Mom. Don't worry about me."

"Thanks, Honey ...."

"No problem, Mom."

"Kamu, Mom tempatkan di perusahaan ini juga, kamu oke dengan itu?" Quill hanya mengangguk.

Dan setelahnya, Quill membawa ibunya ke Ugo dan ayah Ugo yang masih syok, dan barulah mereka sadar dan langsung meminta maaf.

Quill menghentikan aksi mereka. "Di mana kalian beli gado-gado ini?" tanya Quill.

"Ga-gado-gado pinggir jalan, di ...," jawab Ugo menjelaskan lokasinya, keduanya seakan blank.

"Hm, oke." Ia kemudian menatap ibunya. "Mom, sebaiknya Mom ke ruang istirahat. Dan kalian, jangan mengganggu ibu, oke?"

Dan kemudian, Quill keluar dari pesawat yang belum naik ke udara, ia membawa beberapa perlengkapan sebelum akhirnya beranjak menuju ke apartemen terdekat. Hal yang ia lakukan terlebih dahulu, adalah istirahat di sana karena begitu kelelahan sambil mengingat lokasi warung yang dimaksud.

Ia juga mengingat masa lalunya, beberapa tahun lalu.

Ibunya bilang, dulu, ibunya menikah dengan seorang pria kampung penjual gado-gado keliling kecil-kecilan yang bercerai karena masalah ekonomi. Karena sekalipun memiliki gado-gado terenak, mereka tak pernah kaya dan selalu kehabisan modal karena kebaikan hati ayahnya yang selalu berbagi. Ibunya tak tahan, kala ia berusia empat tahun, kabur membawanya ke luar kota dan merantau, nasibnya berubah ketika menikmati pria tua dan mendapatkan hartanya, dan memulai kariernya hingga mendunia. Mereka cerai mati karena ayah tirinya tak memiliki anak dan warisan, tentu jatuh ke tangan ibu dan dirinya.

Sebenarnya, saat itu ayah dan ibunya cekcok, ibunya sendiri berkeinginan memenangkan pengadilan tetapi sayangnya pengadilan memilih hak asuh dibagi dua agar adil. Hingga terpaksa mereka pun terpisah.

Setelah berpisah, bertahun-tahun kemudian, ibunya yang berfinansial tinggi dan terkenal pun merasa lebih berhak atas kembarannya lagi hingga memilih mencari keberadaan mereka di kampungnya yang lama. Sayang, yang mereka temukan hanyalah makam yang katanya milik ayah dan saudara kembarnya. Mereka meninggal, kata orang-orang di situ, ibunya sempat terpukul hingga akhirnya bangkit kembali.

Ia dan dirinya.

Dan kali ini, Quill hanya ingin membuktikan sesuatu. Benar atau salah, ia tak peduli, yang terpenting sesuatu terbongkar dulu. Dan yah ia malas melakukannya, karena ia baru saja melakukan perjalanan jauh hanya untuk menjemput karyawan barunya.

Aneh saja, malah bos besar yang menjemput.

Ia tahu kemungkinan besar karena ibunya punya rasa dengan pria itu, ayah Ugo, tetapi ada yang aneh di Ugo. Ada suatu hal yang membuat Quill sebal melihat wajah pria itu, entah apa alasannya, intinya ia ingin menonjoknya tetapi ia harus santai, ia bisa mengatasinya.

"Hah ...." Quill menghela napas, memejamkan matanya, sebelum akhirnya tertidur pulas.

Bangunnya, suasana sekitar sudah malam hari, dan ia rasanya jam segini ibunya mungkin sudah pulang ke negeri luar negeri sana, dan ia pun mengambil ponsel yang nyatanya lupa ia matikan mode pesawatnya. Melepaskan mode, dan muncullah banyak notifikasi yang ada.

Ada ibunya, berpesan jika akan ada seseorang menjemputnya besok, tinggal beritahu alamat Quill saat ini.

Kemudian, nyatanya ada panggilan beruntun dari kontak bernama "Babe" di sana. Ia pun menghubunginya balik dan tak butuh waktu lama, panggilan pun dijawab.

"Babe, maaf tak menghubungimu, aku ketiduran dan lupa mematikan mode pesawat. Dan yah, aku tak bisa pulang, ada urusan di kampung halamanku," kata Quill dengan berbahasa Inggris.

"Aku mohon, pulanglah ...." Suara wanita berbahasa Inggris di seberang sana terdengar memohon. "Ada sesuatu yang ingin aku katakan."

"Babe, katakan saja saat ini, sudah kubilang aku tak bisa pulang sekarang."

"Aku hamil." Mendengarnya, mata Quill membulat sempurna. "Aku tak pernah berhubungan badan dengan siapa pun selain dirimu, dan aku ingin hubungan kita lebih--"

"Aku belum siap." Quill menggeleng. "Aku belum dengan pernikahan dan menjadi seorang ayah."

Dan di seberang sana, si wanita terisak. "Kenapa? Kenapa kau begitu menggantungkan ini?"

Quill mendengkus, ia menggeleng pelan. "Beri aku waktu satu bulan, aku akan pulang nanti."

"Quill--"

Dan panggilan dimatikan sepihak, Quill kemudian mengaktifkan mode pesawat lagi. Ia menuju ke kamar mandi, membersihkan diri sekaligus menenangkan diri dengan pikirannya yang kacau. Lalu rasa lapar membuatnya makan usai berpakaian meski hanya sedikit sebelum akhirnya menenggak sebuah obat, ia kembali membaringkan diri dan reaksi obat membuatnya cepat tertidur.

Quill bangun di pagi hari dengan begitu lesu, meski demikian ia memaksakan diri bangun, membuka ponsel dan menyalakan mode lagi hanya untuk mendapatkan notifikasi penuh dari kontak bernama Babe. Ia mengabaikannya dengan menghapus riwayat dan memilih mengirimi alamat ke orang yang kata ibunya akan menjemputnya.

Quill membersihkan diri, memakai pakaiannya, kemudian sarapan. Ia mungkin banyak pikiran sekarang tetapi ia menepis itu, masih banyak waktu. Ia harus bersikap profesional dan cepat-cepat menemui saudara kembar dan ayahnya yang entah masih hidup atau tidak.

Tak butuh waktu lama, bel apartemennya berdering memandakan ada tamu, dan dengan itu ia membukakan pintu.

"Pagi, Pak Jovanni!"

"Yep, pagi!"

"Mari kita berangkat," katanya dan Quill hanya mengangguk mengekori pria itu.

BERSAMBUNG ....

•••

Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie

MAS NASRUL [B.U. Series - N]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang