Chapter 28

8.2K 746 26
                                    

8 November 2020

•••

"Hm warung kalian keliatan luas dan nyaman, ya," kata ibunda Vivi kala menatap sekitaran, kemudian ke arah pelanggan yang tengah makan. "Lumayan rame juga."

"Mari, Bu, Yah!" Vivi mempersilakan mereka masuk, membawa mereka menuju ke meja khusus yang kosong hanya untuk mereka berdua. Nasrul pun ikut menghampiri mertuanya, bersalaman kemudian.

"Bu, Yah," sapanya.

"Berapa sewanya kalian ini?" tanya ayah Nasrul, menatap sekitaran dengan pandangan memicing.

"Lumayan, Yah. Sesuai penghasilan kami," jawab Vivi sedang Nasrul kelihatan was-was akan mertuanya itu.

"Ini cuman kalian berdua aja karyawannya? Apa gak capek?" tanyanya, dan keduanya terdiam. Memang melelahkan tetapi keduanya tahu arah pembicaraan saat ini. Ia pasti tak ingin anak semata wayangnya susah.

"Rencananya nanti kami nyewa beberapa karyawan, Bu, Yah. Tinggal nunggu dana pas," jawab Vivi, tersenyum simpul.

"Hm, baguslah, kamu jangan capek-capek, ya." Pria tua itu tersenyum ke anaknya.

"Iya, Yah." Dan segera, Vivi mengganti topik. "Ayah sama Ibu mau pesen apa? Kami punya banyak menu, lho."

"Gado-gado aja dua, ya. Minumnya teh anget."

"Siap, Bu, Yah!" Nasrul menjawab. "Vivi, kamu temenin orang tua kamu aja, ya. Biar aku yang bikin."

"Siap, Mas." Dan Vivi duduk di antara kedua orang tuanya.

"Kamu gak capek, kan, Vi?" tanya sang ayah. "Kelakuan suami kamu gimana? Dia baik, kan?"

Ibunya hanya menghela napas sambil geleng-geleng, malas ikut campur.

"Capek, iya. Tapi aku seneng aja, kok, Yah. Mas Nasrul itu dewasa, baik, dan seneng manjain aku. Dia ... emang pilihan tepat." Vivi tersenyum mengingat apa yang dilakukan Nasrul selama ini. Betapa sempurnanya suaminya, andai ia bertemu lebih awal.

"Vi, kamu enggak lagi mengandung?" Lagi, ayahnya bertanya dengan khawatir.

"Eh, aku lupa terus ...." Vivi tertawa pelan. "Aku rasa belum, Yah, soalnya aku gak ngerasa ada."

"Jangan begitu, Vi. Kamu harus cek, coba juga hitung terakhir kamu menstruasi. Terus, nih, ya, ada kehamilan yang emang gak keliatan, gak ada tanda-tandanya." Sang ibu menasihati.

Vivi mengangguk. "Iya, Bu. Nanti pas pulang ini aku ngajak Mas Nasrul beli test pack."

Tak lama, pesanan kedua orang tua mereka pun datang, Nasrul menyediakannya di depan sang orang tua, dan mereka pun makan dengan lahap tanpa bicara. Nasrul terlihat kembali menerima pesanan.

"Bu, Yah, aku tinggal, ya. Mau bantuin Mas Nasrul." Mereka tak bisa melarang anak mereka itu, hanya bisa memperhatikan keduanya yang tengah melayani pelanggan.

"Apa-apaan Nasrul itu!" kata ayah Vivi kesal melihat Nasrul digodai para wanita. "Di depan Vivi lagi! Mentang-mentang jual tampang!"

"Yah, udah ...." Istrinya menenangkan.

"Bu, Ibu harusnya lihat wajah Vivi, dia kelihatan sedih." Suaminya menggeleng. "Memang dasar!"

"Yah ...."

Mendengar itu, ayah Vivi menghela napas panjang. Ia sadar, ini akan menjadi urusan rumah tangga mereka. "Tapi kalau berlebihan nanti, kita mau gak mau harus ikut campur."

Setelah selesai makan, orang tua Vivi pun berpamitan, dan Nasrul bisa melihat ... bukannya semakin bahagia tetapi wajah keduanya terlihat semakin jengkel ke arahnya. Ia tak tahu letak kesalahannya dan itu membingungkan, mungkinkah karena Vivi?

Ia terus memikirkan itu hingga hari melelahkan mereka pun selesai.

Saat pulang, mereka menuju ke klinik terlebih dahulu untuk membeli test pack, sebelum akhirnya ke rumah. Dan di rumahlah, Nasrul pun mulai mengutarakan isi pikirannya.

"Vi, mmm ...." Ia agak khawatir angkat suara.

"Kenapa, Mas?" tanya Vivi bingung akan tingkah suaminya.

"Vi, mulai besok aku aja yang ngurus warung, kamu di rumah aja, ya?"

Vivi terkejut sebentar, tetapi setelahnya ia menghela napas. "Soal orang tuaku, ya, Mas? Udah, enggak usah dipikirin, ini rumah tangga kita. Harusnya mereka lihat sisi baik kamu, aku bahagia sama kamu."

Nasrul ... agaknya meragukan itu.

"Terlebih, kalau di rumah doang, aku ngapain? Gak terlalu banyak yang aku urus, kan? Mending aku nemenin kamu."

Hm benar juga ....

"Tapi, takutnya kalau terlalu capek, kandungan kamu ...." Kali ini, Vivi yang memikirkannya. "Mungkin kamu libur aja beberapa hari, jangan terlalu capek-capek pokoknya."

"Bentar aku ngecek aku hamil atau enggaknya dulu, Mas." Vivi pun berdiri dari duduknya, menuju kamar mandi, dan Nasrul masih kepikiran soal ini.

Sedang Vivi sendiri, memang agak dilema. Ia ingin membantu suaminya, sekaligus menjaga pria itu juga dari para wanita ganjen itu, tetapi jikalau ia hamil ... ia khawatir dengan itu. Kini ia mengecek kehamilannya dengan test pack, dan berdasarkan tes urin ....

Vivi keluar dari kamar mandi, menuju ke suaminya.

"Garis dua, Mas. Aku positif hamil." Mendengarnya, Nasrul tersenyum gembira, begitupun Vivi. Nasrul menghampirinya dan memeluk istrinya itu lembut.

"Nah, kalau begini ... jadinya lebih baik kamu di rumah, kan?"

Wajah Vivi seketika sendu menatap Nasrul, ada rasa tak enak hati mendengarnya. Hal yang membuat tatapan Nasrul membingung sementara Vivi sendiri dilema.

Sampai, sebuah ide melintas.

"Aku bareng Mas aja dulu, kan usia kandunganku masih muda. Aku mungkin bisa kerja bareng Mas, aku janji gak lakuin hal berat-berat, kok."

Melihat wajah memelas istrinya, Nasrul pun jadi merasa sepertinya itu keputusan tepat. "Yah, kamu bener, lagian aku juga harus jagain kamu dan kandungan kamu. Mungkin aku bakalan jadiin ruangan belakang, sebagian jadi tempat nyantai, gimana?"

Vivi tersenyum. "Ide bagus, Mas."

"Aku mungkin perlu satu asisten buat bantu aku urusan dapur, keknya Dzaki bisa, sih."

"Dia enggak kerja, Mas?" Vivi bertanya.

Nasrul menggeleng. "Seingatku, sih, borongan dia habis. Paling dia nanti ngajak istrinya juga ke warung, nah kalian bisa berdua tuh saling sharing kehamilan."

"Ah, bener, Mas."

"Aku bakalan telepon dia."

BERSAMBUNG ....

•••

Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie

MAS NASRUL [B.U. Series - N]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang