Chapter 3

16.4K 1.1K 58
                                    

17 Oktober 2020

•••

Sepulang bekerja, sesuai ungkapan teman kerja Vivi, mereka pun ke rumah wanita itu yang wajahnya kelihatan gelisah meski berusaha menyembunyikannya. Tepat kala mobil terhenti di depan pekarangan rumah klasik, dua orang tua pria dan wanita keluar dari sana disusul Vivi dan temannya dari dalam mobil.

Wajah orang tua Vivi kelihatan kegirangan, sementara teman Vivi tampak tersenyum semringah, dan Vivi masih sama seperti tadi. Mereka berdua pun menghampiri keduanya tersebut.

"Vivi pulang, Bu, Yah," sapa Vivi.

"Wah, siapa cowok ganteng ini, Vi? Kamu bawain Ibu sama Ayah calon mantu?" tanya sang ayah antusias.

Vivi mengulum bibir, dan teman Vivi menyalami keduanya bergantian.

"Bu, Pak, nama saya Ugo, Ugo Macalister. Saya teman, rekan kerja satu devisi, dan benar, Pak, Bu, saya ... berencana jadi calon mantu kalian." Dan wajah kedua orang tua Vivi semakin berseri sedang Vivi kelihatan masih dilema.

"Ayo, masuk, masuk! Ayo kita semua ke dalem, kita bicarain ini sama-sama," kata sang ibu, mempersilakan Ugo masuk menuju ruang tamu, mendudukkannya berdua dengan Vivi yang langsung menjaga jarak dan di seberang ia dan suaminya. "Mau minum apa, Nak Ugo?"

"Tidak perlu repot-repot, Bu--"

"Ah, tidak masalah, Nak Ugo. Ayo, sebut aja pengen apa! Istri saya pinter banget bikin minum, lho, saya aja suka ketagihan. Oh, atau mau dibuatin anak saya? Anak saya gak kalah hebat bikin jus, kopi, kopi susu, dan banyak lagi! Didikan istri saya seratus persen anjay!" ucap sang ayah memuji-muji. Kedua pipi Vivi memerah karenanya.

"Mm ... mungkin kopi susu?"

"Nah, Vienna, ayo bikinkan calon suami kamu!" Vivi tak bersuara, hanya berdiri dan meninggalkan mereka menuju dapur.

"Silakan Nak Ugo ngomong sama Bapak, ya. Ibu mau ke dapur sama Vivi bentar." Ibunya pun menyusulnya.

"Jadi, Nak Ugo, Nak Ugo pengen ngelamar anak Bapak?" tanya sang ayah, memulai percakapan di antara mereka.

"Rencananya, iya, Pak. Pagi ini saya melamar dia." Wajah ayah Vivi kelihatan menyerius. "Kami udah lama saling kenal, Pak, dan saya sudah lama juga menaruh hati ke Vivi pas dia kali pertama masuk jadi junior saya. Kami saling membantu, suka bersama, yah banyak hal."

"Ah, begitu." Ayahnya manggut-manggut, tersenyum. "Sepertinya Vivi sudah melupakan masa lalunya kelamnya, ya."

"Masa lalu kelam, Pak?"

"Eh, dia enggak ada cerita ke kamu?" Ayahnya terlihat bingung.

Dan rasa penasaran tergantung karena kini Vivi dan ibunya datang membawa minuman dan cemilan, dan Vivi terlihat meletakkan minuman ke hadapan Ugo. Ugo menatap wanita yang kini duduk di sampingnya dengan wajah termenung dan memang terlihat menyimpan rasa sakit tersebut.

"Ayo, silakan dinikmati minum sama cemilannya, Nak Ugo!" kata sang ibu.

Ugo tersenyum simpul, mulai menyesap minumannya, dan sang ayah juga ikut melakukannya.

"Vivi," panggil sang ayah tiba-tiba, Vivi mendongak dengan wajah sedih yang kentara. "Kamu belum terbuka soal masa lalu kamu sama Nak Ugo?" Wajah Vivi langsung khawatir.

"Ah, enggak, Pak. Saya rasa karena kami ... sama sekali enggak punya hubungan apa pun selama ini." Ugo menggeleng pelan. "Saya enggak berani mengorek masa lalu Vivi kecuali dia sendiri yang menceritakan, dan kalau dia gak mau cerita saya tidak masalah. Saya akan menerima dia apa adanya, karena yang terpenting adalah saat ini."

Wajah kedua orang tua Vivi kelihatan membangga sementara Vivi terkejut selama beberapa saat.

"Kamu benar-benar pria baik." Ayahnya mengangguk-angguk.

"Kami akan merestui hubungan kalian ...."

Dan kala mereka menatap ke arah Vivi, Vivi nyatanya meneteskan air demi air mata seraya menggeleng.

"Vivi?" Ibunya khawatir.

"Maaf, tapi aku enggak bisa." Vivi menggeleng, berdiri dari duduknya, sebelum akhirnya berlari masuk ke kamar.

"Vivi!" Ayahnya siap mengejar, tetapi Ugo menghentikannya.

"Pak, tidak apa-apa! Tidak apa-apa. Mungkin ... ini terlalu cepat untuk Vivi terlebih mengetahui dia punya masa lalu kelam, Pak." Ugo kelihatan menyendu.

"Maaf, ya, Nak Ugo. Kami tidak bisa memaksakan kehendak kami ke Vivi, terlebih nanti sakit dia kambuh."

"Sakit?" Kedua orang tua Vivi bertukar pandang. "Tampaknya, Vivi sama sekali tidak terbuka kepada saya, dan saya sadar itu mungkin pertanda kami tak sedekat itu. Saya harusnya mempersiapkan semuanya lebih matang, dekat dengan dia, mengerti dia, dan berjalan bersama dia."

"Kamu memang pria yang baik, Nak Ugo." Keduanya kembali memuji.

Ugo tersenyum simpul, mengangguk.

"Omong-omong, Vivi pernah mengidap depresi dan sempat menggunakan obat-obatan untuk menanganinya, karena masa lalu dia bersama seorang pria yang dia cintai dulu." Ibunya angkat suara, terlihat wajah sedih di sana. "Dia ... memang punya trauma dengan suatu hubungan, terutama di jenjang yang serius semacam ini."

BERSAMBUNG ....

•••

Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie

MAS NASRUL [B.U. Series - N]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang