Chapter 8

12.4K 966 49
                                    

22 Oktober 2020

•••

Vivi kini ada di kamarnya, terlihat duduk termenung ke arah jendela yang terbuka, ketika terdengar dari luar seseorang mengetuk pintu.

"Sayang ...."

"Kalian aja yang makan gado-gadonya, Bu, Yah. Vivi udah kenyang ...."

"Ya udah, Sayang. Nanti malem kamu makan malam bareng kami lagi, kan?"

Vivi mengangguk. "Iya, Bu."

Kedua orang tuanya menghela napas, dan kemudian mengangkat bingkisan di tangan sang wanita tua.

"Simpen aja dulu, Bu, di lemari. Mungkin nanti dia bakal makan," kata sang ayah.

"Jangan begitu, Yah. Kita harus nurutin Vivi. Ayo, kita makan aja, entar dia makin sedih."

Ayahnya menghela napas. "Yowes, Bu. Ayo!" Mereka pun melangkah ke dapur, mulai mau tak mau menyantap gado-gado pemberian Ugo berdua saja.

Vivi masih asyik menatap jendela ketika tak lama kemudian ia mencium sesuatu dari kejauhan, bau gado-gado. Ia lalu menoleh ke arah pintu kamar berpikir jika baunya dari gado-gado pemberian Ugo tadi tetapi kala menatap jendela ia dibuat kaget melihat gerobak yang didorong seseorang muncul di jalanan.

Ia memicingkan mata, memastikan apa yang ia lihat memang benar. Pria bermasker bersama gerobak bertuliskan gado-gado di sana.

"Mas Nasrul?" Nasrul di sana terlihat menatap ke arah rumah Vivi tanpa menyadari Vivi ada jendela kamar, ia menatap belakang depan sebelum akhirnya mendorong gerobaknya lagi.

Buru-buru, Vivi keluar dari kamarnya dan hal itu mengagetkan orang tuanya yang ada di dapur.

"Eh? Vivi lari ke luar?" tanya sang ayah.

"Gado-gado!" teriak Nasrul.

"Mas Nasrul!" Vivi berteriak balik di ambang pintu, dan melihat wajah bahagia Vivi di sana ia kelihatan senang dan bersyukur karena ia tak salah rumah. Vivi kini memakai sendal dan berlari menghampiri Nasrul sementara orang tuanya mengintip. "Mas Nasrul, kok, bisa ke sini? Tau rumah aku dari mana?"

"Ah, itu ... nanya-nanya orang sini." Sekaligus mengekori Ugo walau ia sempat ketinggalan lumayan jauh. "Soalnya ... Mbak salah satu langganan terbaik saya, jadi denger Mbak sakit saya ngerasa ... ya ... ya gitu." Nasrul kehabisan kata-kata.

Vivi tertawa. "Wah, makasih Mas ke sini. Bisa Mas liat, sih, aku udah baikan! Dan semakin baik tau Mas Nasrul ke sini! Pesen kek biasa, ya, Mas!"

"Ah she up!" Dan Nasrul mulai menyiapkan meja dan kursi, kemudian Vivi duduk di sana menunggu pesanannya dengan wajah bahagia. Nasrul gerak cepat membuatkan pesanan dan Vivi pun menerimanya dengan senang hati. Ia makan dengan lahap dan Nasrul kemudian teringat soal Ugo yang membawakan makanan kepadanya.

"Mas, tadi sebenernya Ugo bawain aku makanan, gado-gado, Mas, sih. Cuman aku nolak, aku ngerasa ... bener-bener gak nyaman gitu, Mas." Dan tanpa perlu buka-bukaan, Vivi membuka rahasianya. "Jujur, aku masih bimbang, dan aku malah ngerasa gak nyaman lagi deket sama cowok itu. Dan rasa gak nyaman itu ... entah kenapa muncul aja gitu. Aku gak benci dia padahal."

"Mm ... itu sepertinya hal yang wajar karena Mbak dalam kondisi bimbang, Mbak." Nasrul duduk di kursi, mulai menyiapkan bakso untuk santapan makan siangnya. Ia sebenarnya ikut-ikutan khawatir akan pernyataan Vivi padanya.

"Yah, aku perlu day off." Dan Nasrul semakin bimbang mendengarnya. "Aku bener-bener belum bisa berpikiran soal masa depan itu. Aku memang perlu banyak waktu."

"Yah ... kuharap Mbak menemukan yang terbaik."

Nasrul pun mulai menyuap, dan alangkah konyolnya ia karena lupa membuka masker hingga baksonya jatuh berceceran ke lantai. Vivi yang awalnya murung seketika tertawa.

"Mas, tu maskernya buka dulu, tuh!" Ia masih terbahak. "Mas ada-ada aja, kenapa maskeran coba?"

"Hah ... iya lupa dibuka." Nasrul menggaruk belakang kepalanya. "Ini ada masalah gitu, Mbak. Ya maskeran gitu." Dan Nasrul malah bingung, ia tak tahu cara berbohong dengan orang yang dicintainya.

"Masalah? Oh, ya, tuh Mas beli bakso di mana? Kek kenal baksonya ...."

"Bakso Bramakso, Mbak. Katanya ayah Mbak juragannya, ya? Saya tahu dari mereka."

Vivi tertawa. "Iya, itu ayah saya yang punya. Dia juragan bakso."

"Ah, begitu ...." Lagi, Nasrul menyuap, tetapi lagi-lagi hal konyol ia lakukan karena masker masih melekat di wajahnya. Ia menjadi bahan tertawaan Vivi dan ia hanya bisa menggaruk belakang kepala dengan malu, walau bersyukur ia berhasil menghibur wanita tersebut.

"Mas, maskernya astaga! Dibuka dulu!" ujar Vivi, menunjuk pipinya sendiri.

"Hah, iya, lupa." Nasrul siap membuka maskernya, tetapi agak malu-malu karena tahu isi di dalamnya, sementara Vivi pun memperhatikannya dengan jeli.

"Mas, Mas kelihatan lebih muda, ya. Kek seumuran aku. Apalagi penampilan rapi begini." Ia menatap penampilan Nasrul yang berkemeja sedemikian rupa.

"Mm ...." Nasrul bergumam. "Kita emang seumuran, Mbak. Beda satu tahun, saya lebih tua."

"Astaga!" Vivi kaget. "Aku pikir Mas Nasrul seumuran ayahku, maaf, maaf." Nasrul tertawa pelan, miris. "Soalnya ungkapan Mas Nasrul itu dewasa banget, Mas Nasrul kayak psikolog hebat di mataku! Mas ... maaf ... selama ini cuman aku yang asyik curhat ngenalin diri sementara Mas cuman kayak gudang curhat doang. Maaf, Mas."

Nasrul menggeleng. "Enggak papa, Mbak. Udah biasa dikira tua. Saya sebenernya kaget Mbak manggil saya Mas, dipikir ... Mbak tahu umur saya." Nasrul benar-benar tak menyangka soal ini.

Jika Vivi menyangkanya demikian, asal usul kenapa dia dijadikan gudang curhat karena berpikir Nasrul ayah yang baik?

Kedua pipi Vivi memerah. "Uh ...." Ia merasa canggung. "Jadi, Mas ... mmm ... apa?"

"Eh, apa?"

"Ma-maksudku ... identitas ... atau ...."

Nasrul berusaha ber-positive thinking.

"Santai aja, Mbak. Mbak boleh anggap saya Bapak Mbak, kok. Gak masalah." Vivi menyengir, ia masih menahan malu. "Nama saya Nasrul Guritno, usia dua puluh enam tahun. Mm ... yah tamatan SMA, udah brewokan sejak SMP kelas tiga. Mulai karier jualan gado-gado saat itu juga, turun temurun keluarga saya."

"Ah, gitu ...."

Dan tiga kali kebodohan Nasrul, ingin makan tetapi masker yang masih melekat menghalanginya, Vivi ingin tertawa tetapi kali ini ia lebih menahannya. Ia merasa benar-benar tak sopan sekarang.

"Ugh, kudu dilepas keknya ...."

"Mm, biar saya bantuin, Mas." Vivi berpikir Nasrul kesusahan membuka masker itu, walau padahal fakta sebaliknya. Sayangnya, degup berlebihan di jantungnya membuatnya terdiam membiarkan Vivi membukakan maskernya.

Dan alangkah terkejutnya ia ....

BERSAMBUNG ....

•••

Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie

MAS NASRUL [B.U. Series - N]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang