2 November 2020
•••
"Mm ... Mas Nasrul enggak bermalam aja di sini?" tanya Vivi ketika Nasrul memilih untuk pulang ke rumahnya. Pria itu siap menjawab tetapi sang ayah mendahului ungkapannya.
"Kalian ini belum menikah, sabar sabar dulu!" tegur pria itu, dan Vivi terdiam dengan kedua pipi memerah.
"Ya udah, Pak, Bu--"
"Panggil aja ayah dan ibu, Mas." Vivi meralat, dan diam-diam dari Vivi orang tuanya mengeluarkan wajah dongkol sementara Nasrul melihat itu sekilas. "Supaya terbiasa."
"Mm ... iya." Nasrul mengangguk paham, meski benaknya agak sakit. "Aku pulang dulu, Bu, Yah. Vivi ...." Ia pun menurut.
"Sebentar, saya mau ngomong sama kamu. Bu, Vivi, masuk saja duluan!"
"Mau ngomong apa, Yah?" tanya Vivi agak khawatir.
"Hanya antar lelaki, sudah sana masuk!" perintah pria itu.
"Ayo, Vi!" Dan Vivi hanya bisa pasrah dituntun ibunya masuk ke dalam, kedua pria itu memperhatikan hingga akhirnya keduanya benar-benar di dalam.
Ayah Vivi menatap Nasrul yang berusaha menatap balik sesopan mungkin. "Saya menaruh harapan besar ke kamu, atas kebahagiaan Vivi, jangan pernah mengecewakan saya soal itu!"
Nasrul mengangguk. "Iya, Ya-Pak. Saya berjanji."
"Saya menyekolahkan dia tinggi-tinggi, memberi segalanya, jangan sampai dia kesusahan setelah menikah dengan kamu nanti! Bayar jerit payah saya membiayai hidup dia, jangan buat dia sengsara!"
Lagi, Nasrul mengangguk. "Iya, Pak. Saya berjanji."
"Ingat kata Vivi, biasakan saja memanggil saya ayah. Buat saya terkesan akan itu." Karena ayah Vivi, terlihat jelas, seakan menolak meski tak bisa mengetahui keadaan anaknya. "Berjanjilah dengan nyawa kamu!"
Nasrul menenggak saliva, tetapi sekuat tenaga terus mengangguk. "Saya berjanji!" Ia akan membahagiakan Vivi lahir dan batin, tak akan menyengsarakannya.
Tidak akan pernah ....
"Ya sudah, pulang sana!" Pria itu pun berbalik dengan angkuh, tanpa mengucapkan selamat malam atau hati-hati di jalan seakan memang ia ingin Nasrul ... ah, ia terlalu ber-negative thinking. Nasrul pun menuju ke motornya, menaikinya, dan mengendarainya dengan sangat hati-hati di suasana penuh kegelapan itu.
Sesekali, ia menghela napas, ingatannya terputar. Antara bahagia dan ada kesedihan. Ia bahagia karena bisa menikahi Vivi, tetapi sedih karena orang tuanya kelihatan enggan menerimanya. Dan mulai saat ini pun, Nasrul bertekad untuk membanggakan dua calon orang tuanya itu.
Ia pasti bisa!
Ya, tentu saja!
Matanya kemudian menangkap banner kuning besar di sebuah kedai bercahaya di pinggir jalan, beberapa orang berdiri di sana membeli kepada orang di balik wadah kaca. Itu kedai pulsa voucher dan sebagainya ....
Kembali ia menjalankan motor hingga akhirnya sampai di rumah, dan sambil membersihkan diri ia mulai menghitung di kepalanya.
"Hm, apa cukup sisanya buat jualan, ya? Nikahan sekian, katering sekian, pestanya ... harus meriah, gak?" Nasrul memikirkan itu. Ia tak bisa jualan gado-gado dan harus punya usaha lain karena ia menikah dengan Vivi, ia hitung-hitung tabungannya hanya sedikit ada lebihan dan itu pun mungkin berguna menutupi kekurangan jika pesta pernikahan sesuai rencananya.
Apa ia harus menerima uluran tangan Vivi? Tabungan Vivi? Tidak, harusnya hanya sang pria yang melakukannya. Mahar pun ia usahakan besar untuk Vivi dan hanya untuk Vivi.
Ia harus pandai memutar otak untuk memikirkan pernikahan sekaligus usaha pulsa yang akan ia kembangkan. Mungkinkah ia harus ....
Tidak, jangan berhutang, pokoknya jangan!
Merasa lelah berpikir, Nasrul pun menidurkan dirinya, membiarkan esok hari menjawab pertanyaannya dan ia menuju ke tempat kerja. Dzaki, yang melihatnya tentu terkejut.
"Eh, lo ngapa turun hari ini? Gak sibuk ngurusin nikahan?" tanya Dzaki bingung.
Nasrul mendengkus. "Kalau gue gak kerja, gue gak ada duit harian, terus duit buat gue bikin usaha. Udah lo tenang aja, hari H masih jauh, dan ortu Vivi nyerahin itu semua ke gue dan Vivi."
"Oh, gitu. Orang tua yang pengertian, ya. Pesta kecil-kecilan aja, tuh, terus sisanya buat modal, deh!" Pengertian? Justru karena mereka enggan mereka menyerahkan itu semua, hanya membantu sedikit. Lagi? Pesta kecil-kecilan? Dengan janji membahagiakan Vivi? Begitu?
"Ah, gak bisa kecil-kecilan, ini sekali seumur hidup gue jadi gue harus kasih Vivi pengalaman terbaik." Nasrul terlihat naik ke bangunan tersebut.
"Yeee ... mewah-mewahan ujung-ujungnya sengsara susah juga. Vivi sendiri emang pengen yang mewah-mewahan begitu?" Nasrul menggedikan bahu, siap melepaskan maskernya ketika ponsel bututnya berbunyi.
Bukan android, bukan iphone, hanya ponsel lawas mungil yang bisa ia genggam dengan gampangnya. Telepon dari Vivi.
"Ya, ha-halo, Vi." Ini kali pertama ia dihubungi Vivi, mereka tak pernah bertukar nomor sebelumnya hingga saat ini. Dzaki melihatnya.
"Mas, Mas dateng ke rumah hari ini, ya. Anterin aku buat siapin pernikahan dan kawinan kita nanti." Vivi terdengar tertawa pelan di seberang sana. "Aku mau pernikahan kita secepatnya, Mas."
"Ah, i-iya." Ia menatap Dzaki dengan wajah penuh kemenangan. "Aku bakal ke sana, dah Sayang."
"Dah, Sayang." Dan panggilan dimatikan sepihak.
"Apa gue bilang, lo sibuk!"
Nasrul mendengkus. "Terus gimana nanti usaha gue, deh?"
"Gue yakin Vivi tipe cewek yang ogah mewah-mewahan, dia mandiri dan kuat. Udah, sana deh!"
"Iya, iya." Nasrul berusaha berpikir positif sekarang, mengetahui sobatnya ... selalu memberikan hal positif padanya. Ia pun menuju ke rumah Vivi menjemput wanita itu dan menuju ke persiapan pernikahan mereka.
BERSAMBUNG ....
•••
Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie
KAMU SEDANG MEMBACA
MAS NASRUL [B.U. Series - N]
Romance18+ Sebuah kisah sederhana tentang Nasrul, tukang gado-gado yang jatuh cinta dengan Vivi, gadis kantoran yang berpendidikan.