Beberapa orang berpakaian hitam itu kini melangkahkan kakinya, menyusuri perkampungan kumuh dengan sosok pria lain yang menggunakan jas mewah dengan raut wajah tanpa emosinya. Iris coklat itu menatap tajam, dengan topi baseball berwarna coklat yang menutupi setengah dari wajahnya.
Jemari nya mengepal di balik saku longcoat, mengabaikan beberapa orang berpakaian lusuh yang kini menatapnya penuh tanda tanya. Entah apa yang pria itu rencanakan—Entah hanya sekedar berkunjung atau mungkin akan memaksa pemuda berambut pink yang pergi begitu saja ketika dirinya belum selesai bicara untuk menjadi maidnya.
Namun, ia ingin bersikap lembut pada pemuda yang memiliki hal yang ia inginkan. Sangat ia inginkan dan menjadi candunya seperti yang pernah dikatakan oleh Nyonya dan Tuan Jeon beberapa waktu lalu. Sangat menyenangkan untuk menjadikan pemuda itu miliknya.
Langkahnya terhenti, di depan sebuah rumah yang kini tampak begitu sepi, sangat kumuh dengan jendela yang tertutup rapat membuat kakinya melangkah lebih dekat dengan pekarangan kecil yang dijadikan tempat untuk menjemur pakaian—Dan, tak ada pakaian yang di jemur saat ini.
Kakinya melangkah pelan dan berhenti di depan pintu kecil yang tertutup rapat membuat jemari nya kini terulur, mengetuk pintu itu satu kali, dua kali dan tak ada jawaban. Pria bertopi coklat itu tidak ada keinginan untuk menunggu hingga jemarinya menyentuh handle pintu dan pintu itu pun terkunci.
"Buka pintunya"
Suara kasar itu terdengar penuh perintah dengan kaki yang melangkah mundur memberikan ruang pada anak buahnya untuk membuka pintu hingga pintu itu pun terbuka cukup kasar dengan sunyi yang menyapa membuat kakinya melangkah masuk dan mengendarkan pandangannya.
"Jungkook-ah?"
Ia memanggilnya sedikit berteriak dengan beberapa anak buahnya yang kini mulai memeriksa keberadaan pemuda berambut pink yang seharusnya bisa ia temui hari ini. Tubuhnya perlahan duduk pada sebuah kursi kayu dengan tatapan tajam ketika ia mendapati lemari kosong disana. Tak ada baju milik Jeon Jungkook yang tersisa.
"Kau meninggalkan surat wasiat agar putramu kabur?"
Jemarinya kini mengepal dengan punggung yang bersandar pada sandaran kursi dan iris yang menatap tajam pada sekelilingnya. Giginya sedikit menggertak, mengeluarkan gulungan nikotin dan menyulutnya hingga terlihat asap yang kini mengepul menuju langit- langit disana. Sangat menjengkelkan.
"Ku katakan untuk memberikan anakmu padaku dan kau tetap menjadi penghalang bahkan setelah kematianmu"
Giginya masih menggertak dengan jemari yang kini merogoh saku, mengambil ponselnya menekan id caller 'pelacur' disana. Nomor Jeon Jungkook—Ia akan berbaik hati jika pemuda itu masih mengangkat panggilannya dan ia akan bersikap kasar jika pemuda itu mengabaikan panggilannya. Wanita itu—Mungkin telah memberitahu apa yang akan ia lakukan pada putranya.
Iris hitam itu mengedarkan pandangannya dengan tubuh yang kini bangkit dan sedikit berlari ke sisi lain kamar untuk mengambil ponselnya yang tergeletak diatas nacas dengan irisnya yang melirik ke arah sosok pria bermata biru sembari mengangkat ponsel itu seolah meminta izin hingga pria itu menganggukkan kepalanya.
Jeon Jungkook—Pemuda itu duduk di tepi kasur dengan jemari yang menggenggam erat ponsel ketika menemukan id caller 'Tuan Jang' disana. Ia menghela nafasnya nafas, ada sedikit rasa khawatir membuat pandangannya menunduk sebelum ia menyambungkan panggilan itu.
"Halo, Tuan Jang?"
Jungkook memberikan sapaan pada pria yang selalu membantu Ibu dan Ayahnya dalam keadaan sulit, membuat Jungkook membungkukkan tubuhnya sekilas walaupun pria itu tidak melihatnya. Namun, tak ada jawaban membuat Jungkook melirik ke arah ponselnya memastikan jika telepon itu masih tersambung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Flower From The Storm
RomanceDia indah, dan dia berada di tengah badai musim dingin yang menyeramkan tanpa perasaan. Tatapannya kosong, mimpi senja nya hilang, bahkan harapan akan malam natal nya pun tak ada. Ku pikir dia akan mati, entah besok, lusa atau ketika kembang api ber...