13. The Sky Remains Alone

4.6K 668 11
                                    

Helaan nafas itu terdengar begitu berat dengan pandangan yang menunduk, mengabaikan keindahan salju yang kini turun menghiasi langit dengan bentuk kristalnya yang begitu indah. Aroma musim dingin terasa begitu kental, angin terasa begitu mencubit hingga helaan nafas itu menghasilkan uap yang terlihat putih di sekitarnya.

Sangat sunyi di pedesaan yang jauh di selatan dan cukup banyak destinasi wisata yang dapat di kunjungi. Namun, lingkungan ini begitu tenang dengan suara gemercik air terjun yang mampu di lihat oleh pemuda itu dari tempat duduk nya, di sebuah rumah yang cukup sederhana dengan kursi kayu dan meja bundar yang menjadi teman nya.

Pandangan itu sesekali terangkat dengan jemari yang saling menggenggam begitu kuat, menghela nafasnya lagi ketika waktu pada ponsel nya kembali mengganti menit. Perlahan jemari yang berkeringat itu bergerak untuk menyisir rambutnya yang kembali turun mengenai kening, terus seperti ini dengan tatapan kosong ke arah pepohonan di hadapannya.

Tanpa daun—Hanya tersisa ranting dengan jalanan besar di hadapannya yang mengarah pada rumah mewah beraksen putih disana. Sesekali matanya mengedip dengan jantung yang semakin berpacu membuat nya kembali menghela nafas begitu berat seolah itu begitu melelahkan.

Kelopak monolid itu kembali berkedip pelan, tampak sembab dan sedikit bengkak dengan air mata yang kembali menetes entah karena apa. Hanya saja, pikirannya terlalu penuh, sangat penuh dan pemuda berambut pink itu tidak tahu apa yang harus dilakukannya dan apa yang harus ia pikirkan.

Kelopak monolid itu pun terpejam perlahan sebelum jemarinya meraih sebuah pas foto yang tergeletak di atas meja—Sebuah foto yang memperlihatkan Nyonya Jeon di sana membuat kelopak monolid itu kembali terbuka, menatap sosok yang ia rindukan dan sangat di rindukannya.

"Ibu? Ini sangat aneh—" gumamnya dengan ibu jari yang mengusap foto itu begitu lembut seolah mengusap sosok asli nya. Tak ada senyuman yang mampu ia perlihatkan seiring dengan malam dan sunyi yang terus menyapa membuat telinganya selalu merasa siaga takut jika ada seseorang datang.

"Ketika ayah meninggal karena kecelakaan—Jungkook merasa, baik- baik saja" gumam pemuda berambut pink yang kini kembali memejamkan matanya serta helaan nafas yang terdengar. Pandangan itu menunduk, seolah bersembunyi dari segala hal yang mungkin akan memasuki bayang nya begitu menyeramkan.

"Tak akan ada lagi yang meminjam uang, tak ada lagi yang memukul, dan tak ada lagi yang melemparkan botol kaca bir padaku—" gumam Jungkook dengan tatapan kosongnya, menatap ke arah foto Nyonya Jeon yang mampu tersenyum disana, tetapi mampu membuat Jungkook meneteskan air matanya.

"Botol kaca itu—sangat menyeramkan—" gumam Jungkook lagi dengan jemari yang kini sedikit gemetar, sebelum ia menyimpan pas foto itu dan menutup kedua matanya, menekan matanya begitu kuat dengan nafas yang terdengar gemetar. Suara pecahan kaca dan rasa sakit dari pecahan kaca itu terkadang membuat Jungkook tak mampu menggerakkan tubuhnya.

Segalanya terasa begitu berat—kehidupannya, hutang orang tua nya, rasa sakit yang di rasa, serta traumanya yang terus mengejar dan membuatnya menyakiti diri sendiri. Setiap malam, di jam yang sama sebelum Jeon Jungkook kembali tersadar dan mengedarkan pandangannya dengan suara gerbang yang terbuka.

Jantungnya semakin berpacu membuat tubuhnya perlahan bangkit dan menggunakan sepatunya—Ia harus menenangkan diri, di tempat dimana tak ada benda tajam, di tempat dimana segalanya terlihat luas agar perhatiannya teralihkan. Jeon Jungkook mampu menjaga dirinya dengan baik dan harus seperti itu.

Kakinya melangkah cepat sebelum ia membungkuk sekilas pada penjaga gerbang dengan senyuman tipisnya. Jemari ia sembunyikan di balik saku jaket, mengepal kuat dan terus melangkahkan kakinya, menyusuri jalanan sepi tanpa Jungkook sadari sosok pria dengan mata biru itu menatapnya dengan kening yang sedikit berkerut.

Flower From The StormTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang