Bab 27 Jangan Menyerah untuk Nanda

2K 217 8
                                    

Mereka belum benar-benar sembuh dari luka hatinya tapi mereka harus tetap dipaksa profesional untuk pekerjaan. Seta, Jovan, Yossy dalam dunia hukum. Arka, Dirga dalam dunia kesehatan dan pengabdian. Yonda dalam dunia pendidikan dan berjuang untuk kelulusannya.

Diantara mereka hanya Yonda yang memiliki banyak waktu untuk menemani Nanda di rumah sakit. Yonda dengan senang hati melakukannya. Yonda selalu datang menemui Nanda satu jam sebelum kuliahnya dimulai lalu akan menemui Nanda lagi setelah ia selesai kuliah.

Yonda juga sudah terbiasa mengurus rumah dan sesekali dibantu oleh Dirga, Yossy atau Jovan. Mereka berempat juga tengah berada diruang rawat Nanda.

"Jadi, kamu tetap ambil kasus ini?" tanya Jovan dengan hati-hati.

"Aku tidak punya pilihan. Seta tidak mungkin menghadapi persidangan sendiri apalagi hatinya sedang buruk kondisi Nanda belum juga ada kemajuan. Edwin sialan itu bisa mempermainkan Seta dengan mudah" jawan Yossy sambil menatap Nanda yang masih terbaring lemah.

Jovan ikut menatap Nanda dengan tatapan sedihnya. "Menurutku, Seta akan lebih mudah terbawa emosi. Tergantung, bagaimana dia menggunakan emosi itu dengan baik atau tidak"

Yossy menghembuskan nafasnya kasar, "aku tidak pernah membayangkan akan melawan Seta dalam persidangan" lanjutnya.

"Aku juga merasa begitu. Lalu kemudian aku harus tetap melawannya"

"Adinata sialan!" untuk kesekian kalinya, Yossy mengumpat. Padahal Yossy paling benci mengucapkan kalimat kotor seperti itu.

"Arka juga tidak baik. Dia menolak untuk memeriksa pasien dan hanya menerima konsultasi saja. Itu pun tidak maksimal. Hari ini dia sudah menyerahkan surat pengunduran dirinya"

Jovan dan Yossy terkejut. "Dirga, jangan main-main!" bentak Jovan. Sayangnya, Dirga menggeleng dan itu artinya Dirga tidak sedang bercanda.

"Kemarin, Nanda sempat menurun, Kak Yossy. Sampai sekarang dokter masih harus memantaunya. Jika terus seperti ini Nanda bisa dirawat di ICU" Yonda harus jujur perihal kondisi Nanda seburuk apapun itu.

Ditengah pembicaraan yang penuh dengan kesedihan itu, Jovan mendapatkan panggilan dari Seta.

"Seta, ada apa?. Kenapa?!. Shit!. Semuanya baik-baik saja? Kau bagaimana?. Iya, kami baik-baik saja. Kami sedang di rumah sakit. Kondisi Nanda masih belum stabil. Kami bersamanya, Seta. Jangan cemas. Oke. Oke. Ya, baiklah"

Jovan memutus panggilan. "Yossy, kamu tidak perlu melawan Seta di persidangan. Adinata bunuh diri di lapas dan Edwin juga ditemukan tewas dalam selnya karena gantung diri. Dia juga terbukti mengkonsumsi narkoba sebelum kematiannya"

"Pengecut!" kali ini bukan Yossy, tetapi Yonda. Dia bangkit dari rebahannya dan menatap Jovan dengan amarah. "Mereka memilih mati dari pada bertanggung jawab atas apa yang sudah mereka lakukan! Pengecut!"

Entah apa yang terjadi, Yonda bisa semarah dan sekesal itu. Yonda langsung membawa tasnya dan pergi tanpa pamit.

"Aku tau dia, biar aku yang mengejarnya" Yossy tidak menunggu jawaban.

Yossy berhasil meraih lengan Yonda dan membuat adiknya balik menatapnya. Yossy tidak memulai untuk bicara begitu juga Yonda yang hanya terdiam.

"Kau kesal?"

"Yonda.."

"Yon..

"Aku cuma ingin Nanda bangun, Kak!" ucap Yonda dengan suara yang ia tinggikan. Yonda mulai menemukan keberanian untuk menatap balik Yossy dan melanjutkan kekesalannya.

"Menyebalkan sekali melihat Nanda hanya tertidur seperti itu, Kak! Aku setiap hari bersamanya! Kami bermain game, melukis, bercanda, tertawa, kami masih bisa bahagia! Hanya dalam waktu sekejab kebahagiaan itu hilang! Aku baru saja merasakan bahagianya memiliki seorang adik! Aku merasa diriku berguna untuk menjaga seseorang! Tapi apa sekarang?! Nanda hanya tertidur seperti itu!! Kemarin, kemarin dia begitu mengerikan! Aku hanya bisa ketakutan dan menangisinya! Aku benci, Kak! Lalu sekarang aku mendengar orang yang sudah menyebabkan Nanda seperti ini mati dengan mudahnya! Pengecut! Brengsek!"

Yossy ikut merasa sesak saat Yonda harus berkali-kali menghirup oksigen lebih banyak untuk berteriak. Dia meraih kedua bahu Yonda yang naik turun tidak beraturan dan memberikan senyuman terbaiknya.

"Yonda, berteriak tidak akan membuat adikmu itu bangun. Mengumpat sekeras apapun tidak akan menyelesikan masalah. Kak Yoosy tau semua ini sangat menyebalkan. Tapi kamu harus tetap kuat untuk adikmu, untuk Nanda"

Yonda menggeleng keras dan menatap Yossy dengan tatapan yang semakin hancur. "Aku setiap hari memanggilnya, Kak. Aku panggil Nanda supaya dia bangun. Aku melukis, menggambar disampingnya. Aku bermain game disampingnya. Aku mengajaknya bicara. Aku berusaha menganggap Nanda masih seperti biasanya. Aku bahkan makan disampingnya. Tapi tanpa sadar, aku justru menangis saat melakukannya. Berkali-kali aku menolak kenyataan, berkali-kali juga aku disakiti olehnya. Nanda tidak boleh pergi, Kak. Nanda harus bersama kita. Dia adik kita, Kak. Aku baru sebentar sama dia"

"Yon, Yonda sssttt.... Hentikan pemikiran kamu. Ngga ada yang pergi, ngga ada yang ditinggalkan. Nanda masih disini. Dia hanya butuh kita. Kamu sudah melakukan yang terbaik. Kamu harus bangga pada dirimu sendiri. Kalau kamu lelah, biar Kak Yossy yang menggantikanmu. Kak Yossy akan mengambil cuti lagi"

Yonda menarik nafasnya begitu dalam dan menenangkan hatinya. Mungkin benar, dia hanya lelah dan terlalu menahan kesedihan sendiri.

***

Arka hanya menatap fotonya dan Nanda dengan sendu. Kedua matanya sudah sangat pedas dan begitu perih. Untuk berkedip saja rasanya sangat berat untuk ia lakukan.

"Selamat sore, Arka"

Arka tidak tersentak. Ia bangun dari tempat duduknya dan membungkuk pada Direktur Rumah Sakit yang baru.

"Selamat sore" jawab Arka dengan suara yang begitu pelan.

"Arka, saya datang kemari untuk menindaklanjuti soal surat pengunduran diri kamu. Arka, saya sudah mendengar tentang kondisi adik kamu dari Dirga. Saya rasa tindakan ini terlalu jauh"

Arka menegakan wajahnya. Masih dengan tatapan kosong itu, ia balik menatap pimpinanya.

"Kondisi adik saya memang menjadi alasan saya untuk mengundurkan diri. Mohon untuk dipertimbangkan kembali" jawab Arka yang pasrah dan putus asa.

"Arka, kamu bukan hanya satu dua kali merawat pasien. Sekecil apapun kemungkinan itu, pasti masih ada harapan untuk adikmu sadar dari komanya"

"90% jaringan dalam otaknya mengalami kerusakan termasuk batang otak dan pusat kesadarannya. Kemarin kondisinya menurun dan kemungkinan dia akan dipindahkan ke ICU. Tidak ada kemungkinan adik saya bisa membuka mata kembali"

"Aku tidak pernah mengenal Arka yang seputus asa ini. Arka, ini bukan pemikiran seorang kakak"

Arka tercengang.

"Coba pisahkan peranmu sebagai dokter dan sebagai kakak. Surat ini hanyalah puncak dari emosimu saja. Katakanlah, aku menerimanya. Tetapi jika kau kembali suatu saat nanti aku akan menerimamu kembali. Jangan menyerah pada adikmu, Arka"

Arka menunduk kembali dan mengucapkan terima kasih dengan suara pelan. Ia tetap melakukannya sampai atasannya pergi.

Jangan menyerah pada adikmu, Arka. []

NandArka (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang