GC 25

425 49 39
                                    

Melingkup diri dalam diam, keheningan dalam kamar tak mampu meredam serangan air yang menyerbunya walau terhalang tameng yang bernama, atap.

Giginya beradu dikala angin menyapa seolah berkata, 'kau tidak akan pernah bisa lari' dari ribuan peluru air.

Tubuh terduduk pasrah seorang diri dalam kegelapan kamar, nafasnya kembali tercekat menangkap kilatan bak pedang sang zeus menandakan ialah yang kuasa.

Ketukan pada kayu yang digunakan sebagai perantara ruangan terdengar brutal. Perutnya dirasa seperti bergejolak, Jihoon panik setengah mati.

Dentuman langit malam yang hujan, guntur. Kilasan yang tidak ingin ia ingat menjadi potongan klip, Jihoon gemetar ketakutan. Suaranya bagaikan cambukan menyakitkan yang hinggap pada punggung telanjangnya.

Nafasnya satu dua, sendinya lupa untuk begerak. Ia lupa bagaimana cara memutar kunci yang tergantung bersamaan gantungan mainan beruang kecil bergoyang tidak berdaya disapu angin sedikit kencang. Dilanda ancaman tidak habisnya Jihoon merangkak goyah—entah kenapa ia bisa melakukannya— kedua tangan meraih gagang guna membuka.

Meraung menyakitkan, Jihoon memanggil satu orang yang kini menghidupinya. Sosok pria tua yang kini ia cintai tersingkirkan begitu saja, afeksi sudah tidak ada didunia.

Kemeja hitam besar yang menutupi hampir seluruh badan masih melekat pada tubuh kecilnya, menempel jelas. Keringat dingin membasahinya tanpa ampun.

Memutar kunci sia-sia, Jihoon seketika membentur pintu kayu itu dengan kepala tangan kecil yang bergetar tidak bertenaga.

"Jihoon buka pintunya!!!"

Teriakan itu semakin membuatnya tidak karuan akan ketakutannya. Menjauhi pintu, Jihoon merangkak menuju bawah kasurnya. Menangkup rungu yang diserbu guntur serta pukulan yang ada didepannya. Jihoon menyembunyikan wajah dilipatan lututnya.

Semakin kuat suara diluar sana, semakin gentar pula tubuhnya. Angin menyeruak masuk melalui pori-pori hingga menusuk tulang, menggigil.

Pintu dihantam kuat, Jihoon tidak sadari.

Kini tubuhnya melayang akibat ditarik paksa sang pujaan tercintanya bak malaikat didepan mata. Jihoon mengalungkan tangan pada leher pria itu, menyusup wajah pucatnya diceruk.

Bibirnya bergetar, tangan besar dan pelukan hangat ini akhirnya datang menyelamatkannya dari perang penyakitan diderita.

"hiks daddy,"

Daniel keluar dari kamar membawa Jihoon kekamarnya.

Setelah makan malam keduanya, Jihoon pergi memaksa diri ingin kekamar karena kantuk tak tertahan. Daniel awalnya sudah mengatakan untuk tidur dikamar lain, Jihoon menolak dan Daniel tahu kenapa pemuda itu menolak ajakannya.

Pemuda itu tidak ingin mengingat kejadian malam itu, Daniel akui ia tidak bisa memaksa Jihoon. Melihat cuaca hari ini, Daniel enggan katakan pada Jihoon berdalih seperti sebelumnya—Tidur bersama.

Tidak ada maksud lain dari ajakan itu, Daniel hanya tidak mau apa yang ia takutkan dan sialnya sudah terjadi hingga Jihoon meringkuk kembali disudut ruangan.

Ia abaikan sakit dibahu akibat menjadi sok pahlawan menyalamatkan Jihoon sampai menghancurkan kunci pintu hingga dirinya yang kesakitan pada akhirnya.

Merebahkan Jihoon dikasurnya, Daniel menarik selimut menutupi Jihoon sampai dada. Mengusap pelan rambut basah itu, mendudukkan diri ditepian kasur.

Saling mengunci diri dari perspektif, Jihoon masih dengan gemetar mendudukkan diri, mendekat kembali menjatuhkan tubuh dalam dekapan ternyaman sedunia, baginya.

Get Closer (NIELWINK) I√Where stories live. Discover now