Keesokan harinya, pada penghujung pekan pertama bulan oktober, Xiao Jun berkata akan menjemputnya, dan dengan itu, Yeeun tahu hubungan mereka sudah baik-baik saja.
Tiada badai yang berlangsung selamanya. Tidak ada sahabat yang sanggup marah terlalu lama. Dikarenakan jadwal serta jam kuliah yang kadang tidak selaras, mereka jarang berangkat bersama, tapi Xiao Jun sadar ada ketegangan di antara mereka dan ini adalah caranya untuk memutus rantai ketegangan itu sekaligus meminta maaf.
Setiap laki-laki punya caranya sendiri.
Saat turun dengan lift pagi itu, Yeeun bisa dibilang melambung-lambung gembira. Berkat dinginnya temperatur udara, dia mengenakan sweater biru pemberian Xiao Jun di ulang tahunnya tahun lalu. Selain sesuatu yang tidak bisa digenggam secara fisik seperti rahasia, keduanya juga sering berbagi barang. Yang, jika ditelaah dari sisi ini, tak mengherankan ada yang menganggap mereka pacaran.
Persahabatan mereka merupakan ikatan rumit yang butuh banyak kata-kata untuk mendefinisikannya, dan Yeeun tengah memikirkan itu, saat ia tiba di halaman apartemen lalu mendapati apa yang dari bagian luar tampaknya adalah masalah besar.
Ini rumah Jeno, wajar saja Jeno jalan-jalan atau bersalto di sini (kalau dia tidak keberatan menarik perhatian orang) tapi Yeeun tetap saja menghela napas saat melihatnya bersama Xiao Jun.
Dalam hati bergumam, jangan lagi, Yeeun menghampiri mereka dan bersiap menghadapi perang dingin yang dideklarasikan oleh satu pihak.
"Jeno." Xiao Jun mengangguk menyapanya, begitu khas laki-laki dan begitu kikuk sampai-sampai Yeeun mengira ada yang menggerakkan kepalanya secara paksa.
Jeno yang dari penampilan luarnya berniat berangkat juga bertutur ramah, "Mau jemput Eun?"
Sebuah kerutan tanda ketidaksetujuan muncul di dahi Xiao Jun. "Kamu panggil dia apa?"
"Eun." Jeno tidak merasa itu perbuatan yang keliru, senyumnya tidak luruh. "Dia yang minta, dia nggak suka dipanggil senior."
"Eun itu panggilan buat orang-orang yang deket sama dia," tukas Xiao Jun tegas. "Sejak kapan kamu一"
"Jun." Yeeun menepuk pundaknya dari belakang dan sedikit meremasnya. "Aku sama Jeno bisa dibilang deket, rumah kita kan cuma beda beberapa unit hahaha!"
Hanya Jeno saja yang menganggap itu lelucon yang pantas ditertawakan. Hei, mungkin Yeeun memang tidak pandai mengarang lelucon, tapi normalnya Xiao Jun akan setidaknya memberi senyum sebagai penghargaan.
Mestinya Yeeun lebih tahu; ini bukan situasi yang normal.
Mencoba mencegah segalanya berubah menjadi "episode ke-3 Jeno dan Xiao Jun terjebak dalam suasana canggung yang tidak tertahankan", Yeeun menyelipkan rambut ke belakang telinga dan berupaya mencari-cari topik pembicaraan, berhubung Xiao Jun tidak berminat mengisi kekosongan yang membentang selebar ngarai.
Dia memperhatikan Jeno, melihat apa yang kelihatannya adalah kelopak bunga berwarna kuning tersangkut di bagian depan saku kemejanya dan memungutnya. "Apa ini?" Jemari Yeeun sekilas menyentuh dada Jeno dan ia bisa merasakan jantungnya yang berdetak di sana. "Bunga? Kamu abis main di taman?"
Tidak jauh dari situ, memang ada taman yang digunakan para penyewa untuk jalan-jalan menyegarkan paru-paru, tapi Yeeun tidak ingat apakah taman itu menyimpan bunga kuning yang aromanya manis dan segar seperti ini. Jeno menjelaskan, "Ah, nggak. Tadi aku ke tempat temen, sekalian olahraga. Dia suka mawar kuning, jadi aku bawain itu buat dia."
"Temen?" Xiao Jun menatap Jeno tajam seolah ia baru saja mengaku mencuri bunga itu. "Pasti temen yang istimewa. Bukannya mawar kuning artinya persahabatan sejati?"
KAMU SEDANG MEMBACA
AURA : Past Sins ✔️
FanfictionBagaimana rasanya bisa mengetahui waktu kematian orang lain? Jang Yeeun bisa melihat warna aura, dan melalui itu memperkirakan waktu kematian seseorang. Suatu hari, dia mendapati Lee Jeno, salah satu orang yang ia kenal, diselubungi aura berwarna hi...