Lee Jeno bermimpi lagi.
Dalam mimpi itu, dia kembali berada di lorong-lorong redup sekolahnya, memakai seragam berwarna merah yang katanya melambangkan keberanian. Dasinya tergantung longgar di lehernya, terikat asal seperti kabel charger yang kusut. Sepatunya, putih dengan selingan noda hitam, agak kotor hasil pelajaran olahraga pagi tadi.
Bukan penampilan terbaiknya. Ayahnya pasti akan menegurnya karena memberi contoh yang buruk pada murid-murid lain, tapi Jeno tidak peduli. Setelah bertahun-tahun menjadi anak baik, pemberontakan kecil-kecilan ini terasa menyenangkan. Tidak buruk sama sekali. Dia bak hewan yang sukses keluar dari kandangnya, beberapa kalimat penuh amarah tidak akan membuatnya secara sukarela masuk ke kandang itu apapun yang dijanjikan. Lee Jeno sudah bukan orang yang hidup seperti boneka.
Lagipula, selain omelan ayahnya, ada banyak hal lain yang harus ia pikirkan.
Jeno melangkah mundur. Dia tahu apa yang akan ia hadapi kalau ia maju, tapi seseorang menubruknya dari belakang dan mencegah ia kabur lebih jauh.
Saat berpaling, ia mendapati wajah cantik Sua yang sedang kalut. "Jeno, Mirae ... Orang-orang bilang dia di atap! Ayo ke sana!"
Tidak, tidak, tidak! Seumur hidup, Jeno tidak ingin ke tempat itu lagi. Kaki, berhentilah! Mata, menutuplah! Kenapa mereka tidak patuh? Kenapa ia kehilangan kendali atas tubuhnya sendiri?
Lalu Jeno sadar, semuanya terjadi persis seperti hari itu.
Sua menggandengnya ke atap, menyeret tubuh Jeno yang terseok-seok meniti satu-persatu anak tangga.
Cahaya menyilaukan tengah hari menyengat matanya ketika Sua membuka pintu yang dulu, saat segalanya masih cenderung baik-baik saja, di buka paksa oleh Hyuk. Pihak sekolah tidak memperhitungkan adanya murid bandel yang bisa dengan mudah membongkar kunci gembok biasa atau bagaimana di suatu hari yang tidak terduga, atap itu akan menjadi lokasi salah satu murid mereka mengakhiri hidupnya.
Tidak ada yang berubah.
Jeno melihat Mirae, duduk di bibir atap dengan kepala tertunduk, seolah ia burung yang mengira-ngira ketinggian sebelum terbang, menyongsong kebebasan. Rambut pendeknya tersingkap oleh pergerakan angin, menampakkan leher jenjang yang dilingkari kalung perak berbandul bunga favoritnya一mawar.
Sewaktu Jeno datang, gadis itu berbalik.
Dan tersenyum.
Itu senyum yang sama seperti saat dia muncul di hari pertamanya sekolah. Dia kikuk, Mirae itu. Begitu gugup ketika diminta memperkenalkan diri hingga berujar "Ni hao", alih-alih "Annyeonghaseyo" yang kontan membuat seisi kelas terbahak.
"Halo, Jeno."
Kecuali suaranya, Jeno tidak mendengar apa-apa lagi. Tidak bisa mendengar apa-apa lagi. Segalanya buram, ibarat mengendarai sepeda dan mengayuhnya sangat cepat yang berakibat semua hal一rumah, orang-orang, barisan pertokoan一menjadi kabur dan tidak jelas.
Tahu-tahu, Jeno mendapati dirinya berjalan ke pusat konflik itu, ke pusat kengerian yang masih menyiksanya. Dia melewati Hyuk, yang mengejek Mirae hanya mencari perhatian. Dan Yeji, yang membentaknya agar tutup mulut. Yeji pasti akan berbuat lebih bila Renjun tidak memeganginya, walaupun Renjun sendiri tampak ingin memukulnya sekali saja. Atau barangkali lebih dari sekali.
Perlahan, tumitnya berayun mempersempit jarak. "Mirae."
Mirae berdiri, membuat jantung Jeno menciut dalam dadanya. "Kenapa? Apa Sua butuh dibeliin sesuatu? Apa Jinhyuk butuh badut buat hiburan?" Dia terkekeh muram, sebelum sadar Jeno memperhatikan luka mungil di samping matanya. "Ah, ini? Tadi Jinhyuk ngelempar aku pake tas karena aku terlalu lelet. Tas biru di deret belakang itu lho. Kamu tahu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
AURA : Past Sins ✔️
FanfictionBagaimana rasanya bisa mengetahui waktu kematian orang lain? Jang Yeeun bisa melihat warna aura, dan melalui itu memperkirakan waktu kematian seseorang. Suatu hari, dia mendapati Lee Jeno, salah satu orang yang ia kenal, diselubungi aura berwarna hi...