Lee Jeno tak pernah membayangkan cara mati seperti ini.
Jeno memikirkan ibunya, saat ia tergantung di atap dan darah mengalir ke kepalanya yang menyebabkan rasa pusing luar biasa. Ibunya memaafkannya saat tahu mengenai Mirae. Mungkin karena memang begitulah para ibu; cinta mereka tak pernah habis, tak terkira. Mungkin juga karena dia percaya pada anaknya.
Sehelai kertas teronggok di lantai seperti sampah yang terbuang.
Daftar motivasi hidup pasti telah terjatuh dari saku saat ia melepas mantel, dan kini, tanpa tahu seberapa besar arti kertas itu, Lucas menginjaknya meninggalkan noda berwarna hitam.
Gadis yang menuliskan daftar itu masih menangis, mengangkat sebongkah kayu dengan tangan gemetar hebat. Posturnya tegap, tapi Jeno tahu Yeeun takkan sanggup melakukannya. Tidak bila yang ia hadapi adalah Lucas. Lucas yang baik, Lucas yang manis. Yeeun tak bisa menatap melampaui hal-hal itu, atau menangkap sosok monster yang bersembunyi di lapisan kulit sahabatnya.
"Kamu nggak harus nonton ini, Eun." Lucas mengusirnya secara halus. "Kamu bisa pulang. Pasti ada kegiatan lain yang harus kamu kerjain kan?"
Suara isakan menyakitkan lolos dari bibir Yeeun. Suara yang hanya bisa keluar saat kamu tercekik kesedihan. "Kenapa kita nggak pulang bareng, Lucas? Kamu dan aku. Jeno bener, ini belum terlambat."
"Maaf, Eun, kamu nggak tahu apa-apa."
"Aku tahu kalau dendam itu nggak ada gunanya. Kamu perlu belajar ngerelain Mirae. Lagian setelahnya apa? Kamu mau masuk penjara?"
Lucas mendorongnya lebih jauh ke tepian atap, hingga dasar lapangan terlihat semakin dekat. "Mungkin itu sepadan."
Jeno memerintahkan kelopak matanya agar menutup. "Pergi, Eun."
"Nggak!" Yeeun membantah 2 ucapan berseberangan tersebut. "Itu nggak sepadan. Hidup kamu, temen-temen kamu, basket kamu, itu nggak sebanding sama ini. Kamu cuma bakal nyesel. Percaya sama aku, tolong."
"Dia nggak akan dengerin itu," ujar Jeno sembari menyisipkan tawa. "Percuma. Susah ngeyakinin lalat kalau bunga lebih harum dari kotoran kan?"
"Lalat yang kamu omongin ini." Lucas dengan geram menariknya ke zona aman hanya untuk membenturkan kepalanya ke pagar pembatas. "Mungkin kamu lupa kalau hidupmu ada di tangan siapa. Apa perlu aku ingetin lagi, Jeno?"
Tubuh Jeno merosot ke bawah. Rasa sakit membutakannya, menjadi cakar yang ingin menariknya ke kondisi tidak sadar. Jeno terpuruk di sana, merasa begitu sakit hingga tidak bisa sekedar mengerang saat Lucas mencampakkan sweater-nya. Tanpa penahan, kedua kakinya menyerah dan memasrahkan diri pada lantai atap.
"Lihat kan? Kamu lihat?" Lucas menggulung lengan jaketnya sampai siku dan berjongkok, memperlihatkan bekas luka di pergelangan tangan Jeno pada Yeeun. "Dia sengaja mancing aku. Dia emang pengen mati, Eun."
"Itu kesalahan, Lucas一"
"Mestinya dia bilang makasih aku bantu wujudin cita-citanya." Lucas berdecak, seakan kecewa Yeeun tak bisa memahami logika sederhana itu. "Dia mati, dapet keinginannya, semua orang seneng. Apa ruginya?"
Sulit menjelaskan perihal hidup pada orang yang berniat menghabisi nyawa orang lain, maka Jeno diam saja. Setiap gunung berapi yang aktif pada akhirnya akan meletus, dan tidak ada yang dapat dilakukan untuk menghentikannya. Lucas marah. Setiap menit, kobaran apinya semakin parah, namun Yeeun bukanlah air yang bisa meredakannya.
"Sekarang aku kasih kamu 1 kesempatan." Ultimatum dijatuhkan. Lucas menunjuk pintu一sebuah undangan yang terbuka. "Pergi dari sini."
Yeeun menolaknya tanpa berpikir panjang. "Aku nggak mau."
KAMU SEDANG MEMBACA
AURA : Past Sins ✔️
FanfictionBagaimana rasanya bisa mengetahui waktu kematian orang lain? Jang Yeeun bisa melihat warna aura, dan melalui itu memperkirakan waktu kematian seseorang. Suatu hari, dia mendapati Lee Jeno, salah satu orang yang ia kenal, diselubungi aura berwarna hi...