Dalam dunia hukum, ada istilah bernama "Alasan Pembenar", yang menurut kamus, kurang-lebih berarti alasan yang menghapus kesalahan dalam suatu tindak pidana.
Sepasang polisi yang dipanggil dari istirahat makan siang mereka ke TKP karena kasus pencurian, pernah membebaskan sang pelaku setelah mengetahui bahwa wanita itu mencuri sembako agar anak-anaknya bisa makan.
Seorang guru mungkin akan simpatik dan batal menghukum muridnya usai si murid bercerita dia terlambat karena membelikan ibunya yang sakit obat.
Dengan kata lain, apa yang dari luar terlihat buruk tidak selalu buruk pula di dalam. Kadang ada saja keadaan yang memaksa kita melakukan hal-hal yang tidak kita inginkan; cinta dan tanggung jawab seorang ibu pada buah hatinya, penyakit yang datang tanpa peringatan, kebutuhan yang mendesak demi tetap berlangsungnya kehidupan.
Namun untuk iljin, orang-orang yang menyiksa orang lain demi kesenangan dan menikmatinya, adakah alasan yang dapat dijadikan pembelaan?
Kepala Jeno tersentak ke samping ketika Yeji menamparnya keras-keras. Dalam satu gerakan itu, Yeji menuangkan sebanyak mungkin kemarahannya, seperti arus air terjun yang menggila. Di pipi Jeno yang semula mulus, kini ada warna kemerahan yang bersanding dengan goresan-goresan kecil di titik kuku Yeji mengenainya. Tidak cukup keras untuk membuatnya berdarah, tapi cukup kuat untuk menyampaikan kebencian yang gadis itu punya.
Hendery terkesiap, maju guna menarik Yeji mundur saat dia berteriak dan mencaci maki Jeno dengan kosakata yang semakin buruk setiap detiknya. "Oke, oke, cantik. Nggak boleh gitu. Coba tahan emosi sambil jelasin ada apa sama kalian di masa SMA, gimana?"
Terlambat. Pertunjukan kecilnya telah membuat darah Yeeun bagai mendidih. Tumbuh besar dikelilingi bayang-bayang kematian, dia tidak butuh lebih banyak adegan kekerasan dalam hidupnya. "Apa-apaan kamu? Aku pikir anak psikologi tahu lebih tentang sopan santun, ternyata nggak. Apa masalahmu, Yeji?"
Yeji menengadahkan dagunya tanpa secercah pun penyesalan. Yang berkelip di matanya, tidak salah lagi, justru adalah kepuasan murni. "Oh, nggak ada. Aku sekedar ngingetin dia kalau urusan Mirae belum selesai cuma karena udah setahun sejak kejadian itu." Lalu pada Jeno, dia mengimbuhkan, "Sama sekali belum, Jeno. Jangan lupa, ada dosa-dosa masa lalu yang harus kamu tanggung."
"Yah, dan jangan lupa, kamu harus minta maaf sama dia," tukas Yeeun sengit. "Nampar orang tanpa alasan, siapapun kamu, itu kelewatan. Kamu nggak berhak."
Gagasan meminta maaf pada Jeno membuat Yeji menyeringai geli. "Dia lebih dari pantes dapetin itu. Lain kali kalau Kakak kasihan, inget-inget aja dia sekedar pembunuh yang nggak layak dibelain."
Yang diingat Yeeun, tertanam di benaknya, adalah saat Jeno tersenyum nyaris dalam berbagai keadaan, meminjaminya sepeda kala mereka masih sebatas orang asing, dan saat Jeno memberi makan kucing-kucingnya sebelum ia sendiri mengisi perut. Sekeras apapun berusaha, menyatukan Jeno yang menjadi tetangganya dengan citra yang disebutkan Yeji terasa tidak serasi, mirip memaksakan kepingan puzzle yang keliru ke tempat yang tidak seharusnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AURA : Past Sins ✔️
FanfictionBagaimana rasanya bisa mengetahui waktu kematian orang lain? Jang Yeeun bisa melihat warna aura, dan melalui itu memperkirakan waktu kematian seseorang. Suatu hari, dia mendapati Lee Jeno, salah satu orang yang ia kenal, diselubungi aura berwarna hi...