Mula-mula Xiao Jun lebih merasa terkejut daripada sakit.
Dia tahu dia akan merasakannya sebentar lagi, tapi di menit pertama, benaknya lebih fokus berkutat pada fakta bahwa pisau itu telah melubangi kemejanya dan menembus kulitnya.
"Lucas?"
Lucas mengerjap. Wajah yang biasanya tersenyum ceria itu menatap tak percaya pada tangannya, yang masih memegang pisaunya dan perlahan-lahan, melalui gagangnya yang menjelma jadi jembatan, ternoda darah. Saat darah itu berjatuhan seperti air keran, dia langsung mundur, terlambat melepaskan pisau yang menjadi sumber perkara tersebut.
Xiao Jun mencoba mengulas senyum. "Kamu bukan orang yang kayak gini, Lucas. Kamu baik, jangan tersesat lagi."
Kemudian gelombang rasa sakit itu datang. Begitu tiba-tiba dan dahsyat sampai-sampai Xiao Jun roboh seketika. Pemandangan yang sebelumnya adalah Lucas yang di latar belakangi ceceran kayu tahu-tahu terganti dengan langit malam saat kakinya tak lagi sanggup menopangnya.
Sesuatu berkembang di perutnya; tekanan kuat yang kian tajam dan bagai mengirisnya dari dalam. Rasanya seperti dipukul, lalu dikali ratusan kali lipat menjadi jauh, jauh, lebih buruk. Pertama shock, kedua takut. Bohong namanya bila Xiao Jun mengaku dia tidak mengkhawatirkan nyawanya. Dia memikirkan kerusakan organ internal. Dia membayangkan pemakaman. Barulah di moment itu Xiao Jun mengerti bahwa rasa takut bisa membunuh, dan barangkali malah akan melakukannya lebih dulu dibanding lukanya.
Berbeda dengan film, Xiao Jun tidak mendapat kilasan hidupnya atau hal yang lebih dramatis, dia hanya merasakan rasa sakit itu; intens, perih sekali. Mengoyak dan merusak. Mencegahnya bergerak dan menyulitkannya bernapas.
Lalu, Yeeun menjerit.
Jeritan histeris yang menggema di seluruh atap dan merobek malam dengan kesedihan.
Yeeun berlari, lebih cepat dari yang pernah ia lakukan seumur hidupnya. Dia menutup mulut. "Oh." Dan berlutut. "Oh. Jangan kamu, jangan kamu, jangan kamu."
Bagi Yeeun, dia sudah terjatuh saat itu, tanpa harus terjun dari tepian atap. Pusat kegelapan terbuka dan dia terperosok ke sana, lantas ditelan bulat-bulat.
Dengan hati-hati, dia menopang kepala Xiao Jun. Mengelus rambutnya, pipinya, lanjut turun ke dagunya. "Jun..."
"Masih di sini." Yeeun bisa melihat betapa sulit Xiao Jun mengeluarkan kata-kata itu. "Dia nggak sengaja. Lucas一" Xiao Jun berhenti. Peluh membasahi keningnya. "Lucas nggak ... sengaja."
Sengaja atau tidak Xiao Jun tetap terluka. Dengan marah, kalut dan panik, Yeeun mencengkeram jaket Lucas dan mengguncang-guncangnya. "Cepet telepon ambulans! Lucas, kamu denger aku? Telepon ambulans sekarang!"
Lucas terduduk lesu tanpa reaksi, tidak bersuara, benar-benar diam.
"Jeno, tolong." Yeeun memohon lirih, terisak tanpa henti. "Bantu dia, bantu dia." Sebab, dia sendiri mendadak lupa pada segalanya, termasuk nomor layanan telepon darurat. Yeeun menunduk, membenamkan wajah di bahu Xiao Jun.
Tapi Jeno rupanya sudah berjalan secepat yang ia bisa, dengan luka-luka yang tidak dapat dikatakan ringan. Jeno memungut sebuah benda dari lantai dan mengutak-atiknya. "Ayo, ayo, ayo." Dia menepuknya keras-keras. "Ayo nyala!"
Bagian bahu kemeja Xiao Jun pun basah dalam waktu singkat. Xiao Jun membelai rambutnya, berusaha tergelak. "Ssst. Nggak apa-apa, nggak apa-apa."
Apanya yang tidak apa-apa di situasi ini? Yeeun menggeleng. Dia paham tusukan di perut mampu mengakibatkan kematian. "Aku selalu percaya kamu, tahu? Waktu Hendery ngira kamu pelakunya, aku berantem sama dia. Aku marahin dia. Aku nggak terima."
KAMU SEDANG MEMBACA
AURA : Past Sins ✔️
FanfictionBagaimana rasanya bisa mengetahui waktu kematian orang lain? Jang Yeeun bisa melihat warna aura, dan melalui itu memperkirakan waktu kematian seseorang. Suatu hari, dia mendapati Lee Jeno, salah satu orang yang ia kenal, diselubungi aura berwarna hi...