36. Sang Pembeda

303 83 6
                                    

Seseorang dengan keadaan ekonomi yang sulit barangkali berpikir, dunia ini tidak adil, dan bertanya-tanya, apa gunanya hidup di dunia yang timbangannya berat sebelah pada orang-orang kaya saja? Lalu bunuh diri.

Seorang mahasiswa yang tidak kunjung lulus mendatangi rumah orang tuanya diam-diam, berharap bisa istirahat di situ, tapi mereka justru membicarakannya di belakangnya, menghujaninya dengan hinaan dan cacian, lantas terheran-heran di pemakamannya, mengapa dia pergi terlalu cepat?

Atau C, seorang gadis yang dicampakkan kekasihnya memilih menemui malaikat maut, karena tak sanggup membayangkan hidup tanpa pria yang ia puja setelah ia menyerahkan semua yang ia punya.

Kesimpulannya, kita semua punya neraka versi kita masing-masing一sesepele dan sedangkal apapun kelihatannya. Bagimu, mungkin itu masalah kecil. Bagi mereka, itu akhir dari segalanya. Kamu takkan pernah tahu kecuali kamu berada di posisi yang sama. Tak perlulah saling menyepelekan, terlebih membandingkan karena merasa kisahmu yang paling menyedihkan.

Hei, lagipula, piala jenis apa yang akan kamu dapat dengan adu penderitaan?

Hendery Huang kembali duduk di kursi yang Yeeun tujukan bagi Xiao Jun membawa tisu basah dan minuman yang tidak sempat ia nikmati karena serangkaian peristiwa yang telah terjadi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hendery Huang kembali duduk di kursi yang Yeeun tujukan bagi Xiao Jun membawa tisu basah dan minuman yang tidak sempat ia nikmati karena serangkaian peristiwa yang telah terjadi. "Sini. Tangan kamu."

Dengan telaten, dia membersihkannya, mengelap noda darah yang mengering di sana dengan ketelitian seperti seorang ibu dan lucunya, juga dibarengi dengan omelan. "Eun, Eun. Aku kecewa kamu nggak ngajak aku. Minta tolong sama orang lain nggak akan bikin kamu berubah jadi bison. Apa yang kamu pikirin? Ngadepin masalah segede itu sendiri?"

"Aku nggak mikir apa-apa." Jujur, Yeeun berkata. "Itu tindakan spontan. Aku denger Jeno ke sekolahnya, aku nyusul. Aku mau bantu, Hendery. Tapi aku malah ketemu Lucas dan semuanya..." Tangan berdarah itu ia angkat. "Berantakan."

"Kamu nggak nyangka Lucas pelakunya."

Lucas yang prioritasnya adalah basket dan cewek-cewek? Tentu saja tidak. Sosok di atap sekolah Jeno masih sulit Yeeun percayai sebagai sahabatnya. "Sama sekali nggak. Aku kira itu orang yang nggak aku kenal. Aku harap itu orang yang nggak aku kenal." Air matanya mengancam turun lagi. "Andai waktu itu aku mikir cepet; nelepon polisi dan ambulans, bujuk Lucas. Aku bisa aja buang pisaunya. Kenapa aku nggak buang pisaunya? Tolol."

"Hei, hei, jangan nangis lagi. Oh sial. Aku nggak niat ngingetin kamu soal itu." Punya 3 kakak perempuan jelas tidak membuat Hendery jadi ahli dalam hal menangani wanita yang menangis. "Maaf, dan jangan nyalahin diri kamu, Eun. Bukan kamu yang megang pisau itu."

Memang bukan. Lantas kenapa perasaan bahwa ia seharusnya bisa mengubah keadaan jika tidak histeris sepanjang waktu tidak kunjung musnah juga? "Aku lihat kejadiannya, Hendery. Pisau itu nusuk dia di sini." Yeeun menunjuk perutnya, sedikit di atas ginjal kiri. "Dia jatuh. Dan mendadak aku nggak inget apa-apa. Aku fokus berdoa. Dalam hati aku bilang, jangan ambil dia. Tolong jangan ambil dia, Tuhan. Aku bahkan belum pernah bilang aku sayang dia."

AURA : Past Sins ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang