Bagi Jang Yeeun, pemahaman tentang hidup dan maut yang ibarat 2 sisi koin yang tidak terpisahkan sudah muncul sejak ia masih kecil. Dia berada di tengah-tengahnya, menginjakkan kaki pada masing-masing 1 pihak. Yuri menyebutnya anugerah, Yeeun memanggilnya bencana.
Tapi, apa sesungguhnya kematian itu?
Norman Cousins, seorang penasehat perdamaian dunia dari New Jersey pernah berkata, "The tragedy of life is not death, but what we let die inside of us while we live".
Mungkin dia benar, mungkin juga dia salah. Sebab secara medis, kamu baru dinyatakan meninggal saat jantung dan otakmu berhenti bekerja. Hanya orang-orang tertentu saja yang mengerti bahwa bukan mustahil seseorang sekarat, merasa mati di dalam, bahkan ketika jantung dan otak mereka masih menjalankan tugas dengan benar.
Itu karena depresi一makhluk jahat tak kasat mata yang memakan kewarasanmu sedikit demi sedikit dan merusak mekanisme yang membuat kamu berpikir logis. Depresi adalah penyakit dengan obat yang sulit dicari. Kamu bisa saja batuk ringan dan tetap beraktivitas seperti biasa, atau sakit gigi dan sembuh sehabis menenggak ibuprofen. Namun saat depresi, seluruh dunia rasanya jadi tidak berarti lagi.
Yang lebih ironis, selama bertahun-tahun, Yeeun telah belajar一dengan menyakitkan一bahwa tidak semua orang depresi berwajah murung, sering melamun dan sebagainya dan sebagainya. Ada yang masih bisa tertawa, bersandiwara bahagia seutuhnya. Ada yang menangis, tanpa mengeluarkan air mata.
Terkadang, orang yang tertawa paling keras justru adalah orang yang paling butuh bantuan.
Apa yang Yeeun takutkan akhirnya terjadi.
Melalui selubung air mata, Yeeun menatap Jeno, aura barunya, dan menyadari sebelum ini, sejak di lapangan bakset, ia sebenarnya sudah memperkirakannya. Ia hanya terus menipu dirinya sendiri, berkata berulang-ulang bahwa orang dengan kehidupan seperti Jeno tidak mungkin jatuh dalam lubang keputusasaan.
Dia salah一salah besar.
Perubahan ini menghantam Yeeun dengan telak, mengembalikannya ke masa lalu yang penuh kepedihan di mana ada seraut wajah seorang sahabat yang selalu ia rindukan. Yeeun membisu, mendengarkan satu-persatu omong kosong Jeno一"nggak apa-apa", "nggak masalah"一dan mengangguk seolah ia benar-benar mempercayainya.
Setelah Jeno pergi sekalipun, Yeeun masih tersenyum karena tidak tahu harus berbuat atau bicara apa. Dengan langkah tersaruk-saruk, ia memutar tumit, berniat pergi ke satu-satunya tempat yang ia tahu tidak terlalu ramai saat ini.
Tapi Hendery tidak mau melepaskannya begitu saja. "Mau ke mana? Eun, tungguin!"
"Taman belakang." Yeeun harap itu cukup untuk mengusir Hendery. Dia tahu cowok itu membenci tempat tersebut karena area dengan rumput tebal bukanlah lokasi yang tepat bagi skateboard-nya.
Keinginannya tidak terkabul. "Oke. Tapi kamu kenapa? Masih laper? Haus?"
Yeeun tertawa. Permasalahannya sekarang adalah masalah runyam yang tidak bisa diatasi dengan berbagai makanan dan minuman. "Aku udah kenyang."
KAMU SEDANG MEMBACA
AURA : Past Sins ✔️
FanfictionBagaimana rasanya bisa mengetahui waktu kematian orang lain? Jang Yeeun bisa melihat warna aura, dan melalui itu memperkirakan waktu kematian seseorang. Suatu hari, dia mendapati Lee Jeno, salah satu orang yang ia kenal, diselubungi aura berwarna hi...