38

457 60 20
                                    

Suara decit ban akibat pergerakan yang berhenti mendadak membuat Jennie tersentak.  Syukurlah ia berhasil mengerem mendadak jika tidak, mungkin kucing liar itu sudah terlindas. Wanita Kim itu merutuki dirinya sendiri karena tak fokus menyetir. Sejak pertemuannya dengan Taehyung beberapa jam yang lalu, dadanya terasa sesak seolah lubuk hatinya di sana tak terima akan apa yang ia telah katakan pada laki-laki itu. Percayalah, semua kalimat yang ia katakan keluar begitu saja, seakan dikendalikan oleh orang lain. Lantas apa Jennie menyesalinya?

Entahlah wanita Kim itu tidak bisa mengatakannya karena sekarang rasa puas sekaligus kasihan masih bersarang di benaknya. Mengesampingkan itu, rasa penasaran akan keadaan Aecha semakin tak tertahan, ingin sekali ia mengunjungi dan memeluk bocah itu namun apa daya ia tak mungkin mengunjunginya karena keberadaannya saja ia tak tahu.

Tak terasa  ternyata ia sudah menghilangkan beberapa menit hanya untuk terdiam dalam pikirannya di tengah jalan menuju ke hutan.

"Astaga! Aku bisa kena marah kalau terlambat seperti ini!"

Tak menunggu lama Jennie segera menancapkan gasnya membelah hutan berharap ia segera sampai ke markas tanpa adanya halangan.

Sementara itu mereka bertiga yaitu Sashi, Jisoo dan Luckie tengah mengadakan pertemuan mendadak mengenai kasus anak buahnya yang memberontak. Terhitung sudah hampir satu jam mereka bertiga saling berembug untuk mengatasi permasalahan baru-baru ini. Jika kau membayangkan perundingan yang dilakukan mereka semacam konferensi meja bundar itu salah,  kondisi di sana tidaklah sekondusif itu. Kerap kali sang iblis menggebrak meja karena emosi. Tak jarang juga Jisoo berdebat dengan Luckie. 

Sashi yang melihat itu pun hanya dapat memijit pelipisnya. Tak dipungkiri lagi bahwa jangan pernah satukan manusia seperti Jisoo dengan Luckie yang keras kepala. Jika itu terjadi habis sudah nasib gendang telingamu.

"Aku saja yang membunuhnya," celetuk Sashi membuat Luckie dan Jisoo langsung terdiam dari cekcoknya.

"Tidak. Dia harus mati ditanganku. Kalau kau yang membunuhnya tidak seru," sarkas Jisoo secepatnya.

Luckie yang mendengar itu langsung memutar bola matanya malas. "Tentu aku yang harus menghabisinya. Kalian tidak tahu cara menghukum manusia dengan benar!"

Akibat perkataan Luckie barusan, tatapan maut Jisoo lemparkan pada makhluk itu ia tak terima dan mulai mengikis jarak diantara.

"Mematahkan tangannya, memotong semua jarinya dan hatinya untuk dijadikan sup lalu yang terakhir aku akan menusuk jantungnya berulangkali bahkan sampai jantungnya terlepas dari tempatnya," kata Jisoo sembari menatap tajam pada Luckie seolah ia akan menghabisi Luckie saat itu juga.

"Cukup! Tidak ada gunanya berdebat! Aku pusing mendengar kalian mengoceh terus! Biar aku putuskan, Luckie saja yang menghabisinya. Lagipula jiwanya sudah terkontrak kan? Kemarin dia juga sudah mendapatkan apa yang diinginkan."

Senyum kemenangan mengembang di wajah pucat Luckie. Ayolah, Jisoo yang melihat itu ingin sekali menginjak wajah itu dengan heels miliknya.

"Lihat, terbukti bahwa aku yang pantas menghabisinya," ujar Luckie memancing kekesalan Jisoo.

"Sudah berhenti! Jika terus-terusan berdebat tentang menghabisinya hanya akan membuang waktu. Apa kalian lupa jika semakin hari Yuta cs semakin gencar ingin merebut kekuasaan kita?" kata Sashi.

"Karena itulah kau harus siap melakukan ritual bulan purnama itu," sahut Luckie dengan wajah datar dan lengan yang dilipat di depan dada.

Jisoo yang keberatan pun langsung saja menyanggah omongan Luckie, "Kau gila? Jika melakukan ritual itu kita akan memerlukan banyak korban. Kau sih enak, tinggal menikmati korban, tapi aku dan Sashi pusing tujuh keliling hanya untuk mencari korban. Lagipula persediaan wanita di sini juga menipis."

[2] She is Mine Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang