Bab 3

2.2K 320 4
                                    


Setelah selesai menyuapi Adiknya makan siang Aisya menolak untuk tidur karena merengek ingin ikut Abangnya ke rumah sang Nenek.

Sebenarnya Ali juga tidak tega meninggalkan Adiknya yang masih kecil di rumah sendirian seperti tadi. Ayah dan Ibunya bukan tidak ingin mengajak Aisya hanya saja mereka tahu jika diajak tiba di sana Aisya hanya akan menyaksikan perlakuan tak menyenangkan keluarga Ayahnya pada sang Ibu.

Kompleks kediaman Ali ini sangat ketat penjagaannya jadi warga di sini tidak perlu takut kemalingan atau penculikan. Meskipun bukan kompleks elit namun kenyamanan area sini membuat para warga merasa betah termasuk Ali dan keluarganya.

Rumahnya memang tidak besar namun asri, rumah ini hasil kerja keras Ayah dan Ibunya beberapa tahun setelah mereka menikah. Ayahnya bekerja di sebuah perusahaan swasta sebagai karyawan biasa beliau menolak untuk mengurusi peternakan milik keluarganya yang ada di desa.

Ibunya sangat pandai di bagian dapur jadi dulu beliau membuka usaha kecil-kecilan dengan membuat kue-kue yang kemudian di jual. Dan sekarang usaha kecil-kecilan Ibunya sudah menghasilkan satu toko kue yang terletak di pinggir jalan raya yang tak begitu jauh dari komplek rumahnya.

Namun meskipun Ibunya sudah memiliki usaha dan Alhamdulillah sekali penghasilan Ibunya nyaris setara dengan gaji wanita karir pada umumnya tapi dimata keluarga Ayahnya tetap saja Ibunda Ali dianggap tidak ada apa-apanya.

Aisya terus merengek tidak ingin ditinggal sendirian di rumah hingga akhirnya Ali mencetuskan ide untuk membawa Aisya ke toko kue Ibunya di sana ada lima orang karyawan Ibunya yang pasti bisa membantunya untuk menjaga Aisya sebentar hanya sebentar karena Ali hanya ingin memastikan Ibunya baik-baik saja.

Setelah membujuk Aisya akhirnya gadis kecil itu bersedia untuk Ali titipkan sama Mbak-mbak di toko. Di toko kue Ibunya ada khusus kamar yang memang di peruntukan untuk Aisya karena Ibunya lebih banyak menghabiskan waktunya di toko kue dari pada di rumah.

Setelah mengantar dan menitipkan Adiknya di toko kue Ali langsung memacu motor maticnya menuju kediaman Neneknya. Letak rumah Neneknya tak begitu jauh namun yang membuat jauh adalah jarak hati mereka.

Ali tidak bermaksud membentengi dirinya dari keluarga sang Ayah hanya saja ia tidak bahan ketika keluarga Ayahnya terutama Neneknya mulai menghina Ibunya dengan membanding-bandingkan beliau dengan wanita yang dulu pernah ingin dijodohkan dengan Ayahnya.

Ali baru saja memarkirkan motornya saat telinganya tanpa sengaja menangkap suara seperti orang menangis. Jantung Ali seperti di remas saat telinganya mulai familiar dengan suara itu.

"Ibu.." Panggil Ali sebelum melepaskan helm-nya lalu bergerak mencari asal suara tangisan itu. Ternyata memang Ibunya yang sedang menangis tersedu-sedu di taman samping rumah Neneknya.

"Ibu.." Ali mengeraskan suaranya hingga membuat Ibunya refleks mendongak kearahnya.

Jantung Ali seperti diremas ketika melihat wajah Ibunya bersimbah air mata. Wulan -Ibunda Ali- dengan cepat menyeka air matanya namun terlambat Ali sudah melihat semuanya.

"Abang ngapain ke sini Nak? Adek mana?" Wulan berusaha terlihat baik-baik saja didepan putranya. Namun sayang Ali bukan lagi anak kecil yang bisa Ibunya bohongi.

"Siapa yang membuat Ibu menangis?" Tanyanya dengan suara datarnya aura Ali mulai berubah. Wajahnya yang mengeras sudah cukup menjelaskan jika saat ini Ali benar-benar sedang menahan amarahnya.

"Nak dengerin Ibu dulu."

"Abang tanya siapa yang sudah berani-beraninya membuat Ibu menangis?" Ulang Ali dengan suara yang jauh lebih dingin dan datar.

Wulan mulai kelimpungan sendiri dan disaat yang tidak tepat Astri, Adik kandung suaminya datang dengan wajah pongahnya.

"Saya yang buat Ibu kamu menangis kenapa? Mau balas dendam kamu? Memangnya anak bau kencur kayak kamu bisa apa hah?"

***

Ali mengepalkan kedua tangannya menatap wanita yang ia panggil Tante Astri itu dengan pandangan meremehkan.

"Tante serius ingin tahu apa yang bisa anak bau kencur ini bisa lalukan?"

"Abang udah Nak. Jangan di perpanjang lagi. Kita pulang ya." Wulan berusaha membujuk putranya supaya Ali tidak membuat keributan dengan keluarga Ayahnya. Cukup dirinya saja yang dipandang sebelah mata anaknya jangan.

Ali menatap Ibunya, perasaannya sakit sekali saat melihat wajah sembab Ibunya, mata bening Ibunya juga terlihat bengkak entah sudah berapa lama Ibunya menangis di sini.

"Ayah di mana Bu?"Tanya Ali saat tidak melihat keberadaan Ayahnya.

"Ayah nganterin Nenek ke rumah sakit." Jawab Wulan sambil mengusap lembut lengan putranya. "Kita pulang ya Nak. Biar nanti Ibu telfon Ayah bilang kalau kamu udah jemput Ibu." Wulan terus memperlihatkan senyumannya berusaha menutupi luka menganga di hatinya karena mulut tajam sang Adik ipar.

Ali mengangguk setuju, ia tidak akan membuat keributan karena nanti ujung-ujungnya pasti Ibunya yang akan terkena imbas. Setiap ia melakukan kesalahan selalu Ibunya yang menjadi sasaran makian. Sehingga membuat Ali sebisa mungkin berlaku baik dan tidak membuat kesalahan supaya Ibunya tidak perlu menerima hinaan.

Wulan dan Ali sudah akan berbalik menuju garasi dimana motor matic Ali terparkir saat Astri kembali mengeluarkan 'bisanya'.

"Jaga Ibumu baik-baik. Ibumu itu yatim piatu nggak ada yang ajarin sopan santun apalagi tata krama dalam bergaul. Bikin malu saja!"

Wulan buru-buru menahan lengan Anaknya ketika Ali akan berbalik untuk kembali beradu mulut dengan Tantenya. Astri berdecih sinis sebelum berbalik dan menutup pintu samping rumah Ibunya dengan begitu keras hingga terdengar dentuman yang membuat Wulan sedikit terperanjat.

"Kita pulang ya Nak? Ibu kangen sama Ais." Inilah kenapa Aisya sering tidak diajak ke rumah Neneknya, gadis kecil itu terlalu suci untuk bergaul dengan para iblis betina seperti Astri itu.

Astagfirullah..

Ali buru-buru beristighfar di dalam hati, Ibunya bisa marah jika beliau tahu bahwa dirinya baru saja mengatai Tantenya iblis betina.

"Ayo Bu. Kita pulang Abang juga gerah lama-lama di sini." Ali mengibaskan kerah bajunya. "Jangan-jangan Nenek bangun rumah ini dari uang haram lagi makanya bawaannya panas aja kalau udah menginjakkan kaki di rumah ini." Canda Ali yang dibalas pukulan pelan oleh ibunya.

"Hush! Jangan ngomong gitu nanti ada yang denger mereka salah paham lagi nanti sama Abang."

"Udah biasa Bu. Mereka kan memang selalu salah paham sama kita." sahut Ali yang membuat Wulan seketika bungkam. Ia mengerti apa maksud putranya tapi apa boleh buat ia tidak mungkin membiarkan anak-anaknya hidup dalam kebencian terutama pada keluarga inti Ayah mereka sendiri.

*****

Cinta, Harta dan AliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang