Bab 14

2.5K 364 20
                                    


"Ali?"

Prilly mengerjapkan matanya berkali-kali untuk memastikan apakah pria yang berdiri didepannya saat ini adalah Ali atau hanya khayalannya saja.

"Siapa dia Nak?"

"Dia--"

"Saya Ali Nyonya. Tolong jangan bawa Prilly pergi dari kami."

Prilly kembali menoleh menatap Ali yang sedang memohon pada Ibunya. Prita tersenyum lembut pada Ali yang menatapnya penuh permohonan.

Tangannya masih menggenggam erat tangan putrinya. "Maaf Nak. Putri Tante sudah cukup menderita bersama kalian jadi tolong lepaskan dia. Ikhlaskan dia pergi bersama Tante." Prita masih memberikan senyuman hangatnya pada Ali yang sudah terpaku di tempatnya.

"Ayok Sayang." Ajaknya pada Prilly.

Prilly sedikit linglung namun kakinya tetap melangkah mengikuti langkah Ibunya.

"Prilly aku mohon. Tolong jangan pergi! Jangan tinggalin kami Prilly." Ali kembali bersuara dengan keras namun sarat akan permohonan.

Kaki Prilly sontak terhenti. "Kami?" beonya meskipun tanpa membalikkan badannya menatap Ali.

Ali menganggukkan kepalanya berkali-kali. "Iya kami. Aku, Om Hendra dan juga Papi kamu."

Senyum Prilly seketika berkembang miris. "Papi?" Ucapnya dengan nada pelan.

Prita menatap putrinya dengan senyum hangatnya. "Jika hati kamu masih menginginkan untuk bersama Papi maka kembali lah Nak."

Prilly menggelengkan kepalanya dengan cepat namun terlihat sekali keraguan di wajahnya hingga kembali membuat senyuman Prita mengembang lebar.

"Sayang, dengerin kata hati kamu. Saat ini kamu hanya sedang kecewa pada Papi kamu, jangan jadikan perasaan kecewa itu sebagai patokan kamu untuk ikut Mami Sayang karena nanti kamu akan menyesalinya." Prita mengusap lembut pipi putrinya.

"Kembalilah! Dan hidup bahagia bersama orang-orang yang mencintai kamu seperti dia." Prita menolehkan kepalanya untuk menatap Ali yang masih berdiri kaku dengan wajah penuh harap.

Prilly menoleh menatap Ali lalu kembali menatap Ibunya. "Dia tidak mencintaiku Mi." Jawabnya lirih, senyum miris seketika berkembang lebar di bibirnya.

Prita kembali mengembangkan senyumannya. "Belum Sayang bukan berati tidak. Dia hanya belum menyadari perasaannya pada kamu dan tugas putri cantik Mami ini adalah membuat dia sadar jika tidak ada wanita lain yang pantas dia cintai selain putri Mami ini."

Mendengar perkataan Ibunya tanpa bisa ditahan Prilly mengembangkan senyumannya. "Jadi aku harus kembali Mi?"

"Iya Sayang. Kembali dan hidup bahagia di sana karena di sini Mami akan selalu mendoakan kamu. Mendoakan segala kebaikan untuk putri Mami sampai masanya tiba kita pasti akan bertemu kembali Nak." Prita kembali mengusap wajah putrinya. Mata Prilly sontak berair apalagi ketika Ibunya memberikan satu kecupan penuh kasih di dahinya.

"Kembali Nak, putri Mami harus kuat. Mami yakin Prilly mampu menghadapi semuanya. Prilly, putri Mami yang kuat. Mami Sayang kamu Nak. Sayang sekali."

Titttt.....

"Kondisi pasien semakin melemah Dokter."

***

Hendra dan Agung sontak beranjak dari kursinya saat seorang perawat keluar dari UGD namun bukan menghampiri mereka, perawat itu justru berlari entah menuju kemana.

"Ada apa ini? Lindungi putriku ya Tuhan." Hendra mengusap wajahnya dengan mata berkaca-kaca. Ia benar-benar kalut saat ini apa lagi ketika mendengar jawaban dari Perawat yang ditanyai oleh Agung.

"Kondisi putri Bapak benar-benar kritis saat ini."

Hendra nyaris tumbang jika saja tak ada Ali yang menahan tubuhnya. Pria itu keluar dari ruang pemulihannya karena tidak bisa menahan kegelisahan yang datang tiba-tiba.

"Ada apa Om?" Tanya Ali dengan wajah yang mulai ikutan panik karena melihat wajah cemas Hendra.

"Keadaan Prilly semakin memburuk." Jawab Hendra yang membuat kedua lutut Ali seperti jelly. Ali segera mendudukkan dirinya di kursi di belakangnya.

"Kenapa bisa begini?" Ali tidak tahu bertanya pada siapa tapi jelas Hendra mendengarnya. "Semua pasti akan baik-baik saja. Om yakin Prilly akan baik-baik saja." Ujarnya pada Ali meskipun hati Hendra saat ini benar-benar kalut.

Di antara mereka semua wajah Ali lah yang terlihat paling pias. Selain karena baru saja mendonorkan darahnya Ali juga sedang dilanda kekhawatiran yang sangat.

Ali tidak menyangka jika tindakannya tadi siang sampai membawa Prilly ke ambang kematiannya.

"Maafin Ali Om." Ali tidak bisa menahan perasaan bersalahnya karena ia terus berpikir jika keadaan Prilly saat ini adalah kesalahan dirinya.

Agung dan Hendra yang mendengar suara lirih Ali sontak mendekat dengan ekspresi berbeda. Agung terlebih dahulu menarik kerah baju Ali yang langsung di halangi oleh Hendra.

"Apa-apaan sih Mas!"

"Apa yang kamu lakukan pada anak saya hah?!" Agung langsung berteriak di depan Ali yang hanya bisa menundukkan kepalanya. Ali tidak bisa berbuat apa-apa karena sudah sepantasnya ia menerima ini semua.

Semua yang terjadi pada Prilly adalah salahnya.

"Jangan lempar batu sembunyi tangan kamu Mas!" Hilang sudah rasa hormat Hendra pada Kakaknya ini. Ia benar-benar tidak terima saat Agung justru melemparkan kesalahannya pada Ali, pemuda baik ini tidak bersalah apa-apa pada putri mereka.

"Kita jelas tahu siapa biang dalam masalah ini. Karena ulah siapa putriku sampai harus menderita seperti ini!" Perkataan Hendra sontak membuat Agung bungkam.

Pria itu terlihat begitu frustasi sebelum melangkah meninggalkan Hendra dan Ali, Agung sempat menendang kursi di sisi Ali.

Sepeninggalan Agung, Hendra terlihat menepuk pelan pundak Ali. "Ini bukan salah kamu Li. Semua ini karena masalah keluarga sialan yang membuat Prilly-ku berada diujung kematian seperti ini." Hendra terlihat sangat emosional ketika berbicara hingga membuat Ali tidak tahu harus bersikap seperti apa.

Dia tidak begitu tahu mengenal keluarga Prilly apalagi sampai ikut campur dalam urusan keluarga mereka jadi yang bisa Ali lakukan saat ini adalah diam.

Diam satu-satunya cara terbaik untuk menenangkan Hendra yang sepertinya benar-benar dikuasai emosi.

Keheningan terjadi di antara mereka sampai akhirnya pintu UGD terbuka hingga membuat Ali dan Hendra sontak mendekati pintu UGD kali ini yang keluar bukan perawat melainkan Dokter yang menangani Prilly.

"Bagaimana keadaan putri saya Dokter?" Hendra langsung bertanya pada Dokter. "Bapak keluarga pasien?"

"Saya Papanya Dokter. Bagaimana keadaan putri saya?" Hendra dan Ali sama-sama cemas menunggu sang Dokter membuka mulut.

"Jadi begini Pak, putri Bapak---"

*****

Cinta, Harta dan AliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang