Menjelang pukul 10 malam, Prilly baru kembali ke kediamannya. Sebenarnya ia malas sekali kembali ke rumah ini jika bukan karena memikirkan pendidikannya mungkin Prilly sudah minggat ke rumah Eyangnya yang ada diluar kota.Mereka terpaksa harus kembali lebih cepat karena Hendra tiba-tiba mendapatkan telpon penting dari kantornya yang tidak bisa diwakilkan pada siapapun dan akhirnya di sinilah Prilly sekarang.
Menapaki lantai teras istana megah yang sama sekali tidak memberikan kebahagiaan untuk Prilly, jika bukan karena mendengar nasihat Eyangnya Prilly tidak akan berpikir dua kali untuk meninggalkan rumah ini.
"Kalau kamu pergi dan meninggalkan Papi kamu maka akan semakin mudah jalan wanita itu untuk mendapatkan Papi kamu Nak."
Prilly setuju dengan apa yang Eyangnya katakan. Jika ia mundur maka wanita itu akan semakin maju untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Prilly yakin wanita itu hanya mengincar uang Papinya saja tidak mungkin mustahil rasanya wanita itu benar-benar jatuh cinta pada pria yang sudah memiliki anak yang nyaris seumuran dengan dirinya.
Prilly jelas tidak akan percaya pada cinta seperti itu apalagi tanpa pembuktian apa-apa. Memangnya wanita itu bisa membuktikan bahwa wanita benar-benar mencintai Papinya? Bagaimana jika Papinya bangkrut? Tiba-tiba menjadi gembel apa mungkin wanita itu masih mau mendampingi Ayahnya? Jelas tidak Prilly yakin itu.
Prilly bukan mendoakan hanya saja ia ingin realistis jika kecil kemungkinan apa yang wanita muda itu rasakan pada Papinya adalah cinta. Semua itu hanya ambisi nafsu serakah akan kekayaan dan kekuasaan yang Ayahnya miliki.
"Kamu pulang Nak?"
Prilly menghentikan langkahnya ketika mendengar suara pria yang selalu ia rindukan. Prilly tersenyum miris selama ini ia pikir Ayahnya tidak pulang menjenguk dirinya karena sibuk bekerja padahal Ayahnya sibuk dengan calon istrinya tercinta bahkan sampai mengabaikan dirinya.
Jika tanpa kehadiran Hendra mungkin Prilly tak lebih dari yatim piatu. Dia tidak akan pernah merasakan bagaimana hangatnya dekapan seorang Ayah ketika ia ketakutan, ketika ia sakit selalu Hendra yang memilih begadang untuk menjaga dirinya.
Papinya? Sibuk.
"Kamu sudah makan?"
"Sudah. Prilly ke kamar dulu Pi, capek mau tidur, selamat malam." Prilly ingin langsung beranjak meninggalkan Ayahnya namun perkataan Agung sontak menghentikan langkahnya.
"Papi belum makan malam temenin Papi ya?"
Prilly menoleh menatap Ayahnya jika kemarin-kemarin mungkin akan dengan senang hati ia anggukan kepalanya tapi tidak untuk malam ini, tidak setelah ia tahu jika selama ini Ayahnya hanya membohongi dirinya dengan viral beralasan sibuk setiap kali Prilly menggumamkan kata rindu.
Sibuk mengurusi calon istrinya tentu saja dan bisa dibayangkan bagaimana sakitnya hati Prilly saat ini?
"Selama ini Papi bisa melakukan semuanya sendiri tanpa Prilly bukan? Lalu kenapa hanya untuk makan malam saja Papi memerlukan Prilly?" Prilly menekan erat telapak tangannya dengan kuku-kuku jarinya yang panjang ketika ia berbicara sekasar itu dengan Ayahnya.
Katakan Prilly kurang ajar! Tapi demi Tuhan Prilly benar-benar sakit saat ini perasaannya hancur lebur melihat Ayahnya menatap sendu dirinya namun tidak ada sedikitpun penyesalan di mata yang serupa dengan matanya itu.
Papinya tidak menyesal dengan apa yang telah beliau lakukan selama ini. Benar-benar memalukan!
"Prilly dengarkan Papi!"
"Cukup Pi! Aku benar-benar tidak mau mendengar apapun selama Papi belum membatalkan niat Papi untuk menikahi wanita itu!"
"Clarista namanya Clarista!"
"Siapapun namanya tidak penting untukku!" Prilly mulai terpancing emosinya ketika melihat tatapan tajam yang Ayahnya layangkan karena ia menyebut calon istri Ayah nya dengan panggilan wanita itu.
Lihatkan bagaimana Ayahnya memuja wanita itu?
"Karena bagiku wanita sialan itu tidak lebih dari seorang rendahan yang rela melakukan apapun hanya karena Uang!"
Plak!!
***
Hening.
Prilly mengerjap pelan, apa barusan ia baru saja di tampar oleh Ayahnya? Tidak mungkin tapi kenapa pipi kanannya terasa sakit sekali.
"Prilly.. Nak---"
Ternyata benar, ia baru saja ditampar. Prilly tersenyum miris lalu tertawa terbahak-bahak menertawakan apa yang baru saja ia alami.
"Belasan tahun aku hidup dan hari ini benar-benar hari terburukku." Ucapnya masih disela tawa yang diwarnai air mata.
Prilly merasakan sudut bibirnya berdenyut sakit ketika tanpa sengaja mengenai tangannya yang ia gunakan untuk menyeka air matanya. Prilly tidak akan menangis setidaknya untuk saat ini.
Agung membulatkan matanya saat melihat sudut bibir putrinya yang robek karena tamparan keras darinya.
"Sayang maafin Papi."
Prilly menoleh menatap Ayahnya dengan pandangan hampa. Gadis itu terlalu pintar menyembunyikan perasaannya.
"Dimaafkan." Ucapnya tanpa menatap Agung. "Tapi tidak untuk melupakan. Aku akan ingin hari ini tamparan pertama ini bahkan sampai aku menyusul Mami." Ujarnya tanpa memperdulikan ekspresi bersalah Ayahnya.
Prilly segera membalikkan badannya meninggalkan Ayahnya dalam keheningan. Sepeninggalan Prilly, Agung kembali meratapi kesalahannya. Ia pandang telapak tangan kanannya yang baru saja ia gunakan untuk memukul putrinya, putri yang mati-matian diperjuangkan oleh almarhumah istrinya.
Berbeda dengan Agung yang hanya menatap sendu tangannya, di dalam kamarnya Prilly sudah meraung keras meluapkan kesakitan dan juga kekecewaannya pada sang Ayah pria pertama yang ia cintai di dunia ini.
Prilly memegang pipinya yang masih berdenyut sakit meskipun rasa sakitnya tidak sebanding dengan rasa sakit di ulu hatinya.
Untuk pertama kalinya, Papinya tega mengasari dirinya hanya karena membela wanita kecintaannya yang lain.
"Mami..." Prilly memanggil Ibunya ditengah tangisan kerasnya. "Mami jemput aku!!" Prilly terus berteriak memanggil Ibunya.
Kenapa Mami pergi sendirian dan meninggalkan aku dengan Papi Mi? Kenapa Mami tidak membawaku ikut serta bersama Mami?
Prilly tidak bahagia di sini Mi! Prilly menderita. Izinkan Prilly pergi bersama Mami. Jemput Prilly Mi! Tolong!
Ditengah isak tangisnya yang begitu memilukan tanpa sengaja Prilly melihat gunting di atas rak buku di sudut kamarnya. Perlahan meskipun tertatih-tatih Prilly beranjak mendekati rak buku miliknya.
Tidak ada cara lain hanya dengan gunting ini Prilly bisa menyusul Ibunya. Tidak ada yang menyayangi dirinya di dunia ini. Tidak Ali dan juga tidak Papinya.
Hari ini kedua pria yang sama-sama berarti untuk Prilly kompak melukai jiwa dan juga raganya. Maka tidak salah ketika Prilly memilih untuk meninggalkan mereka.
Prilly menggenggam erat gunting di tangannya lalu ia arahkan ke pergelangan tangan kirinya. Memejamkan mata, Prilly membayangkan bagaimana jika ia pergi apakah pria-pria itu akan sedih atau justru bahagia?
Baiklah, mari kita lihat..
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta, Harta dan Ali
RomanceNext cerita aku kali ini aku bakalan nulis cerita tentang anak SMA gitu, semoga suka yaa.. Silahkan cek ceritanya jangan lupa vote dan komennya ya dear..