Bab 2

2.6K 350 7
                                    


"Bang Ali.."

"Halo Aisya.."

Ali segera membawa Adiknya yang masih berusia 5 tahun ke dalam gendongannya. Aisya atau yang kerap di sapa Ais itu memang sangat dekat dengan Abangnya.

Setiap hari seperti sudah menjadi kebiasaan Aisya untuk menunggu kedatangan Abangnya di depan pintu rumah mereka.

Ali juga sangat menyayangi Adiknya karena Aisya satu-satunya saudara yang ia miliki meskipun jarak usia mereka cukup jauh namun kedekatan mereka jelas tak perlu ditanyakan lagi.

"Ibu sama Ayah mana?" Tanya Ali sambil berjalan menuju kursi rotan yang ada di teras rumahnya. Ali mendudukkan Adiknya di sana lalu berjongkok untuk membuka sepatu sekolahnya.

Hari ini Ali pulang lebih awal karena ada rapat mendadak yang sekolahnya adakan juga Prilly yang kebetulan sekali hari ini tidak masuk sekolah. Entah apa alasan gadis itu tidak ke sekolah hari ini.

"Ibu sama Bapak belum pulang."

Ali mengernyit bingung, "Memangnya Ibu sama Bapak kemana?" Tanya Ali setelah membuka sepatu dan juga kaos kakinya ia letakkan sepatunya di rak sepatu yang memang sudah di sediakan di sudut teras.

"Tempat Nenek katanya Nenek sakit." Jawab Aisya sambil memainkan boneka di dalam gendongannya.

Ali terpaku sejenak, Nenek yang dimaksud Aisya adalah Ibu dari Ayahnya. Perempuan yang sudah melahirkan Ayahnya namun menolak kehadiran Ibunya.

Benar, keluarga Ayah Ali tidak menyukai Ibundanya karena beliau merupakan anak panti, Ibunya sudah yatim piatu sejak kecil hingga tinggal dan dirawat di salah satu panti asuhan hingga dewasa dan bertemu dengan Ayahnya.

Keduanya saling jatuh cinta namun sayang keluarga sang Ayah yang memang sedikit berada menolak keras kedatangan Ibunya. Terutama Neneknya, beliau berkeinginan menikahkan Ayahnya dengan seorang putri pengusaha namun harus buyar karena Ayahnya lebih memilih untuk menikahi Ibunya satu-satunya wanita yang beliau cintai.

Ali sangat tahu bagaimana sepak terjang kehidupan orang tuanya setelah menikah hingga akhirnya kehidupan mereka membaik meskipun tak kaya raya namun mereka bahagia.

"Ya sudah ayok kita masuk Dek." Ajak Ali pada Adiknya. Ia berniat mengunjungi kediaman Neneknya sebentar lagi sekedar melihat apakah Ibunya baik-baik saja.

Ali sudah sangat hafal bagaimana tabiat keluarga Ayahnya jika sedang berkumpul yang selalu menjadikan Ibunya sebagai sasaran hinaan mereka.

Ali tidak terima. Demi Tuhan, ia tidak akan membiarkan siapapun menyakiti wanita yang sangat ia cintai itu. Sampai matipun Ali tidak akan membiarkan harga diri Ibunya kembali di injak-injak.

Maka dari itu mati-matian Ali berusaha untuk belajar supaya setelah lulus nanti ia bisa melanjutkan pendidikannya lalu sukses karena ia yakin ketika ia sukses nanti tidak akan ada lagi yang berani menyakiti Ibunya termasuk Neneknya.

"Ais lapar." Lamunan Ali buyar saat tangannya disentak lembut oleh Adiknya. Satu lagi wanita yang sangat Ali cintai setelah Ibunya adalah Aisya belahan jiwanya.

"Ya sudah kita makan ya, setelah itu Ais bobo nanti malam Abang janji bakalan bacain dongeng yang banyak untuk Aisya. Oke."

"Yey! Oke Abang Ali yang ganteng." Ucap Aisya mengedipkan matanya dengan gaya super genit hingga membuat tawa Ali terdengar memenuhi rumahnya.

***

"Prilly ayoklah Sayang kamu harus makan Nak."

Prilly masih memilih bungkam. Sejak kemarin ia menolak menelan apapun setelah tahu jika Ayahnya benar-benar serius dengan niatnya untuk menikahi wanita yang usianya nyaris sepantaran dengannya.

Sialan!

Prilly tidak akan sudi menerima Ibu tiri yang hanya berselisih beberapa tahun dengannya.

"Papa keluar aja! Aku benar-benar ingin sendiri." Prilly sudah mengurung dirinya sejak kemarin di dalam kamarnya menolak siapa saja yang ingin menemuinya termasuk Papa kandungnya hanya Hendra yang ia biarkan masuk ke dalam kamarnya.

Hendra menghela nafasnya, ia benar-benar tidak tega melihat keponakan yang sudah putrinya sendiri bersedih seperti ini. Ia sangat merindukan Prilly putrinya yang manis dan ceria itu.

"Papa bisa bantu apa Nak?" Tanyanya sambil mengusap lembut kepala Prilly.

Prilly menoleh menatap Hendra. "Aku mau Papi membatalkan pernikahannya Pa." Matanya mulai berkaca-kaca. "Kenapa Papi harus menikahi wanita itu? Apa hidup denganku saja tidak cukup untuk Papi?" Satu persatu air mata Prilly menetes.

Hubungannya dengan Agung Ayah kandungnya memang tidak sedekat dengan Hendra yang notabene adalah pamannya namun jauh di dalam lubuk hatinya Prilly benar-benar menyayangi Papinya hingga ia tidak mau Papinya dimanfaatkan oleh wanita itu. Wanita yang Papinya ingin dinikahi beberapa bulan lagi.

Prilly benar-benar shock ketika tahu jika Ayahnya ingin menikah, seandainya wanita yang Ayahnya ingin nikahi pantas untuk Ayahnya ia tidak akan masalah namun ternyata Ayahnya ingin menikahi wanita yang jelas-jelas lebih cocok menjadi anaknya.

Prilly tentu tidak akan terima. Ia yakin wanita itu hanya mengincar harta Ayahnya saja. Bulshit! Jika mereka mengakui saling mencintai mungkin dari sisi Ayahnya iya tapi dari wanita itu Prilly yakin itu bukan cinta melainkan nafsu serakah ingin memiliki harta Ayahnya.

"Sayangku.." Hendra sontak membawa Prilly ke dalam pelukannya. Prilly menangis tersedu-sedu di dalam pelukan Hendra sejak dulu hanya Hendra yang selalu menyedikan pelukannya ketika ia bersedih.

Papinya lebih sering menghabiskan waktu dengan bekerja. Beliau sering menghabiskan hari-harinya dengan mengunjungi negara-negara dimana bisnisnya sedang berkembang. Prilly jelas bangga dan senang menjadi putri seorang Agung, jika ditanya perihal harta dan kekuasaan jelas kekuasaan Prilly sebagai putri tunggal pengusaha juga konglomerat itu tidak perlu diragukan lagi.

Tapi perihal kebahagiaan hati? Prilly harus kembali menelisiknya lagi. Karena jika ia bahagia maka tidak akan air mata sederas ini yang keluar dari matanya.

Prilly tidak akan menangis terisak-isak meratapi kesedihan hatinya seperti saat ini.

Prilly tidak perduli jika air matanya akan membuat kemeja mahal Papa Hendra nya akan kotor karena yang Prilly inginkan saat ini adalah menangis sekencang-kencangnya.

Hendra mengeratkan pelukannya pada tubuh sang putri. Jika ia bisa akan ia cabut kesakitan dan kesedihan Prilly lalu ia buang jauh-jauh dan ia gantikan dengan kebahagiaan.

"Sabar Sayang. Sabar Papa yakin setelah ini kamu akan bahagia Nak. Kamu akan bahagia." bisik Hendra membenamkan kecupan hangatnya pada pelipis putrinya.

Prilly memejamkan matanya rapat-rapat, akankah ia bahagia? Benarkah kebahagiaan itu ada untuknya?

*****

Cinta, Harta dan AliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang