Bab 9

2.4K 352 41
                                    


"Bang!"

Ali kembali mengerjapkan matanya ketika Aisya lagi-lagi memukuli pahanya. Adik Ali itu merasa kesal karena sejak tadi Abangnya selalu kedapatan melamun.

Entah apa yang sedang dilamunkan pria itu.

"Ah kenapa Dek?"

"Abang kenapa? Liatin apa sih?" Aisya mengira Abangnya melihat sesuatu kearah meja didepan mereka padahal tanpa Aisya tahu jika pikiran Abangnya saat ini sedang tertuju pada seorang gadis yang berhasil membuatnya tak tenang sejak pertemuan terakhir mereka tadi siang.

Ali benar-benar masih mengingat dengan jelas raut kekecewaan yang ditampilkan oleh Prilly entah gadis itu sadari atau tidak namun ekspresi gadis itu benar-benar menunjukkan kekecewaan padanya.

Dan Ali tidak tahu kenapa ia merasa tidak nyaman dan tenang seperti ini. Bahkan ia sampai bela-belain mengantar kotak bolu ke mobil dimana gadis itu berpura-pura tidur.

Ali tahu Prilly berpura-pura tidur karena setelah Ali menaruh kotak-kotak kue itu gadis itu terlihat seperti sedang berbicara dengan Papanya.

Ali yakin Prilly pasti sedang menghindari dirinya. Lalu apa masalahnya? Bukannya justru bagus seperti itu? Jadi ia tidak perlu lagi adu urat ketika gadis itu menganggu ketenangan hidupnya.

Ali benar-benar tidak menyangka niat baiknya menolong Prilly dulu justru merajut garis takdir sampai mereka 'sedekat' sekarang. Prilly benar-benar menyebalkan namun juga bisa terlihat begitu manis sewaktu-waktu.

Ali masih ingat saat pertengahan tahun ajaran kemarin dimana sekolahnya mengadakan sebuah acara seperti bazar dimana acara tersebut dibuka untuk umum.

Jelas sekali banyak masyarakat yang berminat untuk mendatangi sekolah elit itu entah untuk berbelanja atau hanya sekedar melihat-lihat saja. Banyak sekali yang ditampilkan hari itu, stand-stand aneka makanan dan minuman berjejer rapi di samping lapangan.

Dan di sanalah Ali melihat seorang gadis cantik dengan senyuman yang begitu manis sedang membagikan makanan serta minuman untuk para pengunjung yang sepertinya berasal dari kalangan bawah terlihat dari penampilan mereka yang biasa saja dibandingkan pengunjung yang lain.

Tanpa sadar Ali berjalan mendekat meskipun tak terlihat oleh Prilly namun posisinya sekarang cukup untuk membuatnya mendengar apa yang wanita itu katakan kepada para pengunjung yang sedang mengantri untuk menerima minuman dan makanan dari tangannya.

"Neng cantik baik sekali. Jarang sekali ada orang kaya yang perduli pada kami yang miskin."

Ali memperhatikan ekspresi wajah Prilly yang tiba-tiba berubah cemberut namun terlihat sangat menggemaskan.

"Ibu nggak boleh ngomong gitu dong. Mau kaya atau nggak kan matinya tetap jadi bangkai juga Bu." Jawab Prilly dengan wajah imutnya yang memancing tawa para ibu-ibu yang mengantri di hadapannya.

Tanpa sadar Ali turut menaikkan kedua sudut bibirnya sebelum teman-temannya yang lain datang menyeret dirinya meninggalkan area bazar itu.

"Abang."

"Iya Prilly?"

Wulan menaikkan alisnya. "Sejak kapan nama Ibu jadi Prilly?" Tanyanya dengan kerlingan jahil.

Ali sontak mengusap lehernya yang tak gatal. "Ini nama tokoh di cerita yang lagi Abang baca namanya Prilly." Kilah Ali dengan senyuman lebarnya.

Wulan melirik buku cetak ditangan putranya. "Sejak kapan pelajaran Matematika ada tokohnya?" Tanya Wulan dengan bibir berdekut menahan tawa. Ia tahu sekali putranya sedang berbohong padanya.

Sial.

Ali menutup matanya. Ia lupa jika tadi sedang mengajari Aisya hitung-hitungan. "Abang ke kamar dulu Bu." Ali langsung ngacir menuju kamarnya.

Wulan menatap putranya dengan tersenyum geli. "Mau jatuh cinta juga nggak apa-apa kali Bang. Udah cukup umur ini." Katanya sebelum membereskan buku-buku milik putrinya.

***

Hendra tiba dirumah setengah jam kemudian dan ia melihat Agung Kakaknya sedang duduk termenung sambil menatap telapak tangannya.

Kening Hendra sontak mengernyit saat melihat wajah Kakak tertuanya itu bersimbah air mata.

"Mas ada apa? Apa yang terjadi?" Hendra langsung menghampiri Agung yang terus mengeluarkan air mata. Tatapan matanya hanya terfokus pada telapak tangan yang ia gunakan untuk menampar putrinya.

"Mas berdosa Hen. Mas sudah melakukan sebuah dosa besar malam ini." Racau Agung yang sama sekali tidak dimengerti oleh Hendra.

"Mas ngomong yang jelas dong sebenarnya apa yang terjadi? Prilly mana Mas?" Hendra tidak melihat keberadaan Prilly di sana.

Mendengar nama putrinya tangis Agung semakin menjadi-jadi hingga akhirnya Hendra yakin jika sudah terjadi sesuatu dengan putrinya.

"Prilly dimana? Jawab aku Mas!"

"Di kamar." Jawab Agung pilu. "Mas baru saja menampar putri Mas dengan tangan ini." Agung menunjukkan tangannya yang ia gunakan untuk menampar Prilly tadi.

Mata Hendra sontak membulat sempurna. "APA YANG MAS LAKUKAN PADA PUTRIKU?!" Teriakan Hendra terdengar memenuhi rumah.

Agung tidak bisa berbuat apa-apa ketika Hendra menarik kerah bajunya. "Jika sampai sesuatu yang buruk terjadi pada Prilly. Aku bersumpah Mas." Wajah Hendra terlihat begitu menyeramkan. "Aku bersumpah akan menghancurkan Mas juga wanita murahan itu!" Hendra tak takut sama sekali ketika mulutnya dengan lancar menyebut calon Kakak iparnya dengan sebutan murahan.

Mata Agung sedikit menggelap namun Hendra sama sekali tak gentar. "Jangan membuatku tertawa dengan cinta busukmu itu Mas!" Hendra belum melepaskan tangannya dari kerah baju Agung.

Peduli setan dengan kesopanan! Hendra tidak akan menaruh hormat pada siapapun yang sudah menyakiti putrinya termasuk Agung, satu-satunya saudara yang ia miliki yant begitu ia segani dan hargai selama ini.

"Lepaskan tanganmu!"

"Tidak akan. Aku benar-benar tidak main-main dengan ancamanku Mas. Aku benar-benar akan membuat wanita sialan itu menderita setelah ini lihat saja." Hendra mendorong tubuh Agung hingga terjatuh ke sofa sebelum beranjak menuju kamar putrinya.

Hendra tak henti-hentinya mengumpati Masnya yang sepertinya sudah benar-benar kehilangan akal akibat cinta semu penuh kebohongan itu.

Hendra benar-benar tidak menyangka jika Agung berani menyakiti putrinya secara fisik seperti ini, Hendra yakin insiden ini terjadi pasti ada kaitannya dengan wanita sialan yang ingin dinikahi oleh Mas Agung-nya itu.

Benar-benar tidak bisa dibiarkan. Belum menikahi wanita itu saja Agung sudah berani menyakiti putrinya lalu bagaimana nanti? Hendra tidak akan membiarkan putrinya di sakiti oleh siapapun termasuk Agung.

Tok!

Tok!

"Nak buka pintunya ini Papa." Hendra menggedor-gedor pelan pintu kamar Prilly. Keningnya sontak mengernyit saat tidak mendengar suara isakan atau apapun dari dalam kamar Prilly.

"Apa Prilly tidur ya? Mungkin saja ia ketiduran karena lelah menangis bukan?" Hendra berbicara sendiri, sepertinya Prilly memang tidur.

"Ya sudahlah. Besok pagi saja aku bertemu dengan Prilly. Mimpi indah Nak, Papa sayang kamu." Bisik Hendra di depan pintu sebelum berbalik meninggalkan pintu kamar Prilly.

*****

Cinta, Harta dan AliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang