Bab 28

2.3K 367 10
                                    


Wulan dan Hutama saling berpandangan setelah mendengar apa yang Rita dan Hendra sampaikan. Mereka semua sepakat untuk tidak menutupi apapun, Rita ingin pernikahan yang akan dijalani oleh cucunya didasari dengan kejujuran bukan sebuah topeng untuk menutupi kebusukan putra kandungnya.

Rita tahu ia baru saja membuka aib putranya namun ia tidak mau jika sampai suatu saat nanti karma atas perlakuan Agung berbalik pada cucunya. Rita tidak mau jika nanti cucunya akan dipandang rendah oleh keluarga suaminya.

Maka dari sekarang ia sudah mewanti-wanti semuanya termasuk tanggapan Wulan dan suaminya. "Saya yakin sangat yakin jika Ali bisa menjadi sosok pelindung untuk cucu saya dan Ali sudah tahu semuanya tentang masalah keluarga yang sedang kami hadapi." Ujar Rita yang mendapat anggukan dari Hendra.

"Kami benar-benar tidak tahu harus menanggapinya seperti apa Bu yang jelas kami tidak ingin menikahkan putra kami hanya karena warisan itu." Wulan memberanikan diri untuk mengeluarkan pendapatnya. Sebagai seorang Ibu ia jelas-jelas harus memastikan semuanya terlebih dahulu sebelum rencana mereka berjalan lebih jauh.

"Saya mengerti maksud Nak Wulan." Rita tersenyum bijak. "Kami sekeluarga menghormati Ali dan warisan itu sama sekali bukan mahar untuk membeli Ali."Lanjut Rita masih dengan senyumannya. "Itu hak Prilly sebagai pewaris keturunan kami dan sebagai suami jelas Ali memiliki hak di sana selama ia bersama dengan cucu saya. Jelas Nak Wulan mengerti apa maksud saya bukan?"

Wulan mengangguk pelan. Ia mengerti apa yang dimaksud oleh Eyang Rita.

Hutama menatap datar wajah tua Rita. Meskipun sudah tua jelas gurat kecantikan masih tersisa di wajah putih itu. Sekali lihat saja semua orang tahu jika sosok Eyang Rita ini berasal dari kalangan konglomerat.

"Jadi bagaimana Nak Hutama?" Rita beralih menatap Hutama, jika dilihat Hutama ini sepantaran usianya dengam putra sulungnya hanya saja Hutama sosok Ayah yang menyayangi anaknya berbeda dengan Agung yang sudah tergila-gila pada wanita murahan itu hingga melupakan putri tunggalnya.

"Sebagai seorang Ayah jelas saya mengharapkan yang terbaik untuk putra saya Bu Rita sama seperti Ibu yang mengharapkan sesuatu yang baik untuk Prilly cucu kesayangan Ibu." Suara Hutama terdengar tenang, Hendra akui sosok Hutama ini pantas jika dijadikan pemimpin.

Kenapa nggak nyaleg aja coba? Pikir Hendra nyeleneh.

"Tapi semua balik lagi pada anak-anak jika mereka yakin satu sama lain, mereka yakin bersama mereka bisa bahagia maka sebagai orang tua saya jelas akan memberikan restu saya." Perkataan Hutama sontak membuat Rita dan Hendra mendesah lega begitupula dengan Wulan, cita-citanya untuk memiliki menantu sebentar lagi akan terwujud.

"Dan perihal warisan kami -Hutama dan Wulan- tidak ingin ikut campur biarkan itu menjadi urusan Ali dan Prilly yang terpenting mereka bisa saling menjaga dan bahagia itu sudah lebih cukup untuk kami." Ujar Hutama sambil mengenggam tangan istrinya. Wulan tersenyum lebar menatap suaminya dengan penuh rasa bangga. Ia tidak salah memilih untuk menjadikan Hutama sebagai suaminya.

Hendra dan Rita saling pandang senyum kelegaan terlihat diwajah Ibu dan anak itu. Mereka semakin yakin jika sosok Ali adalah orang yang tepat untuk Prilly.

Rita bisa melihat jika Ali dan keluarganya jelas-jelas tidak mengincar kekayaan keluarga mereka. Meskipun tidak berasal dari keluarga kaya raya namun kehangatan keluarga Ali mampu membuat mereka semua iri terutama Prilly jika gadis itu tahu.

"Mama bisa tenang sekarang Hen. Cucu kesayangan Mama jatuh ke tangan yang tepat bukan?"

"Iya Ma. Hendra juga lega dan tenang sekali sekarang."

***

"Mau itu." Aisya menunjuk salah satu jeruk yang ada di meja kecil di samping kiri ranjang Prilly.

Ali meraih jeruk yang ditunjuk oleh Aisya, mereka masih menunggu para orang tua yang belum selesai berbicara. Entah apa yang mereka bicarakan hampir satu jam belum juga ada tanda-tanda mereka akan menyelesaikan pembicaraan mereka.

"Kamu mau Pril?" Ali menawari jeruk yang sedang di kupas olehnya pada Prilly.

Prilly menggelengkan kepalanya. "Enggak Mas. Aku suka perih perutnya kalau makan yang asam-asam gitu Mas." Jawab Prilly sambil mengusap lembut kepala Aisya yang sedang menyesap jeruk ditangannya.

Aisya terlihat sangat menyukai buah kuning itu hingga tak terlalu menghiraukan percakapan dua orang dewasa di hadapannya.

"Karena kamu diet itu."

"Enggak loh Mas kan cuma jaga pola makan aja aku." Bantah Prilly yang membuat Ali mendengus pelan.

"Pola makan apanya? Lah setiap di kantin kamu cuma duduk sambil liatin aku makan. Nggak pernah tuh aku lihat kamu makan." Seru Ali yang membuat senyum Prilly mengembang lebar.

"Oh berati kamu diam-diam meratiin aku ya?" Goda Prilly dengan kerlingan jahilnya.

Ali sontak membuang wajahnya memilih menatap Aisya. "Kok belepotan gini Dek makannya." Ali membersihkan wajah Aisya yang belepotan dengan sisa-sisa jeruk yang ia kunyah.

"Mas.." Prilly menoel-noel genit lengan Ali. "Apa sih. Makan sana." Ali menjawab tanpa memperdulikan Prilly yang gencar sekali menggodanya.

"Uluh-uluh perhatian banget sih calon suami aku." Ujar Prilly masih dengan kerlingan genitnya.

"Muka Abang merah." Celetuk Aisya tiba-tiba yang membuat tawa Prilly meledak. Aisya tidak salah, wajah Ali benar-benar merah saat ini. Pria itu salah tingkah karena godaannya.

Benar-benar menggemaskan.

"Abang malu dek." Ujar Prilly yang membuat Aisya mendongak menatapnya. "Malu kenapa Kakak?" Tanya Aisya dengan kerlipan polosnya.

Prilly kembali menggulirkan bola matanya untuk menatap Ali yang sedang melotot gemas padanya. Tawa Prilly seketika meledak hingga membuat Ali terpaku.

Jantungnya seperti sedang bermain gendang di dalam sana. Detaknya benar-benar kencang seperti ingin mendobrak rongga dada Ali. Ya Tuhan ada apa dengan dirinya?

Semakin lepas tawa Prilly maka semakin kencang detak jantung Ali yang berpacu di dalam dadanya. Ali menatap Prilly tanpa berkedip bahkan ia sampai tak sadar saat tangan mungil Aisya terayun-ayun untuk meraih jeruk di tangannya.

"Abang!!" Jerit Aisya yang membuat Ali tersentak kaget. "Astagfirullah.." Ali sontak beristighfar. "Iya kenapa Dek?"

"Abang kenapa sih liatin Kak Prilly terus?" Tanya Aisya yang menatapnya dengan tatapan polosnya.

Ali menggaruk tekuknya yang tidak gatal sedangkan Prilly berusaha kuat untuk tidak memperlihatkan rona merah yang menjalar di wajahnya.

Sial. Prilly salah tingkah sekarang.

*****

Cinta, Harta dan AliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang