Tiga Puluh Empat

667 141 48
                                    

Fany meletakkan ponselnya yang sedang menampilkan fungsi kalkulator, kemudian meremas rambutnya dengan frustrasi. Ini tidak cukup, batinnya. Fany baru dua bulan kuliah, dua bulan bekerja, dan gadis itu sudah mulai frustrasi.

Fany sudah mempersiapkan segala skenario yang ada. Jika ia berhasil mendapatkan beasiswa untuk semester depan, ia akan merasa sangat bersyukur lalu menggunakan sisa tabungan dan uang hasil kerjanya untuk hal lain. Tapi ia tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di depan. Rencana manusia bisa meleset dan Fany sudah memperhitungkan itu. Ia sudah menghitung sisa tabungan dan seluruh hasil kerjanya selama dua bulan yang lalu serta perkiraan pendapatan untuk beberapa bulan ke depan. Tapi itu semua tidak cukup untuk membayar uang kuliah semester dua, uang kos dan juga untuk hidup. Belum lagi tugas mahasiswa yang tidak main-main pengeluarannya.

Apa yang harus ia lakukan? Jika tidak berhasil mendapat beasiswa, bisa-bisa Fany harus mengambil cuti karena uangnya tidak cukup. Ia harus mencari pekerjaan tambahan. Tapi di sisi lain mencari pekerjaan tambahan juga tidak memungkinkan. Pertama, jadwal kuliahnya di semester satu ini masih tak beraturan karena jadwalnya ditemukan olek pihak kampus. Kedua, jika ia mencari pekerjaan tambahan, bisa-bisa kuliahnya kacau dan justru mempersulitnya memperoleh beasiswa. Ia sudah mengambil dua kerja sambilan yang berbeda; mengantar susu di pagi hari dan menjaga kafe di malam hari. Bekerja di dua tempat saja sudah cukup melelahkan, bagaimana mungkin ditambah lagi?

"Gue harus gimana, dong?" Fany meletakkan kepalanya di meja perpustakaan dan menghela napas panjang. "Nggak mungkin gue pulang terus minta uang. Mau ditaruh mana muka gue di depan Papa?"

Gadis itu memejamkan mata. Memikirkan opsi lain yang mungkin bisa ditempuhnya, tapi nihil. Otak Fany buntu. Dan kebuntuan itu diinterupsi oleh ponselnya yang tiba-tiba berdering. Fany buru-buru mengangkat panggilan itu sebelum penghuni perpustakaan yang lain terganggu.

"Halo, Zin?" bisiknya.

"Gue udah di depan fakultas lo. Lo di mana? Kelas lo jadi kosong?"

"Iya, dosen gue lagi ke luar negeri. Ini gue di perpustakaan. Bentar, gue keluar dulu."

Fany mematikan sambungan teleponnya. Membereskan barang-barangnya lalu berjalan cepat keluar perpustakaan, sama sekali tidak sadar bahwa dompetnya terjatuh.

***

"Terima kasih. Selamat datang kembali." Fany tersenyum datar sambil memberikan pesanan kepada pelanggan kafe. Setelah itu Fany kembali melamun. Ketika makan siang dengan Zinu tadi siang, Fany baru sadar dompetnya tidak ada dan itu membuatnya uring-uringan. Bagaimana tidak? Uang, kartu debit, KTP, KTM, dan semua benda-benda penting ada di dalamnya. Di saat Fany pusing dengan uangnya yang menipis, ia harus dihadapkan pada kenyataan baru bahwa dompetnya hilang. Astaga, yang benar saja!

Seharian Fany mencari. Di kelas, di perpustakaan, toilet kampus, koridor, di kamar kos, di warung juga toko fotokopi yang disinggahinya, semua tidak ada. Fany juga sudah membuat laporan kehilangan di kampus, dan meminta tolong untuk menghubunginya jika ada yang menemukan. Tapi nihil. Hingga malam dompetnya masih belum ketemu.

"Permisi."

Astaga! Rasanya kepala Fany ingin meledak!

"Halo, mbak?"

Apa yang harus Fany lakukan sekarang?

"Mbak!"

Fany terkesiap ketika tiba-tiba ada seorang laki-laki menjentikkan jari tepat di depan wajahnya. Gadis itu salah tingkah karena tertangkap basah sedang melamun, kemudian buru-buru membungkuk. "Maaf, Mas. Silakan. Mau pesan apa?"

"Americano satu, red velvet satu."

"Dingin?"

"Ya."

"Atas nama?"

"Brian."

Fany menerima uang yang disodorkan sambil memperhatikan lelaki di hadapannya. Tunggu. Kenapa wajahnya tidak asing? Tapi Fany buru-buru mengabaikan pikirannya kemudian memberikan nota sekaligus kembalian. "Tunggu sebentar. Nanti akan dipanggil namanya. Terima kasih."

Beberapa saat kemudian pesanan Brian selesai. Fany memanggil namanya dan laki-laki yang duduk itu menghampiri Fany.

"Ini pesanannya. Terima kasih. Selamat datang kembali." Fany tersenyum ramah.

Brian hanya mengambil kopinya. "Yang itu buat kamu."

Fany mengerjap. "Hng?"

Brian menunjuk nama yang tertulis di cup es yang ada di tangan Fany. "Itu namaku. Kayaknya kamu nggak ingat. Jangan ngelamun lagi, ya. Nggak bagus."

Belum sempat Fany bereaksi, laki-laki itu sudah berbalik dan pergi meninggalkan kafe. Meninggalkan Fany yang masih berdiri di tempatnya dengan kening berkerut. Apa Fany mengenal laki-laki itu?

***

Fany sedang menelungkupkan kepalanya di meja, menunggu dosennya tiba sambil memikirkan cara apa yang bisa ia lakukan untuk menemukan dompetnya yang hilang. Haruskah ia lapor polisi? Bagaimana kalau tetap tidak ketemu? Argh! Kenapa benda itu harus hilang di saat seperti ini, sih? Bagaimana dengan nasibnya?

Fany masih sibuk meratap ketika tiba-tiba sebuah cup es red velvet mendarat di mejanya. Gadis itu mendongak, hendak mengomel pada siapa pun yang mengganggunya, ketika sadar bahwa laki-laki yang berdiri di depannya sama dengan laki-laki yang memberinya es semalam.

Fany mengerutkan kening. Tunggu! Siapa namanya kemarin? Bi... Bi...

"Brian," kata lelaki itu tiba-tiba seolah mampu menembus isi kepala Fany. "Jangan ngelamun. Habisin, gih, sebelum Pak Arif datang."

Brian hampir pergi tapi kali ini Fany menahannya. "Tunggu!"

Brian menoleh. "Hm?"

"Minuman kamu ketinggalan."

Brian melirik esnya yang berada di atas meja Fany. "Itu buat kamu."

"Maaf sebelumnya. Tapi aku nggak-"

"Tenang aja, aku nggak ngasih racun atau semacamnya, kok. Minuman itu aman." Brian memotong kalimat Fany.

Fany tak menjawab. Bukannya ia tidak tahu terima kasih. Ia hanya merasa aneh karena ada orang yang tiba-tiba memberinya minuman seperti ini. "Makasih. Tapi tolong lain kali jangan ngasih aku minuman lagi, ya."

Laki-laki berkemeja hitam itu mengangkat bahu. "Oke. Tapi nanti selesai kelas boleh ngomong bentar?"

"Apa?"

"Nanti aja." Selanjutnya Brian melangkah ke belakang kelas dan duduk di salah satu bangku.

Fany menatap lelaki itu kemudian mendengus pelan. Ia sungguh tidak suka dengan manusia sok akrab. Namun kemudian gadis itu tersadar sesuatu. Brian duduk di sini. Apa lelaki itu juga mengambil mata kuliah yang sama dengannya? Apa karena itu semalam Fany merasa tidak asing ketika melihat Brian? Tapi kenapa rasanya Fany pernah melihat lelaki itu selain di kafe dan di kampus?

TBC

EftychisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang