Enam

1.1K 251 123
                                    

Keputusan dari sekolah adalah Zinu akan dikeluarkan jika memang terbukti mencuri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Keputusan dari sekolah adalah Zinu akan dikeluarkan jika memang terbukti mencuri. Tapi sebelum hasilnya keluar, lelaki itu masih diperbolehkan masuk sekolah. Maka dari itu, dengan sisa waktu yang dimilikinya, Zinu berusaha keras mengumpulkan bukti bahwa ia tidak mencuri kalung milik Dina. Pihak sekolah pun memilih untuk menyelidiki kasus ini tanpa melibatkan polisi karena tidak ingin nama baik sekolah tercemar. 

Zinu berpikir keras. Ketika peristiwa itu terjadi, ia menaruh tasnya di kelas pagi hari dan tidak membawanya ke mana-mana sampai pulang. Jadi jika benar ada orang yang sengaja memasukkan kalung Dina ke sana, pasti akan terekam oleh CCTV kelas. Zinu pun menuju ke bagian keamanan, meminta rekaman CCTV. Meski jawaban yang didapatnya membuat Zinu mendesah frustrasi. 

“CCTV di kelas dua belas IPS dua rusak dari seminggu yang lalu. Belum diperbaiki.” 

Sial! Sial! Sial! 

Namun tak habis akal. Zinu pun menemui teman sekelasnya satu per satu, menanyai pertanyaan yang sama. “Lo seharian di kelas nggak? Selama di kelas, lo lihat ada yang nyamperin meja gue pas gue nggak ada atau naruh sesuatu di tas gue?” 

Dan jawabannya pun bermacam-macam. 

“Nggak tahu.” 

“Gue nggak mau ikut campur, Zin.” 

“Kemaren diinterogasi sama guru-guru. Sekarang diinterogasi sama lo. Haduuhh!” 

“Nggak tahu. Meja lo kan di belakang, meja gue di depan. Ngapain gue merhatiin tempat lo?” 

“Udah deh, ngaku aja kalau lo pelakunya. Bukannya lo juga udah bosen sekolah?” 

Zinu duduk di bangku koridor dengan lesu. Hampir semua teman-teman sekelasnya ia tanya, tapi tidak ada hasil apa pun. Semua tidak tahu. Benar-benar tidak ada kabar baik selama dua hari terakhir.

Zinu hampir menyerah. Dikeluarkan dari sekolah atau tidak, lelaki itu sebenarnya sadar jika masa depannya tidak akan baik. Toh setinggi apa pun tingkat pendidikan yang ia raih, tidak akan membawa Zinu pada mimpi yang diinginkannya.  

Namun tidak. Ia tidak akan menyerah karena ada nama orang lain yang dipertaruhkan di sini. Ada gadis itu yang menunggu.

“Ngapain lo di sini?” 

Zinu tertegun. Gadis yang baru saja ia pikirkan tiba-tiba muncul, dan kini duduk di sampingnya. “Nggak ngapa-ngapain. Lo sendiri tumben ada di tempat yang nggak ada bukunya. Ngapain?” 

Fany mengangkat bahu. Dengan wajah datarnya, gadis itu bertanya, “Gimana? Udah dapet bukti?” 

“Gue lagi berusaha. Lo tenang aja.” 

“Gue punya sesuatu buat lo,” kata Fany. 

Zinu menatap gadis di sampingnya dengan alis terangkat. “Apa?” 

“Ikut gue.” 

Zinu mengikuti Fany yang berjalan mendahuluinya. Mereka menuju gudang sekolah. Kening Zinu mengernyit melihat di dalam ada Toni, salah satu murid cupu di kelasnya yang juga sering menjadi korban keisengan Zinu. 

“Ngapain lo di situ, Ton?” tanya Zinu. 

“Dia mau ngomong sama lo,” sahut Fany. “Gue keluar dulu ya.” 

Zinu membiarkan Fany meninggalkan mereka berdua, meski tidak paham mengapa gadis itu harus keluar sementara mereka bicara di sini. Kemudian lelaki itu mendekati Toni yang terlihat gemetar. “Mau ngomong apa?” tanya Zinu. “Ya elah. Kan udah sering gue bilang nggak usah takut gitu sama gue. Gue nggak akan gigit lo kok.”  

Toni memang takut pada Zinu. Ah, sebenarnya hampir satu sekolah tidak mau berurusan dengan Zinu. Tapi orang lain masih bisa menutupinya, sedangkan Toni tidak bisa sama sekali. Laki-laki itu pasti menunduk sambil memainkan jarinya yang gemetar tiap kali Zinu ada di dekatnya. Seperti saat ini. 

“Ngapain sih lo ngajak gue ke sini?” tanya Zinu, karena setelah beberapa saat Toni masih tak kunjung bicara, sedangkan dirinya sudah mulai pengap. 

“L-lo... be-belum nanyain gue,” ujar Toni. 

“Nanyain apa?” 

“Te-tentang kasus lo.” 

Keinginan Zinu untuk keluar dari gudang ini lenyap. Ia menatap teman sekelasnya dengan lekat. “Kenapa? Lo... punya bukti?” tanya Zinu. Toni tidak menjawab. Sekali lagi Zinu bertanya dengan sedikit tidak sabar. “Ton, jawab gue! Lo punya sesuatu?” 

“Gu-gue... gue lihat waktu itu... a-ada orang yang buka-buka tas lo waktu kita olahraga di lapangan.” 

Kening Zinu berkerut dalam. “Siapa?” 

“Dina.” 

Zinu tertegun. Untuk sesaat ia merasa pasokan udara di sekitarnya lenyap. Tenggorokannya kering. Lidahnya kelu. Dan bibirnya tak sanggup mengeluarkan suara apa pun. 

“Waktu olahraga, gu-gue balik ke kelas buat naruh HP yang masih gue kantongin. D-dan gue lihat dia.” 

Zinu berusaha menemukan suaranya kembali. “Lo yakin?” tanyanya. Bukannya Zinu tidak percaya pada ucapan Toni. Ia hanya mencoba untuk tidak mudah percaya perkataan orang tanpa bukti yang jelas. 

Toni pun mengeluarkan ponselnya, lalu memberikannya pada Zinu. “I-itu buktinya.” 

Zinu benar-benar tidak tahu harus bicara apa ketika melihat foto di ponsel Toni. Foto itu diambil dari jendela. Bisa dilihat dengan jelas sosok Dina, dengan wajah paniknya melihat ke arah pintu dengan tangan kanan yang masuk ke dalam tas milik Zinu. 

Dina... apa yang sebenarnya gadis itu lakukan? 

***

Zinu berjalan lesu menuju kelasnya. Dayanya seolah tersedot habis. Kepalanya terasa pening. Apa yang terjadi padanya, apa yang baru saja ia lihat, dan apa yang baru saja ia dengar, benar-benar membuat Zinu tak bisa berpikir. Otaknya menolak untuk diajak bekerja sama. 

Dan perasaan Zinu semakin tak menentu ketika matanya menangkap Dina yang saat ini sedang bercanda dan tertawa bersama teman-temannya. Tawa itu sempat terhenti ketika bola mata Dina juga tertuju pada Zinu, tapi detik berikutnya gadis itu mengalihkan pandangan ke arah lain. Melanjutkan kembali candaannya. 

Tangan Zinu mengepal di kedua sisi tubuhnya. Lelaki itu mengumpat dalam hati. Seandainya Dina adalah laki-laki, Zinu pasti sudah menghabisinya detik itu juga. Sebenarnya Zinu juga bisa menyeret Dina jika lelaki itu mau. Memaksanya untuk mengaku, dan memakinya hingga puas. Tapi Zinu menahannya sekuat tenaga.  

“Jangan pakai emosi. Kalau lo nyeret Dina sekarang, semua orang justru akan semakin nyalahin lo. Menganggap lo nggak terima kenyataan bahwa lo jadi tersangka kasus itu.” 

Suara Fany kembali terngiang di telinga Zinu. 

“Kita selesaiin ini pelan-pelan. Tenang aja, gue bakalan bantuin lo bebas dari kasus ini.” 

Zinu menarik napas dalam-dalam. Memilih untuk kembali ke tempat duduknya yang berada di pojok belakang. Tidur. 

TBC

EftychisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang