“Dari mana?”
Zinu menutup pintu dan segera menoleh ke arah sumber suara. Arini, ibunya yang sedang duduk di depan televisi. Zinu mendekatinya.
“Habis kencan,” jawab lelaki itu disertai cengiran lebar. Zinu duduk di samping Arini. Kemudian menaikkan kakinya di sofa dan membaringkan kepalanya di pangkuan sang ibu. “Sama calon pacar,” lanjutnya.
Wanita yang telah melahirkan Zinu ke dunia itu memutar bola matanya. “Calon pacar yang mana lagi ini? Dari dulu bilangnya calon pacar mulu, tapi nggak pernah ada yang beneran jadi pacar.”
“Karena nggak ada yang beneran nyantol di hati.”
“Jangan kebiasaan gitu. Kasihan cewek-cewek yang kamu deketin kalau kamu cuma niat mainin mereka. Mama juga wanita, Zin.”
“Aku nggak niat mainin cewek, Ma. Mereka aja yang gampang baper.”
“Nggak akan ada cewek baper, kalau cowoknya nggak caper.” Arini mencoba menasihati putranya pelan. “Kalau belum terlalu yakin, jangan terlalu intens deketinnya. Biasa saja dulu. Lagian kamu ini masih sekolah, nggak usah dulu lah mikirin pacar.”
Zinu hanya mencebikkan bibirnya acuh tak acuh. Kemudian ia mengangkat kepalanya dari pangkuan Arini, duduk dan menatap sang Mama dengan bersemangat. “Tapi yang ini aku nggak main-main kok, Ma. Suer.” Lelaki itu mengangkat kedua jari, menegaskan maksud ucapannya.
“Siapa? Yang kamu ceritain kemarin itu? Yang bantu beresin masalah kamu? Atau udah ganti lagi?”
“Iya yang itu, Fany.” Zinu mengangguk dan melanjutkan ceritanya dengan antusias. “Dia itu beda. Semakin hari semakin bikin aku penasaran. Menarik. Dia selalu bikin aku nebak-nebak, sebenarnya apa sih yang dia pikirin? Karena mukanya selalu datar.”
“Mungkin Fany nggak tertarik sama kamu.”
Zinu segera menggeleng. “Nggak, nggak. Aku yakin dia tertarik sama aku. Kalau enggak, Fany nggak mungkin mau aku ajakin keluar tadi. Fany juga nggak mungkin susah-susah mikirin sesuatu yang cocok buat aku.”
“Maksudnya?”
Tidak langsung menjawab, Zinu malah menatap Arini selama beberapa saat, kemudian balik bertanya, “Ma, menurut Mama gimana kalau aku ikutan jiu-jitsu?”
Alis Arini berkerut. “Jiu-jitsu? Yang dulu nggak kamu lanjutin itu?”
Zinu mengangguk. “Hm.”
“Fany yang nyaranin itu ke kamu?”
Zinu mengangguk lagi. “Fany bilang, kalau bakat nggak melulu tentang apa yang dibawa sejak lahir.”
Arini sepertinya mengerti apa yang ada di pikiran Fany. Diluar fakta gadis itu menyukai putranya atau tidak, ia berniat membantu menyalurkan kebiasaan berantem Zinu menuju hal-hal yang lebih bermanfaat. Arini tentu tahu kebiasaan buruk putranya itu, yang mulai tumbuh sejak dirinya kehilangan mimpi. Juga kehilagan sosok yang sangat disayanginya. “Kalau kamu mau, kenapa enggak?”
“Boleh?” Zinu memastikan dengan mata berbinar.
Arini mengangguk. “Papa pasti juga setuju.”
Zinu mengepalkan sebelah tangannya dan berseru senang. “Yes!” Lelaki itu sudah membayangkan ketika nanti ia menunjukkan pada Fany bahwa ia mengikuti apa yang gadis itu sarankan.
Arini pun tertular senyum Zinu. Jujur, wanita itu bahagia sekali. Meski motif Zinu hanya untuk seorang gadis, tapi itu tidak masalah. Karena ini pertama kalinya Zinu terlihat bersemangat melakukan sesuatu, setelah mimpi lelaki itu direnggut dengan kejam bertahun-tahun yang lalu.
Biarlah Zinu melakukan apa pun yang anak itu inginkan. Karena yang Arini dan suaminya inginkan selama ini hanya satu; melihat semangat membara Zinu lagi seperti dulu. Melihat putranya laksana bintang, seperti namanya.
***
Bintang Zinura Prambudi baru saja selesai mendaftar jiu-jitsu. Dengan senyum lebar lelaki itu memasukkan kertas bukti pendaftarannya ke dalam tas, berjalan menuju sepeda motornya di tempat parkir dan bersiap untuk pulang.
Beberapa kali Zinu tersenyum di perjalanan. Membayangkan Fany, dan serentetan peristiwa yang mereka alami. Mulai dari insiden pencurian hingga waktu yang mereka habiskan semalam. Tiba-tiba ingatan Zinu terfokus pada kali pertama Fany bolos dan keduanya bermain di timezone.
"Lo suka boneka?" tanya Zinu sambil menunjuk mesin capit boneka.
"Enggak. Tapi kalau lo mau ambilin tuh boneka satu buat gue, bakal gue terima."
"Lo nantangin gue?"
"Kalau lo merasa tertantang."
“Lo mau boneka yang mana?"
Fany berpikir sejenak. “Winnie the Pooh."
Tanpa pikir panjang, Zinu segera membelokkan sepeda motornya ke arah mal dan langsung menuju mesin penjepit boneka.
“Gue harus bisa dapetin bonekanya.”
Berulang kali percobaan Zinu lakukan. Lelaki itu meringis saat bonekanya hanya tersentuh ujung capit di percobaan pertama. Mengeluh saat capitnya hanya mampu menggeser boneka di percobaan-percobaan berikutnya. Lalu mengerang kesal saat bonekanya terangkat, tapi jatuh lagi hanya selang dua detik.
Sampai akhirnya Winnie the Pooh itu berhasil Zinu dapatkan setelah percobaan ke dua puluh empat. Dipenuhi perasaan lega, senang, dan puas, Zinu keluar dari mal. Pulang, bersama dengan serentetan rencana di dalam kepalanya.
Zinu akan menembak Fany malam ini.
***
To : Kutu Buku Gila
“Fan, gue di depan rumah lo. Keluar bentar ya. Ada yang mau gue kasih. Bentar aja.”
Zinu memasukkan ponselnya dan menunggu dengan tidak sabar di depan rumah Fany. Sebelah tangannya terdapat boneka Winnie the Pooh yang tadi sore ia dapatkan dengan susah payah. Tak lupa Zinu membawa bukti formulir pendaftaran bela dirinya.
Satu menit. Dua menit. Tiga menit. Jam menunjukkan pukul tujuh lebih tiga puluh menit ketika Zinu mengeceknya melalui jam tangan. Kenapa lama sekali? Apakah Fany mengalami kesulitan untuk keluar? Apakah Papanya melarang? Tapi mengapa pesan yang ia kirimkan tidak dibalas?
Zinu mengecek Whatsappnya sekali lagi. Siapa tahu ia tidak mendengar pemberitahuan. Tapi ternyata Fany memang belum membalas. Centang dua dalam pesannya sudah berubah warna menjadi biru. Itu artinya Fany sudah membaca pesannya.
Zinu mencoba sabar. Mungkin Fany sedang berusaha keluar. Namun hingga satu jam kemudian tetap tak ada tanda-tanda kemunculan Fany. Dan ketika gerbang rumah Fany terbuka, Zinu justru melihat sosok pria bertubuh jangkung dengan garis wajah tegas muncul.
Danar. Papa Fany.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Eftychis
Romance#1 mimpi dari 8,15k cerita Kata Papa Fany, dokter adalah satu-satunya profesi ideal di bumi. Maka anak-anaknya tidak boleh mencari profesi lain selain dokter. Termasuk Fany. Keyakinan itu pun melekat di kepala Fany, sampai Fany bertemu dengan Zinu...