Fany baru masuk sekolah satu minggu kemudian. Badannya demam. Ia tidak bisa tidur nyenyak. Meski telah berusaha, ternyata melupakan kejadian itu tidak semudah yang Fany kira. Berada di sudut mobil, dengan laki-laki yang berusaha menyentuhnya. Tidak pernah Fany merasa seterpojok itu. Tidak pernah Fany merasa setakut itu. Bahkan dalam mimpi pun rasa itu masih ada.
Namun Fany tidak menyerah. Ia tidak ingin membiarkan dirinya larut dalam trauma yang memuakkan. Untuk itu hari ini Fany kembali ke rutinitasnya, seolah tak terjadi apa-apa.
Fany sampai di sekolah sepuluh menit sebelum bel masuk berbunyi. Terbesit sebuah pemikiran ketika gadis itu menyusuri koridor; apakah Zinu sudah datang? Tapi Fany hanya membiarkan pertanyaan itu lewat dalam kepalanya. Ketika jam istirahat, Fany memutuskan untuk berada di kelas saja. Memakan sandwich yang ia bawa dari rumah sambil membaca buku biologi.
Semuanya baik-baik saja sampai Fany melihat dua orang temannya, Ajeng dan Yoga berlarian di dalam kelas. Tidak ada yang salah dari mereka. Yoga mengejar Ajeng yang merebut ponselnya. Tapi ketika Fany melihat Ajeng terpojok di tembok, dan masih tetap bersikeras menyembunyikan ponsel Yoga di balik punggungnya, Fany mulai merasakan kepalanya berdenyut. Ingatan ketika Arka memojokkannya di mobil satu minggu yang lalu kembali menyambangi kepalanya. Membuat huruf-huruf yang ada di bukunya seolah berputar. Membuat sandwich favoritnya terasa sangat pahit di lidah.
Ya Tuhan. Cukup!
Fany menutup bukunya dengan keras dan segera berjalan ke luar kelas. Ia butuh udara segar. Ia butuh bernapas.
Kantin menjadi tujuan kakinya melangkah. Gadis itu membeli satu cup es jeruk, untuk mendinginkan kepalanya yang tiba-tiba terasa panas. Sambil menunggu pesanannya selesai, Fany mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kantin hingga berakhir pada satu titik. Tempat Zinu dan teman-temannya biasa duduk. Fauzan dan Jerry ada di sana. Tapi Zinu tidak ada. Fany mengerutkan kening. Ke mana laki-laki itu? Tumben tidak terlihat di kantin. Apa dia sedang dihukum guru? Atau tidak masuk sekolah? Entahlah.
Tapi omong-omong, Fany belum mendengar kabar dari Zinu satu minggu ini. Kemarin dan kemarin lusa ia tidak sekolah. Ponselnya juga disita Papa. Jadi Fany tidak tahu harus bertukar kabar dengan Zinu lewat apa.
Tapi, tunggu! Kenapa juga dia harus bertukar kabar dengan Zinu?
Fany menggelengkan kepala. Menerima es jeruk pesanannya dan berniat meninggalkan kantin, ketika tiba-tiba telinganya menangkap percakapan yang sangat tidak masuk akal.
“Tapi semenjak Zinu di-DO kok gue ngerasa sepi ya? Nggak ada yang suka usil lagi.”
“Kasihan. Nggak bisa ikut UN dia.”
“Salah sendiri. Mukulin anak orang sampai mau mati. Kalau gue jadi orang tua si cowok yang masuk UGD itu, pasti gue udah laporin Zinu ke polisi.”
Langkah Fany terhenti seketika. Ia menatap dua orang gadis yang sedang makan soto itu dengan tatapan tak percaya. “Kalian bilang apa tadi?” tanya Fany tanpa ba-bi-bu.
Kedua orang itu menatap Fany dengan heran sekilas, sebelum salah satu gadis yang berambut pendek menjawab, “Zinu kelas 12 IPS dua dikeluarin dari sekolah. Lo belum denger kabarnya?”
Gadis yang satu lagi menambahkan. “Bukannya lo ceweknya ya? Yang waktu itu belain Zinu dari kasus pencurian. Masa lo belum tahu?”
Tanpa menjawab, tanpa pikir panjang, Fany berlari menuju ruang kepala sekolah. Ia butuh kejelasan. Benarkah Zinu dikeluarkan dari sekolah? Karena menghajar orang? Apakah orang yang dimaksud adalah Arka? Jika iya, bukankah tidak sepantasnya Zinu mendapat hukuman seperti itu? Zinu hanya berusaha menyelamatkan Fany. Kenapa harus Zinu yang menanggung akibatnya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Eftychis
Romance#1 mimpi dari 8,15k cerita Kata Papa Fany, dokter adalah satu-satunya profesi ideal di bumi. Maka anak-anaknya tidak boleh mencari profesi lain selain dokter. Termasuk Fany. Keyakinan itu pun melekat di kepala Fany, sampai Fany bertemu dengan Zinu...