Dua Puluh Enam

688 153 72
                                    

"Tadi ngobrol apa sama Mama?" tanya Zinu pada Fany

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Tadi ngobrol apa sama Mama?" tanya Zinu pada Fany. Mereka berdiri di atap mal dan memperhatikan langit serta gemerlap lampu kota Jakarta yang cerah.

"Banyak," jawab Fany. Gadis itu mengeratkan jaket yang ia kenakan. "Tentang lo, tentang Kak Dika."

Zinu tersenyum tipis. "Selamat."

"Kenapa?" tanya Fany, menoleh pada lelaki yang berdiri di sampingnya.

"Mama nggak pernah mau bicara tentang Kak Dika sama siapa pun kecuali sama orang yang udah benar-benar Mama percaya. Berarti Mama percaya sama lo."

Fany tak menjawab. Kembali menatap pemandangan lampu kota di depannya sambil bertanya dalam hati, pantaskah ia mendapat kepercayaan sebesar itu? Di saat papanya sendiri bahkan tak percaya padanya.

Tiba-tiba Fany merasakan kehangatan menyelimuti tangannya. Gadis itu menunduk, mendapati tangan kirinya berada dalam genggaman Zinu.

Jantungnya... mulai tak karuan lagi.

"Kalau pas sedih, gue pasti kangen Kak Dika. Tapi entahlah, dia pasti marah lihat gue dikeluarin dari sekolah begini."

Fany terdiam. Hatinya masih dipenuhi rasa bersalah atas apa yang terjadi pada Zinu. Gadis itu menunduk. Menatap tangan Zinu yang masih menggenggamnya erat. "Maafin gue," lirihnya. "Lo pasti nggak akan dikeluarin dari sekolah kalau lo nggak nyelamatin gue."

Zinu tersenyum tipis. Lelaki itu mengelus tangan Fany dengan ibu jarinya sambil bertanya, "Fan, lo bisa bayangin nggak seandainya hari itu gue nggak hajar Arka demi nyelamatin lo?"

Fany menggeleng. Tak sanggup membayangkan hal mengerikan yang mungkin terjadi jika hari itu Zinu tidak datang. Tapi ada satu hal yang pasti, "Lo nggak akan di-DO karena hampir bunuh anak orang."

"Tapi gue akan mendekam di penjara karena bunuh orang," sahut Zinu yakin.

Fany menoleh. Menatap lelaki jangkung di sampingnya dengan alis terangkat.

"Seandainya Arka benar-benar ngelakuin hal buruk ke lo, gue akan jadi orang pertama yang nyamperin dia dan mastiin kalau umurnya berhenti di hari itu." Selanjutnya Zinu menoleh, memberikan senyum menenangkan pada Fany. "Jadi tolong, jangan salahin diri lo sendiri, ya? Ini bukan salah lo."

Bola mata Fany berkaca-kaca. Keseriusan dan kelembutan yang terpancar dari mata Zinu menembus hingga ulu hatinya. Gadis itu mengalihkan pandangan ke arah lain, menyedot hidungnya yang tiba-tiba berair dan menghalau air matanya yang mendesak minta dikeluarkan. "Hidup benar-benar nggak adil, ya?" gumamnya.

Zinu mengangkat bahu. "Tapi gue percaya satu hal. Kalau semesta akan ngasih kita derita yang sepadan dengan kebahagiaan yang juga akan kita terima."

"Oh ya?"

Zinu mengangguk. Lelaki itu mengangkat tangan Fany yang ada dalam genggamannya. "Seperti sekarang. Jika semua derita yang harus gue terima belakangan ini adalah harga yang harus gue bayar untuk bisa ketemu sama cewek mengagumkan kayak lo dan bisa gandeng tangan lo seperti ini, maka gue rela."

Fany terdiam. Merasakan ribuan kupu-kupu mengepakkan sayap begitu cantik di dalam perutnya.

"Makasih ya, Zin," gumam Fany setelah beberapa saat terdiam.

"Buat?"

"Karena lo udah nemuin apa yang benar-benar pengin gue raih."

"Jadi pengacara?"

Fany mengangguk. "Gue emang nggak bisa bikin hidup semua orang adil dalam sekejap. Tapi gue janji sama lo, gue nggak akan biarin ketidakadilan terjadi di depan mata gue. Gue akan berusaha, agar apa yang terjadi sama lo nggak akan terulang lagi ke orang lain."

Zinu tersenyum. Lelaki itu merasakan haru yang luar biasa hingga tanpa bisa ditahan, ia menarik Fany masuk ke dalam pelukannya. Dan detik itu keduanya merasa lengkap.

"Gue yakin lo pasti sukses," bisik Zinu. "Dan gue janji, gue akan selalu jadi orang pertama yang mendukung semua jalan hidup yang lo pilih."

Fany tidak menjawab. Kendatipun hatinya menghangat. Matanya berkaca-kaca. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Fany mendengar ada orang yang mendukung apa pun yang ia pilih.

Jika ada orang yang bertanya kapan Fany merasa bahagia, maka dengan tegas gadis itu akan menjawab; sekarang.

Di pelukan Zinu.

***

Sebelum dekat dengan Zinu, Fany tidak pernah merasakan sesuatu yang spesial di sekolah. Yang ia tahu dan yang dilakukannya selama ini hanya belajar. Ketika dekat dengan Zinu, hari-hari Fany di sekolah mulai berubah. Harinya memang menjadi lebih berisik, tapi juga menjadi lebih berwarna. Meski gadis itu lebih memilih memakan beling daripada mengakuinya langsung.

Ketika Zinu memanggil namanya di koridor, ketika Zinu menggodanya di kantin, ketika Zinu menunggunya di depan kelas. Semua hal yang selalu Fany keluhkan dulu, anehnya menjadi hal-hal yang Fany rindukan sejak Zinu dikeluarkan.

Lalu kini, saat Zinu sudah tidak ada di sekolah lagi, hari-hari Fany kembali berubah. Bukan kembali normal seperti sedia kala, tapi menjadi hambar. Seperti ada yang kurang.

Fany tidak pernah menyangka, seorang anak laki-laki yang hanya tahu cara bersenang-senang bisa mengubah keteraturan hidup Fany dengan mudahnya.

Sejak Zinu dikeluarkan, Fany benar-benar merasakan kekosongan di sekolah. Anehnya, rasa mengganjal itu lenyap ketika Fany bisa menangkap Zinu dengan indra penglihatannya tiap pulang sekolah. Mengajari Zinu, menonton Zinu latihan bela diri, makan bersama, mengobrol bersama. Menghabiskan waktu berdua.

Hal itu berlangsung berbulan-bulan. Hingga UN tiba, hingga ujian paket C tiba, hingga keduanya dinyatakan lulus.

Di hari kelulusan pun, di antara kegembiraan teman-teman yang saling mencoret-coret seragam, Fany masih merasa sepi. Harinya terasa tidak lengkap.

Kini Fany sadar, berkat Zinu, harinya tidak akan pernah sama lagi. Tidak ada lagi Fany Pinasthika seorang robot belajar. Kini ia hanya seorang gadis biasa, yang bisa merasa senang, sedih, kecewa, dan... merindukan seseorang.

TBC

EftychisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang