Tiga Puluh Lima

699 137 46
                                    

"Fany, tunggu!"

Fany yang hampir mencapai pintu kelas berhenti. Ia mundur selangkah, memberi ruang kepada mahasiswa lain yang berhamburan keluar kelas, kemudian menghela napas. Sudah Fany katakan, bukan, bahwa dirinya tidak suka orang sok akrab? Gadis itu memutar tubuh dan memasang wajah datar pada Brian yang bangkit dari kursi dan berjalan menghampirinya.

"Kenapa?" tanya Fany sambil melirik jam tangannya. Sebuah gestur sederhana yang menunjukkan bahwa ia ingin segera pergi.

"Kamu buru-buru?" tanya Brian yang tampaknya sadar akan hal itu.

Fany pun tidak sungkan untuk mengangguk. "Iya. Ada apa?"

"Aku sebenarnya mau ngajak kamu makan sambil ngomong penting. Tapi karena kamu lagi buru-buru, kayaknya langsung aja." Brian meraih sesuatu dalam ranselnya kemudian memberikannya benda persegi panjang hitam pada Fany yang membuat gadis itu langsung membelalak.

Dompetnya!

"Aku nemuin ini di perpus kemarin. Di bawah meja."

Fany menerima dompetnya dengan penuh rasa syukur. Hilang sudah wajah tak bersahabatnya. "Makasih, ya! Aku kira bakalan hilang. Untung ketemu dan-tunggu!" Alis Fany terangkat begitu ia sadar sesuatu. "Kamu bilang nemuin ini kemarin. Terus semalam kita ketemu dan tadi kamu juga sempat ngasih aku minum. Kenapa baru sekarang balikinnya?"

Brian tersenyum tipis, tak mengelak. "Karena aku mau ngajakin kamu ngomong penting."

"Apa?"

"Emm... Aku... emm... sorry sebelumnya, aku lihat dompet kamu dan nggak sengaja lihat tabel hitung-hitungan kamu tentang biaya kuliah lengkap dengan kekurangannya." Brian menggaruk kepalanya yang tampak baik-baik saja. Terlihat ragu dengan apa yang ingin ia katakan, terutama saat melihat Fany mengerut curiga.

"Emm... gini... maksudku... aku mau nawarin kamu kerjaan yang bisa bantu kamu ngumpulin uang kuliah tanpa harus menguras banyak waktu dan tenaga seperti part time di kafe-tenang, aku bukan orang jahat, kok. Dan jangan mikir aneh-aneh sama kerjaan yang aku tawarin." Brian mengangkat tangannya, mencegah pikiran Fany yang sepertinya melayang ke mana-mana yang tergambar jelas melalui wajah gadis itu.

Brian buru-buru mengambil ponselnya dari saku. Menyentuhkan jarinya pada layar persegi panjang itu kemudian menunjukkan sebuah akun Instagram. "Kamu pernah lihat ini?"

Fany melihat layar ponsel yang ditunjukkan Brian, detik berikutnya gadis itu tersadar. "Ah, pantesan aku kayak nggak asing sama mukamu. Ternyata kamu influencer. Aku pernah lihat kamu endorse-in sepatu yang aku incar."

Brian memasukkan kembali ponselnya sambil tersenyum bangga. Percuma ia memiliki jutaan pengikut di Instagram dan YouTube jika ternyata Fany tidak mengenalinya. "Gimana?"

"Tapi kerjaan apa yang kamu maksud?" tanya Fany yang kali ini menjadi lebih santai.

"Jadi gini, aku harus endorse banyak produk couple. Kalau kamu ngikutin akunku, biasanya aku bikin kontennya bareng pacarku. Tapi udah cukup lama kami putus dan aku nggak bisa bikin konten couple lagi. Sedangkan aku udah terlanjur deal sama banyak online shop, dan nggak bisa ngulur waktu lebih lama kalau aku nggak mau kena masalah sama pihak yang udah percayain produknya sama aku. Jadi aku mau nawarin kamu buat jadi model ceweknya. Mau?"

Fany mengerjap. Bingung. Tidak mengerti. Banyak sekali pertanyaan yang beterbangan di kepalanya dan gadis itu bertanya satu pertanyaan yang paling pertama muncul. "Tapi aku bukan influencer kayak kamu. Emang nggak masalah sama brand-nya?"

Brian menggeleng. "Yang di endorse itu aku, nggak masalah ceweknya siapa. Karena kebetulan dulu aku sering posting foto bareng pacar, makanya aku jadi dapat banyak proyek produk couple. Mantanku juga bukan selebgram. Justru dia mulai punya banyak follower setelah sering nongol di akunku. Lagi pula aku udah konfirmasi, dan mereka nggak masalah kalau model ceweknya bebas. Yang penting ada aku."

EftychisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang