Zinu bangun. Biasanya, hal pertama yang akan Zinu lakukan ketika membuka mata di pagi hari adalah menguap, merenggangkan tubuhnya, lalu kembali tidur. Namun hari ini tidak. Dengan kesadaran diri penuh, lelaki itu segera bangkit dari ranjang empuk favoritnya. Membuka pintu kamar sedikit, lalu menyembulkan kepalanya untuk melihat sepanjang koridor lantai dua. Setelah memastikan tidak ada orang, secepat kilat lelaki itu berlari ke kamar mandi.
Pertama kalinya seorang Bintang Zinura Prambudi mandi sebelum jam tujuh pagi di hari libur. Dalam kamus hari liburnya, matahari baru terbit jam dua belas.
Setelah memastikan penampilannya sempurna walau hanya mengenakan kaos dan celana pendek, Zinu melangkah penuh percaya diri ke dapur. Lelaki itu menghampiri ayahnya yang sedang menyesap kopi di meja makan serta Arini dan Fany yang sedang menyiapkan sarapan.
Prambudi menyadari kehadiran putranya yang kini menyambangi kulkas. Dengan alis terangkat pria itu bertanya, “Kamu udah bangun jam segini, Zin? Udah mandi juga? Tumben banget.”
Arini yang tengah mengaduk sup di atas kompor menimpali, “Kan Fany ada di sini. Nggak mungkin lah Zinu ngorok sampai siang.”
Zinu tidak menjawab. Sama sekali tidak peduli dengan ejekan orang tuanya. Toh memang kenyataannya seperti itu. Jadi ia memilih bergabung dengan Prambudi di meja makan sambil menegak hampir separuh botol air mineral yang baru diambilnya dari kulkas.
“Sini, Fan, biar Tante yang lanjutin. Kamu duduk aja, ngobrol sama Zinu,” kata Arini.
“Nggak usah, Tante. Biar Fany aja,” jawab gadis itu sambil terus mengiris bawang merah. Sebenarnya Fany-lah yang tersipu dengan kalimat orang tua Zinu. Dan sebenarnya Fany sangat ingin menggerakkan kepalanya untuk melihat wujud Zinu yang baru selesai mandi. Tapi ia menahan kepalanya agar tidak bergerak. Lebih baik matanya pedih karena bawang merah daripada terpergok sedang merona oleh Zinu.
“Ini di goreng, Tante, bawangnya?” tanya Fany.
“Iya. Nanti tinggal ditaburin di supnya.”
“Tuh, Zin, rajin gitu si Fany. Kamu baru lepas dari kasur kalau udah azan Dzuhur,” kata Prambudi.
“Ya beda, lah. Fany kan cewek.” Zinu membela diri.
Arini meletakkan perkedel di atas meja makan sambil menyahut, “Cowok cewek sama aja. Bangun pagi itu penting.”
Zinu mencebikkan bibir. Lalu dengan santai mencomot perkedel dan menggigitnya separuh.
“Kalau gitu biar Fany di sini terus aja. Bisa bikin Zinu bangun pagi atas kesadarannya sendiri,” kata Prambudi.
Arini menjawab, “Bukan ide yang buruk.”
Sepertinya ini adalah sarapan paling santai yang pernah Fany alami. Obrolan yang berlangsung di meja makan keluarga Prambudi sangat renyah dan bisa dinikmati siapa pun. Tidak ada yang mendominasi. Tidak ada yang terintimidasi. Fany yang masih merasa sungkan pun tetap dirangkul. Fany bahkan tersentuh ketika melihat Prambudi mengambilkan perkedel ke piring Arini, sambil berterima kasih kepada istrinya untuk sarapan pagi ini.
Ah, betapa hangatnya keluarga ini.
***
“Tebak, ya,” kata Zinu. Lelaki itu mulai menggerakkan jemarinya di atas tuts piano.
Fany yang duduk di samping Zinu mengerutkan kening, kemudian menjawab, “Ariana. Almost is Never Enough.”
“Pinter. Kalau ini?”
Kali ini Fany mengerutkan keningnya lebih dalam dan berpikir lebih lama mendengar melodi yang Zinu mainkan. “Lagu barat juga?”
“Bukan. Indonesia.” Zinu masih terus memainkan pianonya sambil sesekali melirik ke arah Fany. “Indonesian Idol.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Eftychis
Romance#1 mimpi dari 8,15k cerita Kata Papa Fany, dokter adalah satu-satunya profesi ideal di bumi. Maka anak-anaknya tidak boleh mencari profesi lain selain dokter. Termasuk Fany. Keyakinan itu pun melekat di kepala Fany, sampai Fany bertemu dengan Zinu...