Zinu sedang duduk bersama teman-temannya ketika melihat Fany memasuki kantin. Pandangan Zinu ia tujukan lurus pada gadis itu, bergerak mengikuti gerakan Fany yang tengah memesan sesuatu. Beberapa saat kemudian Fany mendapatkan pesanannya. Ketika berbalik, mata gadis itu tanpa sengaja menangkap Zinu. Tatapan keduanya pun terkunci selama beberapa detik.
Zinu tak sedikit pun mengalihkan pandangan. Dalam hati bertanya-tanya, apakah Fany akan menghampirinya kemari? Apakah Fany akan meminta maaf atas apa yang gadis itu katakan kemarin? Jujur, Zinu berharap.
Namun ketika Fany membalikkan badan dan berjalan dengan santai meninggalkan kantin, Zinu merasa kesal sekaligus kecewa.
"Woi! Kenapa cuma lihat-lihatan aja? Lo berantem sama Fany?" tanya Fauzan yang duduk di samping Zinu.
Arya tertawa mengejek. "Payah banget sih, lo! Belum jadian aja udah berantem."
Fauzan ikut tertawa. "Jadi segini aja nih kemampuan lo? Payah! Gue kira lo bisa takhlukin cewek terjudes di sekolah."
Zinu mengumpat pelan yang dibalas teman-temannya dengan tawa. Lelaki itu bangkit dari kursinya, kemudian segera menyusul Fany keluar dari kantin.
Sial! Ia tidak seremeh itu.
***
Lima. Enam. Tujuh. Delapan. Sembilan. Sepuluh.
Fany masih menghitung dalam hati. Biasanya, di saat-saat seperti ini Zinu akan muncul dan merecoki Fany. Tapi hingga batagor pesanannya ia terima, lelaki itu tak juga muncul. Apakah Zinu masih marah padanya?
Fany menghela napas pelan. Berniat pergi dari kantin. Namun ketika matanya bertemu dalam satu garis lurus dengan mata Zinu, gadis itu terpaku.
Zinu melihatnya. Tapi lelaki itu tidak mendekat. Apakah Zinu masih sangat marah padanya? Haruskah Fany meminta maaf? Tapi apa salah Fany hingga membuatnya harus mengemis maaf? Tidak. Tidak. Lupakan saja. Biarkan Zinu marah. Toh kemarahannya tak berpengaruh apa pun dalam hidup Fany.
Gadis itu pun memutuskan pergi.
Namun ketika berjalan menyusuri koridor, tanpa sadar langkahnya melambat. Fany merasa sudah melakukan apa yang otaknya perintahkan, tapi mengapa rasanya seperti ada yang salah? Mengapa rasanya, dari dalam diri Fany yang sering kalah dari otaknya, terdengar teriakan untuk tidak membuat Zinu marah?
Di tengah kerisauan Fany, tiba-tiba gadis itu merasa tangannya ditarik dan tubuhnya dibalikkan dalam satu gerakan cepat. Menghadap Zinu. Fany tak sempat mengekspresikan rasa terkejutnya. Karena tanpa bicara, tanpa peringatan apa-apa, Zinu langsung membawa gadis itu pergi.
Untuk alasan yang tidak Fany ketahui, jantung gadis itu berdebar menyaksikan punggung tegap Zinu, juga tangannya yang berada di genggaman lelaki itu.
***
Tangan Fany baru dilepaskan ketika mereka sampai di halaman belakang sekolah yang sepi. Keduanya berdiri berhadapan. Wajah Zinu masih tampak frustrasi. Ia kesal. Ia marah. Tapi bagaimana bisa ia marah pada gadis yang membuatnya tergila-gila?
"Lo nggak mau minta maaf sama gue?" tanya Zinu.
"Minta maaf buat?"
"Ucapan lo kemarin."
Maaf.
"Emangnya apa yang salah dari ucapan gue?" Lagi-lagi Fany mengedepankan ego dan harga dirinya.
"Lo bilang gue nggak peduli masa depan."
"Terus? Bagian mana dari kalimat gue yang salah?"
"Lo menghakimi gue tanpa mengenal gue lebih dulu, tanpa pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi," jawab Zinu sungguh-sungguh.
Fany Pinasthika bungkam.
"Fan, apa lo tahu, gimana sakitnya kehilangan mimpi?"
Fany tetap diam. Kali pertama Fany melihat Zinu seserius ini. Bahkan ketika kasus pencurian kemarin Zinu masih bisa tertawa.
"Gue tahu, Fan. Gue pernah ngalamin itu. Saat mimpi lo direnggut, saat itu juga lo kehilangan semangat hidup. Seperti yang terjadi sama gue sekarang."
Fany masih memperhatikan Zinu. Untuk pertama kalinya, ia melihat sorot mata yang berbeda dari lelaki itu. Terlihat begitu frustrasi dan... hancur. Zinu bahkan tidak tampak sehancur ini ketika siswa satu sekolah menyebutnya pencuri.
Gadis itu membuka mulut, mencoba menemukan suaranya dan bertanya, "Memangnya... apa yang terjadi sama lo?"
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Eftychis
Romance#1 mimpi dari 8,15k cerita Kata Papa Fany, dokter adalah satu-satunya profesi ideal di bumi. Maka anak-anaknya tidak boleh mencari profesi lain selain dokter. Termasuk Fany. Keyakinan itu pun melekat di kepala Fany, sampai Fany bertemu dengan Zinu...