“Nah! Benar kan kalian ada di sini.”
Zinu tersendat es jeruk yang sedang diminumnya. Jerry dan Fauzan segera menginjak rokok yang mereka isap. Ketiganya pun berdiri, menatap Pak Candra yang berjalan menghampiri mereka dengan pikiran yang sama, “Aduh, ketahuan!”
“Dasar kalian ini! Bukannya ikut kelas tambahan malah nongkrong di kantin. Dan sudah Bapak bilang berapa kali, dilarang merokok di sekolah!” omel Pak Candra. Pria paruh baya dengan kumis tebal itu menjewer ketiganya satu per satu. “Kalian ini sudah kelas dua belas. Sebentar lagi lulus. Mau jadi apa kalian kalau kerjaan kalian cuma nongkrong kayak gini?”
“Kami nggak nongkrong kok, Pak. Kami cuma minum bentar, biar nggak ngantuk ntar pas balik ke kelas,” Zinu membela diri, dan langsung diberi bonus jeweran oleh Pak Candra di telinga kanannya.
“Ini lagi, dibilangin malah ngelawan. Tadi pagi juga sudah dihukum karena terlambat. Sekarang malah bolos pelajaran. Bintang, kamu nggak bosen ya dihukum terus?”
“Jangan panggil saya Bintang dong, Pak. Saya nggak suka.”
“Saya nggak peduli kamu suka apa nggak,” sahut Pak Candra sekenanya. “Jerry, kamu bersihin seluruh kamar mandi laki-laki di sekolah. Fauzan, kamu ngepel seluruh koridor dari lantai satu sampai lantai tiga. Setelah itu bersihin halaman sekolah. Dan Bintang, kamu bersihin perpustakaan. Mulai dari lantai, rak, buku-buku, meja, semuanya. Saya akan cek kalian satu per satu. Jadi, awas saja kalau ada yang kabur. Akan saya kasih hukuman lebih berat lagi. Mengerti?”
***
Zinu duduk di salah satu kursi perpustakaan dan melemparkan kemocengnya asal. Lelaki itu menghela napas panjang dan mengumpati Pak Candra dalam hati. Kenapa sih guru satu itu suka sekali memberinya hukuman? Sudah tahu metode hukum menghukum tidak akan mempan pada Zinu atau murid-murid nakal lain, kenapa masih saja dipakai?
Ah, bukankah kebanyakan guru memang seperti itu?
“Dihukum lagi?”
Zinu menoleh ke samping, pada seorang gadis yang sedang membaca buku biologi. Fany, gadis kutu buku dari kelas dua belas IPA satu. Gadis yang sebenarnya memiliki paras yang cukup menarik. Tapi orang-orang memilih untuk tidak terlalu dekat karena semua yang ada di kepala gadis itu hanyalah belajar.
Zinu menaikkan alis. Tidak yakin, apakah Fany yang baru saja bicara? Karena gadis itu tidak mengalihkan pandangan sedikit pun dari buku di hadapannya, apalagi menghadap Zinu.
“Nggak bosen ya bikin onar mulu?”
Ah, benar. Ternyata dia yang bicara. Tanpa menatap Zinu.
“Bukan urusan lo,” sahut lelaki itu.
Fany menoleh ke samping. Menatap Zinu dari ujung kepala, turun hingga kaki, kemudian kembali ke kepala lagi. Zinu yang ditatap seperti itu mengernyit heran. Ia meraih kemocengnya lalu mengusapkannya tepat di wajah Fany sambil bicara, “Apa lo lihat-lihat gue kayak gitu?”
“Ih, apaan sih!” Fany mendorong tangan Zinu dan membersihkan debu kemoceng yang menempel di wajahnya. “Dasar tukang iseng!”
“Makanya nggak usah lihat-lihat kayak gitu. Ntar lo naksir sama gue.” Zinu terkekeh ketika melihat Fany bersin. “Udah, lanjutin belajar lo sana. Ntar pas Pak Candra dateng, bilangin kalau gue udah selesai bersihin nih perpus. Oke? Ngantuk gue. Mau tidur bentar.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Eftychis
Romance#1 mimpi dari 8,15k cerita Kata Papa Fany, dokter adalah satu-satunya profesi ideal di bumi. Maka anak-anaknya tidak boleh mencari profesi lain selain dokter. Termasuk Fany. Keyakinan itu pun melekat di kepala Fany, sampai Fany bertemu dengan Zinu...