Dua Puluh Satu

720 157 75
                                    

“Lo kenapa, sih? Perasaan badmood mulu dari tadi,” kata Fauzan yang duduk di hadapan Zinu di warung belakang sekolah. Salah satu tempat nongkrong mereka.

“Tahu tuh si Zinu,” timpal Jerry. “Kenapa lo? Berantem sama Fany? Tadi di kantin juga tumben lo nggak menggila pas dia nongol.”

Zinu yang dijadikan objek pembicaraan teman-temannya hanya diam, tak menanggapi. Ia malas. Tak semangat meski sekadar mengiyakan atau membantah teman-temannya. Pikirannya masih tertuju sepenuhnya pada Fany Pinasthika. Obrolan menegangkan Zinu dengan Papa Fany, ungkapan perasaan Zinu yang tak tersampaian dengan benar, juga pesan-pesan yang ia kirimkan pada Fany tanpa mendapat satu pun balasan.

Sebenarnya ia malas mengantar Fany ke rumah Om Firman. Tapi ketika melihat Fany tadi pagi, meski dalam kondisi kesal pun, Zinu tidak kuasa menolak. Untuk itu ia mengiyakan, tapi sengaja membuat Fany menunggu sendirian di halte bus seperti sekarang.

Masa bodoh. Biarkan gadis itu menunggu dulu.

Akhirnya yang Zinu lakukan hanyalah membicarakan hal-hal tidak penting bersama teman-temannya, dengan pikiran yang sejujurnya tidak tenang. Membiarkan Fany menunggu ternyata sama halnya menyiksa diri Zinu sendiri. Sampai Zinu menyerah, beranjak dari kursinya dan pergi menghampiri Fany.

Zinu berhasil menangkap sosok Fany dari kejauhan. Hingga tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depan Fany, dan dua orang dari mobil itu memaksa Fany masuk.

Arka sialan!

Amarah Zinu langsung naik ke ubun-ubun. Lelaki itu mengencangkan tarikan gas sepeda motornya, mengejar mobil Arka. Zinu berusaha menghentikan mobil Arka. Tapi laki-laki sialan itu sama sekali tak mau berhenti. Malah balik memojokkan sepeda motor Zinu dan membuat Zinu hampir jatuh.

Brengsek! Apa yang sedang Arka lakukan? Jika Fany sampai terluka sedikit saja, Zinu tidak akan mengampuni laki-laki itu.

Zinu berpikir keras. Ia pun berinisiatif mengambil sebuah batu dan melemparnya mengenai kaca mobil Arka bagian belakang hingga retak. Berhasil! Arka pun berhenti. Zinu segera memarkir sepeda motornya asal dan menghampiri mereka.

Di saat Arka dan temannya mengecek kondisi kaca mobil, Zinu membuka pintu belakang untuk melihat keadaan Fany. Dan hatinya langsung mencelos.

Fany, gadis kuat yang selama ini Zinu kenal, kini menangis. Rambut Fany berantakan. Sebelah pipinya merah, tampak jelas seperti baru saja ditampar. Gadis itu memeluk dirinya sendiri, seolah sedang melindungi diri dari dunia, juga menutupi seragam sekolahnya yang sobek. Tak perlu berpikir lama untuk menyimpulkan apa yang Arka coba perbuat pada Fany.

“Woi! Lo apain mobil gue!” teriak Arka marah.

Zinu lebih marah lagi. Ia menghampiri Arka, dan langsung menghadiahi laki-laki itu dengan tinju. Tak hanya Arka, teman Arka yang tadi bertugas mengemudi juga mendapat hantaman dari Zinu. Tapi fokus Zinu adalah Arka. Karena ia tahu, Arka pelaku utamanya.

“LO APAIN FANY, HA?!!”

Zinu memukul Arka hingga jatuh tersungkur. Tak berhenti di situ, Zinu segera menindihnya dan kembali menghujaninya dengan pukulan bertubi-tubi. Zinu bahkan tidak ragu menyerang beberapa titik vital Arka.

“BISA-BISANYA LO BIKIN DIA NANGIS!”

“GUE UDAH PERNAH BILANG KE LO. KALAU LO NYENTUH FANY MESKIPUN CUMA SEHELAI RAMBUTNYA AJA, NYAWA LO ADA DI TANGAN GUE!”

“BRENGSEK!”

Zinu berdiri, menginjak perut Arka, membuat darah menyembur dari mulut laki-laki itu. Arka tidak sadarkan diri. Tapi Zinu tidak peduli. Ia sama sekali tidak memikirkan apa akibatnya jika ia menghajar Arka habis-habisan seperti ini. Bahkan jika bisa, Zinu ingin membunuh Arka sekalian.

Setelah merasa cukup, meski sebenarnya tidak pernah cukup, Zinu meninggalkan Arka yang tergeletak di pinggir jalan dan kembali menghampiri Fany. Begitu keluar dari mobil, gadis itu langsung memeluk Zinu dengan erat. Sangat erat. Seolah meminta perlindungan.

“Nggak apa-apa, Fan. Gue di sini,” bisik Zinu. Lelaki itu meminjamkan jaketnya, kemudian membawa Fany duduk di trotoar. Ia berusaha menenangkannya dengan terus memeluk dan mengelus punggung gadis itu. Sore itu gang dekat sekolah tempat mereka berada begitu sepi. Hanya ada keduanya, serta Arka yang tergeletak tak sadarkan diri. Teman Arka sudah melarikan diri. Entah Zinu harus bersyukur atau mengutuk sepi itu.

“Udah, Fan. Jangan takut. Gue di sini.”

Dengan tersendat Fany menjawab, “Kenapa... lo... lama banget? Kenapa lo... bikin gue... nunggu sendirian?”

Zinu memejamkan mata. Menikmati rasa sesal yang menjalar hingga ke seluruh saraf tubuhnya. “Maaf.” Dan sialnya hanya itu yang mampu Zinu ucapkan. Sambil terus mendekap gadis yang begitu ia cintai, yang masih berurai air mata.

“Maafin gue, Fan.”

“Maaf.”

Seandainya Zinu tidak bersikap kekanak-kanakan. Seandainya Zinu tidak membiarkan Fany menunggu sendirian. Seandainya Zinu tidak mengedepankan egonya. Semua ini pasti tidak akan menimpa Fany.

Fany tidak akan terluka seperti ini. Fany tidak akan menangis seperti ini.

***

Fany turun dari motor Zinu begitu sampai di depan rumah gadis itu. Fany sudah tidak menangis lagi, meski wajahnya masih terlihat kusut. Matanya bengkak. Zinu bersumpah, lebih baik ia melihat wajah dingin Fany lengkap dengan dengusannya daripada harus melihat wajah Fany yang seperti ini.

“Sekali lagi maafin gue, Fan,” kata Zinu setelah menerima helm dari Fany.

“Udah. Lupain aja. Lagi pula gue nggak pa-pa.” Fany hendak masuk ke dalam rumah. Namun ia mengurungkan niatnya sejenak dan kembali menatap Zinu. “Makasih udah nolongin gue.”

Zinu menggeleng. “Gue nggak akan maafin diri gue sendiri kalau sampai terjadi sesuatu sama lo.”

Fany tersenyum tipis. Ia memang cukup kesal dengan Zinu. Ia juga ketakutan setengah mati ketika Arka memojokkannya, menamparnya, hingga merobek seragam yang ia kenakan. Tapi toh Zinu datang dan semua hal buruk yang Fany takutkan tidak terjadi. Segalanya telah berlalu. Fany selamat. Untuk itu ia tidak perlu melancarkan aksi kekanak-kanakan seperti marah pada Zinu atau sejenisnya. “Jangan nyalahin diri lo sendiri,” ujarnya. “Gue masuk dulu ya?”

Zinu mengangguk. Lelaki itu melihat punggung Fany dalam diam. Dan ketika Fany hampir menutup gerbang, Zinu mengatakan apa yang ingin ia katakan sejak kemarin, yang membuat Zinu uring-uringan seharian.

“Fan.”

“Hm?”

“Bales WA gue ya?”

Fany jadi ingat. Ia belum memberi tahu Zinu tentang ini. “Gue lupa ngasih tahu lo. HP gue disita Papa sejak kemarin. Jadi jangan hubungi gue dulu.”

Zinu tertegun. Jadi, sejak kemarin ia marah pada Fany yang sebenarnya tidak tahu apa-apa? Jadi, semalam Fany tidak tahu bahwa dirinya datang? Jadi, yang menjadikan centang dalam pesannya berubah warna menjadi biru bukanlah Fany?

Jadi, tadi ia sengaja membiarkan Fany menunggu, ia sengaja menghukum Fany, hingga Fany terkena bahaya, padahal sebenarnya gadis itu tidak salah apa pun?

Zinu memukul sepeda motornya dengan keras. Sial! Sial! Sial! Lo memang manusia terbodoh yang pernah ada, Zinu!

TBC

TBC

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
EftychisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang