“Zinuuuu!!!” teriakan Dina membahana di kelas 12 IPS-2 yang sudah sepi. Bel pulang sekolah sudah berbunyi lebih dari tiga puluh menit yang lalu. Para siswa yang piket pun sudah undur diri. Hanya Dina dan dua lelaki yang tertinggal di sana. Dina yang berdiri di depan kelas dengan wajah merah menahan kesal. Serta dua laki-laki menyebalkan yang iseng mengerjainya.
Zinu, laki-laki yang duduk santai di kursi paling belakang kelas menutup kedua telinganya saat Dina berteriak. “Gila! Suara lo sama kencengnya kayak orang gila yang sering teriak-teriak di kompleks rumah gue.”
Bola mata Dina melotot mendengarnya. Gadis berambut sebahu itu semakin terlihat kesal, kemudian mendobrak meja dengan keras. “Zinuuuu! Balikin kunci motor gue!!!”
“Udah gue bilang dari tadi, bukan gue yang ngumpetin kunci motor lo,” jawab Zinu dengan tampang sok polosnya.
Dina memutar mata. “Bohong! Di sekolah ini mana ada murid yang isengnya keterlaluan selain elo?”
“Wah wah wah. Itu namanya pencemaran nama baik, Din. Nggak baik itu. Iya nggak, Jer?”
Jerry, teman Zinu yang duduk di atas meja paling depan di samping pintu mengangguk. Lelaki bertubuh jangkung itu sudah rapi dengan jaket jeans dan tas punggungnya, menunggu Zinu yang belum diperbolehkan pulang oleh Dina karena kunci motor gadis itu tidak ada. Karena Dina yakin Zinu pasti dalang dibalik hilangnya benda mungil itu.
“Udah, Din. Dibilangin bukan Zinu yang ngumpetin kunci lo. Biarin gue sama Zinu pulang napa,” kata Jerry.
Dina mencari sekali lagi di seluruh laci-laci meja yang sudah ia geledah sebanyak tiga kali. “Enggak. Sebelum kunci gue ketemu, Zinu nggak boleh pergi.”
“Ya elah. Bilang aja lo pengin berduaan sama gue,” kata Zinu.
Dina mendengus. “Amit-amit jabang bayi gue mau berduaan sama lo!”
“Awas ntar naksir loh, Din,” celutuk Jerry.
“Loh, kan emang udah naksir,” timpal Zinu sambil menaik turunkan alisnya pada Dina, membuat kekesalan gadis itu semakin memuncak. Ia melemparkan penghapus papan tulis ke arah Zinu yang mampu dihindari laki-laki itu dengan gesit.
“Sialan kalian berdua! Balikin kunci motor gue!!!” teriaknya. Lalu perlahan bola matanya memanas. “Gue tuh nggak boleh pulang telat. Gue nggak mau dimarahin bokap gue.” Suara Dina melemah. Mata gadis itu pun mulai berkaca-kaca.
“Zin, Zin, nangis tuh,” kata Jerry.
“Eh, jangan nangis dong!” Akhirnya Zinu bangkit dari kursinya, mengambil kunci motor dengan gantungan hello kitty yang sejak tadi ia duduki. “Ini nih gue balikin kuncinya. Jangan nangis elaah. Bercanda doang.”
“Tuh kan! Beneran elo yang ngumpetin!” Dina merebut kuncinya, dan langsung memberikan Zinu pukulan bertubi-tubi hingga laki-laki itu berlari pergi sambil tertawa kencang.
“BINTANG ZINURA PRAMBUDI! TUNGGU PEMBALASAN GUE!!!”
Memang. Bagi Zinu, sehari saja tidak berbuat onar di sekolah rasanya aneh. Seperti ada yang mengganjal, seperti ada yang kurang dalam hidupnya. Untuk itu, paling tidak dalam sehari, ia harus menjahili minimal satu temannya agar ia bisa tertawa. Agar ia bisa bahagia.
Karena definisi bahagianya kini telah berubah. Hanya sebatas itu.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Eftychis
Romance#1 mimpi dari 8,15k cerita Kata Papa Fany, dokter adalah satu-satunya profesi ideal di bumi. Maka anak-anaknya tidak boleh mencari profesi lain selain dokter. Termasuk Fany. Keyakinan itu pun melekat di kepala Fany, sampai Fany bertemu dengan Zinu...