Bintang Zinura Prambudi benar-benar dikeluarkan dari sekolah. Fany mendengar keputusan final itu dengan perasaan marah, kecewa, dan menyesal. Hancur, juga putus asa. Marah pada sekolah. Marah pada ayahnya yang tidak bersedia membantu. Marah pada si brengsek Arka yang menimbulkan masalah gila ini.
Fany pun cukup kecewa pada Zinu, karena track record-nya yang cukup bermasalah di sekolah, membuat para guru lebih mudah memutuskan untuk mengeluarkannya. Kecewa pada dirinya sendiri, yang cukup terlambat mengetahui semua hingga akhirnya tidak bisa berbuat apa-apa. Mengetahui bahwa hidup seseorang hancur karena dirinya, membuat Fany merasa lebih hancur dan putus asa.
Keputusasaan itulah yang membawa Fany berdiri di sini; di depan rumah Zinu, menunggu pintu rumah itu terbuka setelah ia mengetuknya beberapa kali. Hal pertama yang Fany lihat ketika pintu itu terbuka membuatnya lebih kesal lagi. Dan gemas. Zinu dengan wajah dan rambut berantakan, khas orang bangun tidur.
Sial! Anak ini sudah bosan hidup ya?
***
Zinu mengerang kesal mendengar bel pintu rumah. Ke mana perginya orang-orang sih? Kenapa tidak ada yang membuka pintu? Zinu berniat membiarkan siapa pun tamu itu dan tetap tidur. Tapi sepertinya sang tamu tidak mau pergi dengan tetap menekan bel dan mengetuk pintu berulang-ulang. Akhirnya Zinu bangkit, berjalan dengan setengah sadar ke pintu depan. Dan kesadarannya langsung pulih melihat Fanylah tamunya. Lelaki itu melihat jam dinding rumahnya yang menunjukkan pukul satu siang yang notabene masih jam sekolah, kemudian kembali menatap Fany seolah gadis itu adalah alien. “Lo kok bisa ada di sini? Pulang cepet, ya?”
Tanpa perlu menjawab pertanyaan Zinu, Fany pun berkata, “Kenapa lo nggak bilang ke sekolah kalau lo cuma nyelametin gue?”
Zinu terdiam. Bukan, bukan karena pertanyaan Fany. Namun karena bola mata Fany yang berkaca-kaca.
“Kenapa lo nggak jujur sama mereka? Kenapa lo nggak ngasih tahu gue dari kemarin kalau orang tua Arka lapor ke sekolah?”
Zinu mengerjap bingung. Ia berniat menggandeng tangan Fany dan membawa gadis itu masuk ke ruang tamu rumahnya. Tapi Fany menjauhkan tangan agar Zinu tidak berhasil meraihnya.
“Kenapa lo bikin gue seolah yang paling jahat di sini?” lanjut Fany. Air mata gadis itu jatuh.
“Siapa yang bilang lo jahat?”
“Gue. Karena gue merasa begitu.”
Zinu mengembuskan napas berat. Kantuknya lenyap. Tentu saja Zinu tidak berkata jujur apa yang sebenarnya terjadi. Ia tidak bisa mengatakan pada orang lain bahwa Fany hampir diperkosa, dan Zinu hanya menyelamatkannya. Ia tidak sanggup. Mungkin saja Zinu tidak jadi dikeluarkan dari sekolah. Hidupnya mungkin selamat. Tapi bagaimana dengan Fany? Bagaimana Fany akan menghadapi dunia setelah ini? Fakta bahwa ‘Fany hampir diperkosa’, akan berubah menjadi ‘Fany telah diperkosa’ apabila sampai ke mulut banyak orang. Manusia hanya akan memperkeruh fakta melalui mulut mereka, tanpa benar-benar tahu apa yang terjadi. Seperti kemarin. Saat keputusan final dari sekolah belum keluar, tapi berita bahwa Zinu sudah dikeluarkan telah menyebar ke mana-mana. Juga seperti kedekatannya dengan Fany, yang selalu orang sebut bahwa keduanya telah berpacaran.
Zinu tidak bisa membiarkan Fany menanggung semua cibiran itu seorang diri. Fany memang terlihat kuat dari luar. Tapi Zinu tahu, bagaimanapun juga, Fany tetaplah seorang gadis yang memiliki rasa khawatir dan takut. Seperti ketika Zinu menemukan Fany dalam kondisi berantakan di dalam mobil. Masih jelas di ingatan Zinu betapa derasnya air mata Fany, betapa rapuhnya tubuh Fany yang terus bergetar ketakutan. Zinu tidak akan membiarkan Fany menanggung beban tambahan jika orang-orang tahu. Biar Zinu saja. Lagi pula, semua itu terjadi juga karena ulah Zinu yang kekanak-kanakan, karena Zinu membuat Fany menunggu.
Biarkan Zinu mengurus hidupnya sendiri nanti setelah ia drop out. Bukankah selama ini Zinu juga tidak tahu persis untuk apa ia belajar di sekolah? Berbeda dengan Fany.
“Ayo masuk dulu, Fan. Jangan marah-marah di sini. Nggak enak kalau dilihat orang,” kata Zinu.
Fany menggeleng. Gadis itu menghapus genangan air di kelopak matanya dengan cepat dan berkata, “Terus apa rencana lo selanjutnya?”
Zinu mengangkat bahu. “Entah. Belum gue pikirin. Mungkin ikut paket C.”
“Gue bantu lo,” kata Fany dengan yakin.
“Apa?”
“Bantu lo belajar setiap hari biar bisa lulus paket C.”
Zinu mengerjap. Apa katanya tadi? “Setiap hari?”
“Iya.”
Zinu menggeleng. Ia memang tidak suka dikeluarkan dari sekolah. Tapi ia juga tidak mau mengutuk keadaan, kemudian memaksakan diri belajar setiap hari demi ikut paket C. Apalagi belajar bukanlah keahliannya. Meski terdengar sialan, Zinu merasa sedikit senang dikeluarkan dari sekolah karena tidak perlu belajar lagi. Ia tidak perlu buru-buru ke sekolah, dan bisa tidur hingga siang seperti sekarang. “Nggak, Fan. Makasih banget tawaran lo, tapi—“
“Lo nggak mau?” Fany memotong. Matanya melotot ke arah Zinu.
“Bukannya nggak mau. Gue cuma—“
“Lo bilang lo suka sama gue,” potong Fany lagi.
Zinu terdiam. Bingung dengan perubahan topik pembicaraan Fany yang begitu cepat.
“Kalau lo mau serius ngejar paket C dan mau belajar setiap hari, gue akan pertimbangin perasaan lo.”
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Eftychis
Romance#1 mimpi dari 8,15k cerita Kata Papa Fany, dokter adalah satu-satunya profesi ideal di bumi. Maka anak-anaknya tidak boleh mencari profesi lain selain dokter. Termasuk Fany. Keyakinan itu pun melekat di kepala Fany, sampai Fany bertemu dengan Zinu...