Tiga Puluh Tiga

733 150 84
                                    

Sejujurnya Zinu lelah. Semalam ia lembur membantu Fany membuat lemper. Subuh ia mengantar Fany ke kampus, dan Zinu hanya punya beberapa menit untuk tidur sebelum ia bekerja paruh waktu di sebuah restoran. Setelah bekerja Zinu masih harus berlatih jiu-jitsu. Selesai latihan, ia menjemput Fany dan menemani gadis itu bekerja.

Malam telah larut dan Zinu masih betah duduk di sudut kafe. Bergelas-gelas minuman sudah ia teguk habis. Berpiring-piring camilan juga sudah berpindah ke dalam perutnya. Tapi sejauh ini belum ada tanda-tanda Zinu akan beranjak meninggalkan bangku itu; bangku favoritnya sejak Fany bekerja di sini.

Tidak banyak yang Zinu lakukan. Ia hanya duduk sendiri, memperhatikan pengunjung yang keluar masuk kafe. Terkadang Zinu menjadi sukarelawan menghibur pengunjung dengan memainkan piano yang berada di tengah ruangan. Pekerjaan utama yang ia lakukan adalah memperhatikan Fany yang dengan ramah melayani pelanggan dari balik konter.

Terkadang Zinu heran. Fany bisa tampak begitu ramah berhadapan dengan pengunjung, tapi lebih sering memasang tampang datar tiap bersamanya. Padahal senyum yang tersemat di bibir Fany membuat gadis itu berkali-kali lipat lebih cantik. Bahkan beberapa kali Zinu tergelitik untuk mengangkat ponsel demi mengabadikan momen itu.

Kafe mulai sepi ketika sudah mendekati jam tutupnya pukul sebelas malam. Fany menggunakan kesempatan itu untuk mendekati Zinu dan duduk di hadapan lelaki itu. “Lo nggak capek? Pulang duluan aja, gue bisa pulang sendiri.”

Zinu menopang dagunya dengan sebelah tangan. Memperhatikan Fany yang tampak lelah, tapi juga memukau di saat yang bersamaan. Karena semangat yang tak pernah redup dari matanya. “Dan ngebiarin lo pulang sendiri malam-malam?” Zinu menggeleng. “Nggak akan.”

Fany mengembuskan napas panjang. “Kalau sekali dua kali nggak pa-pa. Tapi lo setiap hari kayak gini, Zin. Duduk di sini nungguin gue kerja, terus nganter balik ke kos. Atau minimal lo pasti nganterin gue kerja, terus lo pergi dan malamnya balik lagi ke sini buat jemput gue. Please, lo nggak harus memaksakan diri.”

“Gue nggak pernah maksain diri, Fan. Gue senang ngelakuin semua ini buat lo.”

“Tapi gue yang nggak enak. Gue merasa terbebani.”

Zinu merengut. “Apa lo nggak suka gue ada di sini? Apa lo capek ketemu gue terus setiap hari?”

Fany buru-buru menggeleng. Bagaimana mungkin Fany lelah melihat Zinu di saat wujud lelaki itu justru ampuh mengobati rasa lelahnya? “Gue cuma nggak mau lo terlalu berkorban demi gue; waktu, tenaga, pikiran, materi, semuanya. Gue nggak mau lo mengedepankan kepentingan gue di atas hidup dan kepentingan lo sendiri.”

“Tapi lo adalah hidup dan kepentingan gue,” sahut Zinu yakin.

Fany bungkam. Jantung gadis itu seolah merosot dari tempatnya, jatuh ke ladang kupu-kupu cantik di dalam perutnya. Terutama ketika Zinu mengulurkan tangan, menyelipkan helaian rambut Fany ke belakang telinga. “Gue pernah hampir mencelakakan lo karena kebodohan dan kecerobohan gue. Saat itu terjadi, gue merasa terpuruk dan nggak pantas hidup. Gue nggak mau itu terulang lagi. Jadi lo nggak perlu merasa terbebani. Gue nggak cuma sedang mastiin lo aman, tapi gue sedang menjaga ketenteraman hidup gue sendiri. Caranya dengan memastikan lo aman.”

Fany menggigit bibir bagian dalamnya. Sejenak lupa caranya bernapas.

Zinu yang gemas dengan reaksi Fany pun mengacak rambut gadis itu. “Jangan tersipu gitu, ah. Gue nggak lagi gombal. Gue jujur.”

Sial! Justru itulah masalahnya. Kejujuran Zinu membuat Fany semakin merona. Gadis itu buru-buru menjauhkan kepalanya agar tidak dapat digapai oleh Zinu, kemudian berdehem, menetralkan tenggorokannya yang terasa kering. “Setengah jam lagi kafenya tutup. Gue beres-beres dulu.” Fany terlihat kebingungan melihat ke segala arah, lalu kembali menatap Zinu dengan gugup. “Lo mau minum lagi?”

EftychisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang