Danar menggebrak meja dengan keras. Makan malam yang seharusnya tenang berubah mencekam. Isti, istri Danar tak bisa berkata-kata. Wikan yang awalnya sangat lapar menjadi tidak nafsu makan. Dan Fany, yang menjadi sumber kekacauan malam ini, hanya bisa menunduk di kursinya. Takut. Fany tahu malam ini akan terjadi. Pasti. Ia sudah mempersiapkan diri selama berminggu-minggu. Namun ketika hari ini sungguh tiba, Fany sadar bahwa ia tidak benar-benar siap.
“Jadi selama ini kamu bohongin Papa?” Suara tajam Danar terdengar. Pria itu menggenggam kertas yang ada di tangannya dengan tenaga yang lebih besar dari seharusnya. Seakan tak cukup membuat kertas berharga itu lusuh, ia juga melemparkan kertas itu ke arah Fany. Kertas yang bertuliskan,
Selamat! Anda dinyatakan lulus seleksi SBMPTN
PTN : Universitas Indonesia
Program Studi : Ilmu Hukum“Maaf, Pa,” cicit Fany, tak berani menatap ayahnya barang sedikit pun.
“Kamu pikir maaf bisa ngilangin rasa kecewa Papa?! Kamu pikir maaf bisa balikin semua yang udah Papa kasih ke kamu supaya kamu bisa masuk kedokteran?!”
Fany diam. Samar-samar terngiang dalam kepalanya ucapan mama Zinu dulu. “Dia bukan aset yang harus kami hitung untung ruginya dengan menuntut dia harus menjadi apa. Dia bukan sapi yang bisa kami perah sesuka hati. Biar bagaimanapun, dia anak kami.”
“Nggak usah diambil. Kamu tetap harus ikut ujian mandiri masuk kedokteran,” perintah papa Fany yang terdengar seperti vonis mati.
“Dia adalah bayi yang dulu kami pernah tersenyum bahagia saat mendengar tangis pertamanya di bumi. Dia adalah anak yang kami cintai. Memang benar kami yang menanamnya, tapi dia yang berhak menentukan akan tumbuh menjadi buah apa.”
“Pa, tapi Fany pengin jadi pengacara. Fany nggak pengin jadi dokter,” cicit Fany seiring dengan perintah Danar dan kalimat Arini yang menggema di telinganya.
“KAMU HARUS JADI DOKTER!”
Fany menggigit bibir bagian bawahnya. Mata gadis itu berkaca-kaca.
“Papa nggak akan mau ngeluarin sepeser pun uang kalau kamu tetap bersikeras masuk hukum. Mau jadi apa kamu nanti? Pengacara? Kamu mau belain penjahat-penjahat di luar sana yang seharusnya memang masuk penjara? Ngapain kamu sekolah tinggi-tinggi kalau cuma mau belain penjahat?!”
Fany tidak pernah tahu bahwa kata-kata bisa menghancurkan seseorang. Dan Fany tidak pernah tahu bahwa orang yang akan membunuh Fany dengan kata-kata adalah sosok yang seharusnya menjadi panutan dalam hidupnya.
“Kalau gitu Fany bisa cari biaya kuliah sendiri,” kata Fany.
“Oh, gitu? Nantangin kamu? Ya udah kalau gitu kamu keluar sekalian dari rumah ini!”
“Pa!” Isti yang sejak tadi diam kali ini angkat bicara. “Tenang dulu, Pa. Jangan gegabah.”
“Kamu diam aja, Ma! Biar aku mendidik anakku!” balas Danar.
Air mata Fany mulai berjatuhan. Dadanya sesak. Tubuhnya lemas dan kakinya terasa seperti agar-agar. Kendatipun demikian, Fany tetap mengumpulkan sisa tenaganya yang tinggal secuil untuk berdiri dan berlari ke kamar. Gadis itu menangis sesenggukan, sembari tangannya memasukkan barang-barang ke dalam koper.
Wikan menghampiri dan berusaha menenangkan Fany, sedangkan Isti menenangkan suaminya. Sayangnya tak ada yang berhasil. Keduanya sama-sama kukuh pendirian. Hingga akhirnya Fany benar-benar pergi dari rumah itu.
Langit malam itu cerah. Fany juga melihat banyak sekali bintang di atas sana, seolah menertawakan Fany atas apa yang gadis itu alami malam ini. Ia berjalan, sambil sesekali menyeka air matanya yang terus jatuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eftychis
Romance#1 mimpi dari 8,15k cerita Kata Papa Fany, dokter adalah satu-satunya profesi ideal di bumi. Maka anak-anaknya tidak boleh mencari profesi lain selain dokter. Termasuk Fany. Keyakinan itu pun melekat di kepala Fany, sampai Fany bertemu dengan Zinu...