Zinu membalik posisi. Mengunci tubuh lawannya dengan sempurna di atas matras, hingga Zinu ditepuk beberapa kali. Tanda menyerah. Tanda bahwa Zinu telah menang. Seharusnya Zinu melepaskan. Namun lelaki itu tetap bergeming, hingga membuat lawannya kesulitan bernapas. Sampai akhirnya pelatih harus maju untuk memisah mereka.
"Zinu! Kamu ini kenapa?!" omel pelatih. "Latihanmu selama seminggu ini memburuk. Kalau kamu kayak gini terus, kamu nggak akan menang di kompetisi. Dari tadi saya perhatiin teknikmu juga banyak yang salah."
Zinu menunduk. Merasa bersalah pada lawan latihannya yang kini tampak kesakitan. "Maaf, Coach."
"Mending kamu mengundurkan diri aja dari kompetisi."
Zinu tertegun. Ia menatap pelatihnya dengan tatapan memohon. "Jangan, Coach. Saya harus ikut pertandingan itu."
"Tapi latihanmu aja memburuk. Kamu bertanding nggak pakai akal, tapi pakai emosi. Jiu-jitsu nggak butuh itu. Ngapain kamu tanding kalau cuma ngandelin emosi? Mending cari aja preman di jalan terus ajakin duel."
Zinu menunduk. "Maafkan saya, Coach. Saya akan berusaha lebih baik lagi."
Pria berambut cepak di hadapan Zinu menghela napas berat sambil berkacak pinggang. "Saya kasih kamu waktu dua hari. Kalau dalam dua hari kamu masih nggak karuan begini, saya bakal coret nama kamu dari pertandingan besok." Selanjutnya pria itu pergi meninggalkan Zinu yang masih menunduk.
Zinu membaringkan tubuhnya di atas matras dan menghela napas panjang. Pikirannya tak karuan selama seminggu terakhir, membuat aktivitasnya kacau. Kedekatan Fany dengan Brian membuat Zinu keruh. Ia cemburu, sangat. Namun ia tidak bisa memisahkan mereka karena Fany mendapat uang dari sana. Zinu sudah berusaha meredam cemburunya selama seminggu terakhir, tapi amarahnya naik ketika melihat unggahan terbaru Brian yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan iklan. Gambar Fany yang diambil dari samping dengan latar belakang rak perpustakaan, dengan keterangan bertuliskan, "Dia..."
Zinu sudah mengutarakan rasa tidak sukanya atas foto itu pada Fany kemarin malam. Namun hasilnya justru semakin menaikkan kekesalan Zinu.
"Gue udah tanya ke Brian, Zin. Nggak ada maksud apa-apa dari foto itu. Lagian dia juga sering upload foto temen-temennya yang lain. Itu semata-mata biar gue nggak kelihatan sekadar partner iklan doang. Biar gue kelihatan beneran temenan sama dia."
"Dan lo percaya gitu aja?!" balas Zinu kesal. Untung kafe tempat Fany part time sedang tidak terlalu ramai, jadi pembicaraan mereka yang cukup keras tidak mengganggu. "Fan, lo lebih pinter dari gue. Masa lo nggak bisa ngerasain maksud terselubung Brian deketin lo?"
Fany memutar matanya dengan kesal. "Dia cuma bantuin gue, Zinu. Dia tahu gue butuh uang buat kuliah dan dia bantu gue. Dia nggak punya maksud lain seperti yang sering lo tuduhk-"
"Dia suka sama lo, Fan!" potong Zinu kesal. "Dia deketin lo karena dia suka sama lo. Kebetulan aja dia punya celah dan kesempatan untuk itu. Apa lo-"
"Terus emangnya kenapa?" balas Fany tak kalah kesal. "Kalau Brian emang suka sama gue emangnya kenapa? Ada masalah?"
Zinu bungkam detik itu juga.
"Please, jangan larang gue buat dekat sama siapa pun. Terlebih orang itu cuma berniat bantuin gue. Kita... nggak pacaran, kan?"
"Aaaarrrgghhhh!!!" teriakan Zinu menggema ke seluruh penjuru ruang latihan. Ya, Zinu akui Fany benar. Mereka memang tidak pacaran. Tapi apakah Fany tidak mengetahui perasaan yang Zinu tunjukkan dengan begitu jelas selama ini? Kehadiran Zinu, dukungan yang Zinu beri, bahu yang Zinu sediakan, pengorbanan yang Zinu lakukan, perhatian yang Zinu tunjukkan sepenuh hati, apakah Fany tidak menyadari dan menganggap semua itu hanya sampah? Apakah semua waktu, tenaga, pikiran dan materi yang selama ini Zinu beri kalah dari Brian yang membantunya membayar biaya kuliah? Bukan bermaksud memperhitungkan apa yang telah diberi dan dikorbankan. Hanya saja, terlalu menyakitkan ketika orang yang dikagumi begitu mudah berpaling karena sosok lain yang lebih mapan dan lebih hebat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eftychis
Romance#1 mimpi dari 8,15k cerita Kata Papa Fany, dokter adalah satu-satunya profesi ideal di bumi. Maka anak-anaknya tidak boleh mencari profesi lain selain dokter. Termasuk Fany. Keyakinan itu pun melekat di kepala Fany, sampai Fany bertemu dengan Zinu...