Dua Puluh Delapan

719 157 87
                                    

“Zinu, lo... nggak pa-pa?”

Zinu menelan baksonya, kemudian mendelik ke arah Fany yang duduk di hadapannya. “Gue kesakitan satu jam yang lalu, dan lo baru nanyain sekarang?”

Fany meringis. Tidak enak. Malu. “Sorry, gue nggak sengaja.”

Zinu tak menjawab. Hanya melanjutkan menghabiskan semangkuk bakso miliknya. “Tapi emang benar gitu. Lain kali kalau ada yang niat jahat ke lo, tendang kayak tadi. Lebih kenceng. Besok kita latihan lagi, gue kasih teknik jiu-jitsu atau teknik lain yang gampang dipakai cewek. Itu tadi baru pengenalan umum doang, pertahanan awal kalau lo mendadak diserang.”

Fany mengangguk pelan. Menurut. Sial! Kenapa rasanya ia seperti sedang dimarahi?

“Tapi gue tetap berharapnya lo selalu aman. Atau paling nggak kalau ada yang niat jahat, pas ada gue yang bisa ngelindungin lo.”

Jika tadi jantung Fany berdetak tak terkendali, kali ini ia merasakan sesuatu yang lain dari dalam dirinya mendengar ucapan Zinu. Seolah ada ribuan kupu-kupu terbang dan mengepakkan sayapnya yang cantik di perut Fany. Sudah pernah ia katakan, bukan, bahwa gombalan Zinu yang dulu sering Fany maki-maki, kini menjadi kalimat yang begitu berpengaruh bagi Fany? Meski gadis itu lebih rela terjun ke laut daripada mengakuinya.

“Habis ini kita jadi ke rumah Om Firman?” tanya Fany, mengalihkan pembicaraan.

Zinu mengangguk. “Jadi, dong. Barusan Om Firman WA katanya udah nyampe rumah.”

Ke rumah Om Firman telah menjadi aktivitas rutin Zinu dan Fany. Terutama ketika ujian SBMPTN usai, Fany jadi lebih leluasa belajar ilmu hukum langsung dari seorang pengacara. Adik bungsu dari papa Zinu tersebut pun masih sangat muda, 28 tahun, terpaut lebih dari sepuluh tahun dari Prambudi. Dan masih lajang. Jadi obrolan mereka mengalir dengan menyenangkan.

Seperti biasanya, Firman sering mengajak Fany ke perpustakaan pribadinya untuk menjelajah dunia hukum sesuka hati gadis itu. Fany selalu memiliki banyak pertanyaan untuk dilontarkan, dan Firman selalu memiliki pengalaman untuk diceritakan. Zinu bergabung dan sering kali menanggapi, meski lelaki itu menjadi orang yang paling cepat bosan lalu memilih untuk menonton televisi di ruang tengah. Seperti hari ini.

“Fan, kamu tahu, kalau kamu mencuri start begini, bisa-bisa nanti pas kuliah teman-teman kamu kalah semua,” kata Firman setelah beberapa jam mereka berbincang dan berdiskusi.

Fany hanya tersenyum mendengar pujian itu.

“Kapan pengumuman SBMPTN?”

“Dua minggu lagi, Om.”

“Dan kamu belum ngasih tahu keluarga kamu, kalau ternyata kamu daftar hukum?”

“Belum.” Om Firman tentu tahu dengan kisah Fany beserta keluarga dokternya. Ia pernah bercerita. “Aku masih belum sanggup bilang. Nanti aja kalau beneran udah keterima.”

“Terus kalau Papa kamu ngamuk?”

“Aku udah memperkirakan itu sejak awal, sih. Aku juga sedang mempersiapkan diri.”

Firman mengembuskan napas panjang. “Semoga kamu segera dapat solusi, ya. Om bakalan senang banget kalau suatu saat nanti kita bisa jadi rekan kerja.”

Fany mengangguk. “Iya, Om. Aku juga berharap gitu.”

“Ya udah, Om mau mandi dulu. Habis itu kita makan malam di luar. Kamu kalau masih mau di sini nggak pa-pa atau nyusul Zinu ke depan.”

“Ke depan aja. Kasihan Zinu nunggu sendirian.”

Keduanya pun keluar dari perpustakaan pribadi milik Firman. Firman menuju kamar mandi, sedangkan Fany menuju ruang tengah. Gadis itu menemukan Zinu sedang tertidur di sofa. Sebelah lengannya ia gunakan untuk bantal, dan sebelah tangannya lagi terkulai ke bawah.

EftychisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang