Zinu. Zinu. Zinu.
Bintang Zinura Prambudi.
Nama itu semakin sering menguasai kepala Fany. Fany tahu itu sudah dimulai sejak lama, tapi seiring berjalannya waktu intensitasnya semakin kuat. Namanya. Wajahnya. Senyumnya. Perhatiannya. Gombalan murahan yang sejujurnya sering membuat Fany tersipu, meski gadis itu lebih memilih untuk menelan racun daripada mengakuinya.
Apakah ini yang orang-orang sebut dengan jatuh cinta? Apakah dirinya jatuh cinta pada Zinu?
“Udah selesai belajarnya?”
Suara ibu Zinu menyadarkan Fany dari lamunan. Gadis itu tersenyum pada Arini yang duduk di sampingnya. “Tadi nggak belajar, Tante. Zinu capek katanya.”
“Justru kalau nggak capek belajar, bukan Zinu namanya,” kata Arini dan Fany tersenyum kecil. “Terus di mana dia?”
“Lagi mandi. Katanya mau ngajak keluar habis ini.”
“Ke mana?”
Fany menggeleng. “Nggak tahu, Tante.”
“Kamu nggak dimarahin kan pulang malem-malem?”
“Nggak kok, Tante.” Fany berbohong, tentu saja. Sejak kapan papanya tidak marah jika anaknya melakukan aktivitas lain selain belajar? Omong-omong orang tua, Fany jadi penasaran sesuatu. Mengapa orang tua Zinu dan orang tuanya sangat berbeda, ya? “Tante, Fany boleh tanya sesuatu?”
“Boleh dong,” jawab Arini ramah.
“Tante sama Om nggak marah ya kalau Zinu nakal? Emm... maksudnya... bukan nakal sih... apa yaa...” Fany bingung harus mengutarakan isi kepalanya dengan kalimat apa tanpa bermaksud menyinggung. “... emm... dikeluarin dari sekolah...”
“Maksud kamu, apa kami marah atau kecewa sama Zinu, begitu?” Arini tampaknya mengerti kesungkanan Fany bertanya.
Fany mengangguk. “Iya. Maksudnya, kalau itu Fany, mungkin Fany sudah nggak dianggap anak sama Papa.”
Arini mengela napas. “Kalau Fany tanya Tante kecewa apa nggak, jelas iya. Orang tua mana sih yang nggak kecewa anaknya putus sekolah? Sedih, tentu saja. Tapi kalau marah...” Arini menggeleng. “Semarah apa pun kami pada Zinu, kami selalu ingat bahwa dia anak kami. Dia bukan aset yang harus kami hitung untung ruginya dengan menuntut dia harus menjadi apa. Dia bukan sapi yang bisa kami perah sesuka hati. Biar bagaimanapun, dia anak kami. Dia adalah bayi yang dulu kami pernah tersenyum bahagia saat mendengar tangis pertamanya di bumi. Dia adalah anak yang kami cintai. Memang benar kami yang menanamnya, tapi dia yang berhak menentukan akan tumbuh menjadi buah apa. Untuk masalah ini, yang penting dia tetap belajar sesuatu dari apa yang dialaminya.”
Fany mencelos. Sekuat mungkin menyembunyikan rasa iri dan sakit yang dialaminya, karena kalimat Arini menembak Fany pas di titik yang tepat. Bolehkah... bolehkah ia berharap memiliki orang tua seperti orang tua Zinu?
“Kamu pasti sudah dikasih tahu Zinu tentang impian masa kecilnya yang kandas, kan?” tanya Arini.
Fany mengangguk.
“Tante kasih tahu sesuatu yang lain. Tunggu sebentar.” Arini bangkit. Ia mengambil sebuah pigura yang terpajang di dinding. Foto keluarga. Dari yang Fany lihat, ada Zinu kecil, orang tuanya, dan seorang laki-laki yang lebih besar dari Zinu. Arini kembali duduk di samping Fany. “Kamu sudah pernah dikasih tahu kalau Zinu punya kakak?”
Fany menggeleng. “Setahu saya Zinu anak tunggal.”
Arini menggeleng. Wanita itu menunjuk seorang laki-laki di foto. “Ini kakak Zinu. Namanya Dika.”
“Terus sekarang di mana? Kok Fany nggak pernah lihat?”
“Sudah meninggal. Sampai sekarang pun kami tidak bisa menemukan jasadnya.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Eftychis
Romance#1 mimpi dari 8,15k cerita Kata Papa Fany, dokter adalah satu-satunya profesi ideal di bumi. Maka anak-anaknya tidak boleh mencari profesi lain selain dokter. Termasuk Fany. Keyakinan itu pun melekat di kepala Fany, sampai Fany bertemu dengan Zinu...