Tujuh

1.1K 257 129
                                    

“Lagi nunggu bus?”  

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Lagi nunggu bus?”  

Dina menoleh pada Fany yang tiba-tiba duduk di sampingnya di halte bus yang sudah sepi. Dina mengangguk. “Lo juga?” 

“Gue nunggu taksi,” jawab Fany singkat. 

Keduanya saling diam. Fany memutar otak. Berpikir kira-kira apa yang bisa ia katakan untuk mengawali pembicaraan mengenai Zinu tanpa membuat Dina curiga. Dan sepertinya keberuntungan sedang menyertai Fany karena tiba-tiba Dina bertanya lebih dulu.

“Lo pacaran sama Zinu ya?” 

Fany hampir saja menjawab tidak karena kenyataannya memang bukan. Tapi niat itu terurungkan ketika menangkap raut wajah Dina, tampak seperti menahan sesuatu. 

Fany pun teringat diskusinya dengan Zinu tadi siang setelah bertemu dengan Toni. 

“Lo yakin nggak punya masalah apa-apa sama Dina?” 

“Enggak, selain gue emang sering ngisengin dia. Tapi itu kan cuma bercandaan doang. Ya elah, gue juga gitu kali ke anak-anak lain,” jawab Zinu yakin. Tapi kemudian lelaki itu tersadar sesuatu. “Ah, gue pernah nolak Dina pas kelas sepuluh.” 

Akhirnya Fany memilih menjawab pertanyaan Dina dengan, “Ya. Gue pacaran sama Zinu.” 

Dan benar saja. Reaksi yang Dina berikan sesuai dengan perkiraan Fany. Gadis itu menatap Fany dengan mata melebar. Bukan sekadar terkejut. Tapi Fany juga melihat luka di sorot matanya. 

“Pantesan lo nekat belain Zinu. Padahal jelas-jelas lo bukan kaki tangan dia,” gumam Dina.

Nah! “Kok lo yakin gue bukan kaki tangan Zinu?” 

Fany melihatnya. Bagaimana bola mata Dina meliriknya sekilas, selanjutnya gadis itu mengusap hidungnya yang tidak terlihat seperti harus diusap. Khas orang yang sedang berbohong. 

“Yaa... karena lo kan anak pinter. Mana mungkin lo jadi kaki tangan berandalan kayak Zinu?” 

“Lo bener,” kata Fany. Mengukuti arah pembicaraan Dina. “Tapi keyakinan gue kalau bukan Zinu pelakunya, sama kayak yakinnya lo kalau gue bukan kaki tangan dia.” 

Fany memperhatikan Dina yang tidak menyahut sama sekali. Fany pun bertanya lagi, “Lo yakin kalung lo hilang hari Selasa kemarin?” 

“Iya lah,” sahut Dina ketus. “Kalung gue hilang pas olahraga. Zinu pasti ngambil pas di kelas nggak ada orang.” 

Fany menyeringai. Umpannya telah digigit. “Kok lo tahu kalung lo hilang pas olahraga? Lo nggak bilang ‘mungkin kalung gue hilang pas olahraga’, atau ‘gue baru tahu kalung gue nggak ada setelah jam olahraga’. Tapi lo langsung bilang kalau kalung lo hilang pas olahraga. Kenapa lo sebegitu yakin?” 

Dina menatap Fany dengan terkejut. Matanya membulat. Gadis itu membuka mulutnya, tapi Fany menyela lebih dulu. 

“Ah, gue baru inget. Tadi ada beberapa anak bilang kalau Selasa kemarin lo sempet izin dari lapangan olahraga.” 

“Gue ke kamar mandi. Perut gue mules!” sahut Dina cepat. Terlalu cepat menurut Fany. 

“Tapi CCTV di koridor nangkap lo jalan ke selatan. Padahal kalau dilihat dari sudut CCTV itu, seharusnya lo jalan ke utara karena arah kamar mandinya ke sana. Dan kalau lo emang mules seperti apa yang lo bilang, kenapa lo udah balik dalam waktu kurang dari tiga menit? Bukannya itu waktu yang terlalu singkat buat nanganin masalah perut mules?” Fany terdiam sesaat, mengukur reaksi Dina yang tampak mati kutu, lalu ia menambahkan, “Ke mana lo saat itu?” 

Tiba-tiba saja Dina berdiri dan membentak Fany. “Lo kenapa sih? Jadi lo nuduh kalau gue sendiri yang masukin kalung gue ke tas Zinu?” 

Fany menyeringai lagi. “Gue nggak pernah bilang begitu. Gue cuma tanya, ke mana lo waktu itu?” Fany Pinasthika berdiri, menghadap Dina dan melanjutkan dengan suara rendah, “Apa barusan lo sedang mengakui perbuatan lo sendiri?” 

“Fan, jaga mulut lo ya! Daripada lo nuduh gue, mending lo urusin cowok berandal lo yang bego itu!” 

“Yah, gue tahu Zinu emang bego,” sahut Fany sinis. “Tapi sebego-begonya Zinu, nggak mungkin dia naruh barang yang dia curi gitu aja di dalam tas, padahal jelas-jelas dia lebih sering bolos dan ninggalin tasnya di kelas. Kalau Zinu emang nyuri kalung lo, pasti dia nyimpen benda itu di tempat yang paling aman. Atau kalau enggak, malah langsung dia jual pas bolos pelajaran.” 

“Sialan lo ya!” Dina mengangkat tangannya hendak menampar Fany. Tapi gerakan tangan gadis itu terhenti di udara karena ditahan oleh tangan lain. Kedua gadis itu menoleh, menemukan Zinu yang tiba-tiba sudah berdiri di antara mereka. 

“Jadi foto ini bener?” tanya Zinu, bahkan belum sempat Dina protes karena tangannya dicekal. 

Gadis yang sudah kehabisan kata-kata itu pun semakin kaku ketika melihat foto dari layar ponsel Zinu. Fotonya. Saat sedang memasukkan kalungnya sendiri ke dalam tas milik Zinu. 

“Jadi foto ini bener?” Zinu mengulang kalimatnya. 

“Lepasin tangan gue!” Dina berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Zinu, tapi tenaga lelaki itu lebih kuat. “Zinu, lepasin gue!” 

“JAWAB PERTANYAAN GUE!!!” teriak Zinu emosi. “Lo sengaja ngelakuin ini biar gue dituduh pencuri?” 

Dina menyentakkan tangannya hingga cengkeraman Zinu terlepas. Kendali yang sejak tadi Dina jaga pun akhirnya runtuh juga. “Iya. Gue sengaja ngelakuin itu. Puas?!” serunya. “Gue benci sama lo, Zin! Sejak lo nolak gue dulu, gue selalu bilang sama lo buat ngejauh dari hidup gue. Tapi apa yang lo lakuin sampai sekarang? Lo malah makin sering muncul di depan mata gue. Lo sering isengin gue. Lo selalu bikin gue kesel dan seneng di waktu yang bersamaan. Dan lo bikin gue nggak bisa lupain perasaan gue ke lo sama sekali!” 

Zinu termangu sesaat. “Gu-gue cuma pengin temenan sama lo.” 

“TAPI LO NGGAK HARGAIN PERASAAN GUE!” teriak Dina, seiring dengan air matanya yang jatuh. “Dan lo tahu apa lagi yang bikin gue hancur? Setelah lo nolak gue, lo malah pacaran sama temen gue sendiri meskipun cuma bertahan sebulan. Lo bener-bener tega, Zin! Maka dari itu gue pengin lo keluar dari sekolah ini sekalian biar gue bisa hidup tenang.” Selanjutnya gadis itu berlari meninggalkan Zinu dan Fany yang termangu di tempat.  

Tak percaya. Tak bisa berkata-kata. 

TBC

EftychisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang