Tiga Puluh Dua

592 137 39
                                    

“Kenapa muka lo? Kusut amat?” tanya Jerry sambil melemparkan sebotol air mineral dingin pada Zinu yang berbaring di atas matras.

Zinu duduk. Ia membanjiri kerongkongannya dengan air mineral sebelum menatap Jerry yang kini sudah duduk di bangku sudut ruang latihan. “Gue cuma tidur dua jam. Bantuin Fany yang disuruh bikin seratus lemper. Habis subuh gue juga langsung nganterin dia ospek. Sialan banget senior yang bisa-bisanya ngasih hukuman nggak manusiawi gitu, cuma karena Fany salah pakai warna pita rambut,” omelnya.

Jerry tertawa. “Katanya nggak pacaran. Itu apa? Atau jangan-jangan sekarang lo jadi babunya dia?”

“Sialan lo!” Zinu melempar botol mineralnya ke arah Jerry, tapi langsung ditangkap temannya. “Gue cuma bantuin Fany. Kalau bukan gue, siapa lagi?”

“Tapi intinya kalian nggak pacaran, kan?” Jerry masih berusaha menyudutkan Zinu.

Zinu tidak menjawab.

“Gue cuma mau ngingetin lo, hati-hati. Fany kuliah sekarang. Pertemanannya semakin luas. Dia bakalan kenal sama banyak orang, termasuk cowok-cowok. UI, lagi! Kalau lo masih bersikukuh gantungin hubungan kalian, jangan salahin Fany kalau tiba-tiba dia pacaran sama cowok lain di kampusnya. Toh gue akui dia cantik. Pintar. Satu-satunya kekurangan dia cuma kebanyakan belajar.”

Zinu masih terdiam. Lelaki itu menekuk lututnya dan menghela napas panjang. “Itu juga yang gue takutin,” gumamnya kemudian.

“Ya udah lo tembak aja apa susahnya, sih? Lo bilang dia juga suka sama lo. Apa jangan-jangan lo ngarang?”

“Lo nggak paham perasaan gue, Jer. Rasanya jadi nggak sesederhana itu sekarang.”

Jerry berdecap. “Ribet amat elah jadi cowok. Gue PDKT seminggu doang udah jadian.”

Zinu tidak menjawab. Ia bangun dari matras dan duduk di samping Jerry. Daripada membahas masalah Fany yang ia sendiri juga tidak mengerti, lebih baik ia membahas hal lain. “Gimana kerjaan lo di bengkel? Lancar?”

Jerry mengangguk sekenanya. “Lo sendiri? Enak ya part time di restoran? Ada AC-nya. Adem.”

“Capek.”

“Enak zaman sekolah, ya?”

Zinu mengangguk. “Selamat datang di kehidupan nyata.”

“Ternyata cari nafkah dengan ijazah SMA itu susah,” gumam Jerry. “Seandainya kita bisa masuk kuliah.”

Zinu terdiam. Tiba-tiba saja teringat masa-masa di sekolah yang selama ini ia habiskan dengan seenaknya.

“Seandainya dulu kita bisa lebih serius sedikit aja, apa hidup kita akan berubah? Apa nasib kita bisa lebih baik dari sekarang?”

“Lo menyesal?” tanya Zinu.

Jerry mengangguk pelan. “Lumayan. Lo?”

“Sama. Tapi toh nggak ada gunanya menyesali masa lalu. Karena kita bisa mulai lagi, dari sekarang.”

***

TBC

EftychisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang