Tiga Puluh Sembilan

725 145 40
                                    

Fany mencelos, karena begitu menampakkan diri di ruang rawat Zinu, lelaki itu langsung mengalihkan pandangan ke arah lain

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Fany mencelos, karena begitu menampakkan diri di ruang rawat Zinu, lelaki itu langsung mengalihkan pandangan ke arah lain. Apakah Zinu kini berbalik membencinya setelah semua yang Fany lakukan?

"Ha-hai," sapa Fany kikuk. Gadis itu menatap bahu dan lengan kiri Zinu yang dibebat dengan perasaan hancur. "Lo... baik-baik aja?"

"Menurut lo?!"

Fany tertegun. Ini adalah kali pertama Zinu membentak Fany dengan sorot mata tajam yang bercampur luka dan kecewa yang begitu kental. Gadis itu menggigit bibirnya, merasa bersalah. "Maafin gue."

Zinu kembali mengalihkan pandangan ke arah lain. Dengan ketus lelaki itu berkata, "Ngapain ke sini?"

"Gu-gue mau jengukin lo," cicit Fany yang langsung dibalas dengusan oleh Zinu.

"Nggak usah. Mending lo fokus sama kegiatan lo yang super sibuk itu."

Fany menunduk. Kedua tangannya saling meremas. "Lo masih marah sama gue?"

"Ngapain gue marah? Emang gue punya hak?"

"Zinu, maafin gue." Fany memberanikan diri menatap Zinu yang masih memalingkan muka. "Maaf gue telat. Tapi gue dateng, kok. Serius. Gue kena macet. Tapi gue udah berusaha lari biar lebih cepat sampai. Tapi ternyata... ternyata gue tetap terlambat... dan lo... lo udah... di bawa ambulans..." Fany menunduk lagi seiring dengan matanya yang kembali memanas. "Maafin gue..."

Akhirnya Zinu bersedia menolehkan kepalanya pada Fany. Meski kesal, meski kecewa, ternyata ia tidak bisa marah terlalu lama pada Fany. Lagi pula, tanpa sepengetahuannya, ternyata Fany datang. "Ya udah, nggak pa-pa. Lupain aja."

"Maafin gue, Zin... Gue tahu gue salah..."

"Iya, udah gue maafin, Fan. Udah, nggak usah nangis gitu. Kayak bukan lo aja."

"Maafin gue..."

"Udah gue maafi-"

"Maaf karena bikin lo harus ngerasain kayak gini untuk yang kedua kali," potong Fany, membuat Zinu bungkam. "Gue tahu lo benci rumah sakit, karena di sini lo pernah kehilangan mimpi. Dan gue malah bikin lo ada di posisi ini lagi. Maafin gue."

Zinu terdiam sesaat. Tak tahu harus bereaksi seperti apa. Belum apa-apa Zinu sudah terluka, dan karena kejadian ini ibunya menyarankan Zinu untuk berhenti saja. Ia jelas merasa tidak adil pada semesta. Ia kesal, ia marah karena dihadapkan pada situasi memuakkan ini untuk yang kedua kali.

Namun setidaknya kini lebih baik. Ia tidak mengamuk seperti dulu. Tidak berusaha bunuh diri seperti dulu. Mungkin karena pernah patah, ia jadi terbiasa. Kali ini Zinu merasa lebih bisa menerima dan mengontrol diri. "Nggak pa-pa, Fan. Semua ini bukan salah lo," kata lelaki itu pada akhirnya.

"Gue janji nggak akan nyuruh lo ikutan ini itu lagi. Gue nggak akan-"

"Udah, Fan," potong Zinu. Suaranya sudah lebih bersahabat. "Udah gue bilang nggak pa-pa. Lagian gue suka waktu yang gue habisin di ruang latihan, kok. Ini murni kemauan gue sendiri, bukan paksaan siapa pun. Kekalahan gue di pertandingan juga murni karena salah gue, karena gue nggak fokus. Karena gue dikendalikan emosi."

EftychisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang