Seperti biasa, rutinitas makan malam yang Fany lakukan bersama keluarganya sangat membosankan. Papa dan kakak laki-lakinya, Wikan, selalu mendominasi meja makan dengan obrolan-obrolan mereka tentang dunia kedokteran. Mama yang pernah bekerja sebagai perawat pun sedikit banyak mengerti. Papa bercerita tentang pasien-pasien yang ditanganinya di rumah sakit. Wikan bercerita tentang aktivitas luar biasanya menjadi mahasiswa kedokteran. Obrolan yang basi menurut Fany. Dulu, gadis itu selalu berusaha menyeimbangi mereka, berusaha keras agar otaknya bisa disandingkan dengan otak orang-orang itu. Fany ingin mendapat pengakuan. Tapi lambat laun, Fany mulai merasa lelah dan muak dengan semua itu.
Zinu benar. Fany tidak bahagia.
Fany juga ingin bercerita tentangnya. Tentang apa yang ia rasakan. Tentang mimpinya yang baru saja ia dapatkan. Namun Fany sadar, ia tak akan pernah bisa bicara tentang hal-hal seperti itu di sini.
Ia baru sadar. Terkadang, orang yang paling tidak mengerti justru keluarga sendiri.
Fany mengembuskan napas pelan, sambil mengunyah makan malamnya dengan tidak semangat. Biarkan saja mereka.
“Fan!”
Fany tersentak kaget ketika Wikan yang duduk di sampingnya tiba-tiba menyikut lengannya. “Apa sih?”
“Ditanyain Papa tuh! Ngelamun aja sih!”
Fany baru sadar bahwa Papa yang duduk di kepala meja, juga Mama yang duduk di seberang Wikan sedang menatapnya. Fany buru-buru menelan makanannya dan bertanya pada papa. “Iya, Pa?”
“Gimana sekolah kamu?”
Fany mengangkat bahu. “Yeaah, kayak biasanya. Baik.”
“Kapan UN?”
“Sebulan lagi.”
Danar mengunyah makannya dengan tenang. Fany kira pertanyaan untuknya telah habis. Namun ternyata gadis itu salah.
“Selesai makan malam, kasih HP kamu ke Papa. HP kamu Papa sita sampai UN.”
Fany menelan makannya tanpa mengunyahnya sampai benar-benar halus. Ia menatap Danar dengan tidak suka. “Kenapa harus disita? Aku bisa ngatur waktu buat belajar sama main HP kok. Lagian selama ini aku pegang HP nilaiku tetap bagus.”
“Ya, Papa tahu. Papa juga nggak akan sita HP kamu kalau kamu nggak mulai bolos les dan keluyuran nggak jelas sama cowok berandal itu,” balas Danar tenang, tapi penuh ketajaman dan ketegasan di setiap katanya.
Fany membeku. Jantungnya serasa berhenti berdetak selama beberapa saat. Papanya... tahu?
“Beruntung kamu nggak Papa seret pas kabur dari kamar kemarin,” lanjut Danar. Pria itu terus melanjutkan makannya dengan tenang. Tak begitu memedulikan ekspresi kaget dari wajah Fany, Wikan, bahkan mama yang tidak tahu apa-apa. Danar bicara setenang biasanya. Tapi ketiga orang itu tahu, ketika pria itu bicara, takkan ada yang bisa melawan.
Fany menggigit bibir bagian dalamnya. Gugup. Takut. Wikan yang menatapnya dengan tatapan -apa-kamu-gila-, tidak begitu Fany pedulikan. Gadis itu membuka mulut, ingin menjelaskan, tapi tak tahu harus menjelaskan apa. Ingin minta maaf, tapi pita suaranya seolah putus. Fany tahu dirinya salah. Ia tahu penjelasan selogis apa pun tidak akan bisa membenarkan tindakannya. Apalagi penjelasan sesederhana ‘Karena aku bahagia melakukannya’.
“Pa—“
Danar menatap putri bungsunya dengan tajam. “Makan.”
Dan Fany tahu, ketika Papanya sudah menatapnya seperti itu, diskusi telah berhenti. Palu telah diketuk.
Selesai makan malam, Fany benar-benar memberikan ponselnya pada Danar. Bertepatan dengan pesan masuk dari Zinu, yang tak sempat Fany baca.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Eftychis
Romance#1 mimpi dari 8,15k cerita Kata Papa Fany, dokter adalah satu-satunya profesi ideal di bumi. Maka anak-anaknya tidak boleh mencari profesi lain selain dokter. Termasuk Fany. Keyakinan itu pun melekat di kepala Fany, sampai Fany bertemu dengan Zinu...