Dua Puluh Tujuh

691 152 61
                                    

"Mau ke mana kamu?"

Langkah Fany yang hampir mencapai pintu rumah terhenti mendengar pertanyaan yang Danar lontarkan. Pria itu duduk di sofa. Memangku sebuah buku tebal yang tak perlu Fany tebak karena ia yakin isinya tidak jauh-jauh dari jantung.

"Ke perpus," jawab Fany enggan.

"SBMPTN udah kelar, ngapain ke perpus?" tanya ayahnya tajam. "Ke perpus atau ketemu anak nakal yang putus sekolah itu?"

Tangan Fany mengepal di kedua sisi tubuhnya. Sejak hari di mana Danar menolak permintaan Fany membantu Zinu, ketakutan gadis itu terhadap papanya mulai berkurang. Tidak, sejujurnya ia masih takut, sangat. Namun ketakutan itu kalah dengan rasa marah dan kecewa Fany terhadap papanya.

"Dia putus sekolah demi nyelametin anak Papa yang hampir diperkosa. Jangan lupa itu," kata Fany. Gadis itu hampir melangkah, tapi ia urungkan lagi dan berkata, "Namanya dia Zinu. Bukan anak nakal."

Fany melanjutkan langkah, tapi lagi-lagi Danar menginterupsi. "Selangkah aja kamu keluar pintu, nggak usah pulang sekalian."

Jika dulu Fany akan tunduk dengan perintah papanya tanpa babibu, kali ini gadis itu melakukan apa yang papanya larang. Ia melangkah, melewati pintu, hingga akhirnya keluar rumah. Ia sudah sering mendengar kalimat itu dari Danar, bahwa ia tidak boleh pulang jika bertemu Zinu. Tapi Fany tidak peduli. Toh hingga saat ini ia tidak benar-benar diusir-belum. Tunggu hingga pengumuman SBMPTN tiba dua minggu lagi, mungkin Fany benar-benar harus angkat kaki dari rumah ini.

Sesuai tebakan Danar, Fany tidak pergi ke perpustakaan. Gadis itu sudah janji akan menemani Zinu latihan bela diri hari ini. Ia duduk di pojok ruangan, melihat Zinu yang sedang berlatih gerakan mengunci lawan.

Sejujurnya Fany ngeri melihat Zinu berlatih. Apalagi ketika lelaki itu harus dibanting dengan keras. Namun Fany menepis kekhawatirannya, karena ia tahu mereka profesional. Fany juga senang, Zinu mengikuti apa yang ia sarankan.

Untuk pertama kali dalam hidupnya, Fany merasa opininya didengar oleh orang lain. Karena bicara dan hak berpendapatnya seolah dicabut jika berada di rumah.

Ah, lagi-lagi karena Zinu. Zinu yang membantu Fany menemukan mimpinya. Zinu yang mendengarnya. Zinu yang membuat hidupnya lebih berwarna.

"Fany!"

Panggilan dari Zinu membuyarkan lamunan Fany. Lelaki itu melambaikan tangan, meminta Fany mendekat.

"Kenapa?" tanya gadis itu setelah menghampiri Zinu ke matras.

"Lo ganti baju gih. Gue bakalan ngajarin lo bela diri yang umum dikit-dikit."

Bola mata Fany yang sudah bulat semakin melebar. "Kok gue? Kan gue nggak ikutan."

"Nggak pa-pa. Gue mau pakai sisa waktu di sesi kali ini buat ngajarin lo. Udah diizinin kok, tenang aja, Coach baik."

Fany menggeleng. "Nggak mau. Lagi pula gue nggak butuh ilmu bela diri."

"Butuh, Fan. Gue pengin memastikan lo selalu aman, terutama di saat gue lagi nggak di samping lo."

Fany tidak menjawab. Gadis itu berusaha menenangkan jantungnya yang tiba-tiba berdebar tak karuan. Jangan lanjutkan, Zinu, please.

"Mau ya?" tanya Zinu. "Gue nggak mau terjadi sesuatu sama lo lagi. Setidaknya ini cara gue buat ngelindungin lo."

Oke, Zinu, hentikan! Lo cuma bikin gue makin deg-degan.

Fany mengalihkan pandangannya ke arah lain. Menata jantungnya, juga menata ekspresinya agar tetap datar seperti biasa. Lalu dengan pura-pura enggan ia bergumam lirih, "Oke, kalau lo maksa."

EftychisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang