Hari ini Fany piket. Ia dimintai tolong Bu Dwi untuk membawakan buku tugas milik teman-teman sekelas menuju ruang guru, dibantu oleh Rayhan. Ketika melewati koridor, gadis itu melihat Zinu sedang mengepel lantai. Pasti dihukum lagi, batin gadis itu.Fany berjalan santai seperti biasa. Yakin, bahwa Zinu akan menggodanya. Tapi ternyata tebakan Fany salah. Saat Zinu menangkap sosoknya, lelaki itu hanya menatapnya selama beberapa detik, lalu melanjutkan aktivitasnya lagi. Hingga Fany berlalu pun, lelaki itu tetap tak peduli. Seolah mereka bukan dua orang yang saling kenal, apalagi dekat.
Fany mengerutkan kening sambil terus berjalan menuju ruang guru. Tumben sekali Zinu cuek ketika Fany muncul di hadapannya. Apa ada yang salah?
Gadis itu mengangkat bahu, tak mau ambil pusing. Mungkin saja akal Zinu sedang berada di tempat yang benar, sehingga lelaki itu tidak menggoda Fany. Atau mungkin sedang malas. Ah, nanti Zinu pasti kembali seperti biasa lagi.
Namun lagi-lagi Fany Pinasthika salah. Saat istirahat di kantin hal itu terulang lagi. Zinu melihatnya, kemudian mengalihkan pandangannya begitu saja tanpa menyapa. Fany juga baru sadar bahwa tatapan mata Zinu berbeda. Tatapannya seolah menunjukkan bahwa lelaki itu sedang kesal dan… kecewa. Tapi karena apa?
Penasaran, Fany memberanikan diri mendekati Zinu yang sedang makan bersama teman-temannya. Jerry, Fauzan, dan Arka bersorak heboh melihat Fany mendekat. Dan lagi-lagi Fany merasa ada sesuatu yang berbeda. Normalnya, jika dalam situasi seperti ini, Zinu pasti sudah bersikap sok keren. Tapi yang Fany lihat sekarang lelaki itu justru menatap ke arah lain. Seolah kehadiran Fany adalah sesuatu yang tidak ia inginkan.
“Zinu,” panggil Fany.
Normalnya lagi, Zinu selalu melihat Fany dengan tatapan seolah gadis itu adalah jelmaan seorang dewi. Tapi kini Zinu malah terlihat enggan menangkap Fany dengan indra penglihatannya.
“Kenapa?” Lelaki itu juga merespons dengan setengah hati.
Fany sempat bingung. Apa yang terjadi? Kenapa tiba-tiba Zinu seperti ini? Dan apa yang harus ia lakukan ketika jelas-jelas Zinu tidak menginginkan kehadirannya? Oh, tidak perlu menjadi cerdas untuk menyimpulkan bahwa Zinu sedang tidak ingin melihat Fany.
Membuang niatnya untuk bertanya ada apa, Fany memilih untuk melontarkan pertanyaan lain. “Pulang sekolah nanti jadi?” Karena beberapa hari yang lalu mereka berjanji akan pergi ke rumah Om Firman hari ini.
Zinu terlihat berpikir selama beberapa saat. “Lo yakin?”
Kening Fany berkerut. Apa maksudnya dengan yakin atau tidak? Tidak seperti Bintang Zinura Prambudi saja, bertanya pertanyaan ambigu seperti itu. “Kenapa enggak?”
Zinu mengembuskan napas pelan. “Ya udah, ntar tunggu gue di halte depan sekolah aja.”
Nah kan! Biasanya Zinu yang akan menunggu Fany. Itu pun bukan di halte, tapi di depan kelas gadis itu. Sejenak Fany ingin membatalkan janji mereka. Tapi ia masih ingin bertemu Om Firman. Lebih tepatnya belajar langsung pada seorang pengacara. Ia masih ingin memuaskan rasa ingin tahunya tentang ilmu hukum.
Ya sudah. Tidak apa-apa. Siapa tahu nanti pulang sekolah suasana hati lelaki itu kembali membaik. Atau paling tidak, nanti Fany bisa bertanya.
Fany berjalan meninggalkan kantin. Kemudian teringat sesuatu yang penting. Ah! Ia lupa memberi tahu Zinu bahwa ponselnya disita Papa.
***
Seperti yang diperintahkan Zinu, Fany menunggu lelaki itu di halte dekat sekolah mereka. Sepuluh menit hingga tiga puluh menit pertama Fany masih bisa bersabar. Mungkin Zinu masih mengerjakan sesuatu yang membuatnya lama datang. Tapi ketika sudah lebih dari satu jam, keraguan Fany mulai muncul.
Apa yang sebenarnya sedang Zinu lakukan di dalam sana? Kenapa lama sekali? Apakah Zinu benar-benar ingin mengajaknya ke rumah Om Firman? Apakah Zinu lupa? Atau Zinu masih dalam suasana hati yang tidak baik seperti tadi pagi?
Ada apa sih sebenarnya?
Seandainya ponsel Fany tidak disita, gadis itu pasti sudah berkali-kali meneror nomor ponsel Zinu. Haruskah Fany pulang saja?
Embusan napas berat Fany keluar lagi entah untuk yang ke berapa kali. Fany bosan. Fany kesal. Enak saja Zinu membuatnya menunggu sangat lama. Memangnya dia pikir Fany adalah orang yang tidak memiliki kesibukan?
Fany berdiri. Hampir saja ia pergi ketika tiba-tiba sebuah mobil hitam berhenti tepat di depannya. Fany berniat mengabaikan. Namun ketika melihat sang pemilik mobil keluar, niat Fany terurungkan.
Arka. Bersama seorang temannya. Dan kedua orang itu berjalan menghampiri Fany dengan seringai yang sangat menjijikkan.
“Sendirian aja? Mana cowok lo?” tanya Arka.
Fany menatap kedua laki-laki yang ada di hadapannya dengan malas. Haruskah ia meladeni mereka? Haruskah Fany membuang waktunya yang berharga untuk menanggapi omong kosong mereka?
Lupakan saja!
Fany melangkah pergi. Tapi tanpa gadis itu sadari, Arka melempar kode pada temannya, dan detik berikutnya kedua orang itu membungkam mulut Fany, menyeret gadis itu masuk ke dalam mobil.
***
“LEPASIN GUE!”
Fany berteriak. Tapi siapa yang akan menolongnya ketika dirinya berada di dalam mobil seperti ini? Dengan seorang laki-laki yang berusaha menyudutkannya, laki-laki yang berusaha melakukan tindakan tak senonoh padanya.
“LEPAASSS!”
Fany masih berontak, tapi tenaganya tak sebanding dengan tenaga Arka yang jauh lebih kuat. Apalagi ketika tiba-tiba laki-laki sialan itu menampar pipinya dengan keras.
“Bisa diem nggak?!” bentak Arka.
“Gue bakal laporin lo ke polisi.”
Arka tertawa. “Laporin aja. Tapi sebelum itu gue mau ngasih lo pengalaman tak terlupakan dan gue yakin lo bakal ketagihan.”
Detik ketika Arka merobek seragamnya, detik itu juga Fany merasa ingin mati.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Eftychis
Romance#1 mimpi dari 8,15k cerita Kata Papa Fany, dokter adalah satu-satunya profesi ideal di bumi. Maka anak-anaknya tidak boleh mencari profesi lain selain dokter. Termasuk Fany. Keyakinan itu pun melekat di kepala Fany, sampai Fany bertemu dengan Zinu...