Hari itu, Fany bisa melihat sosoknya dengan mata kepalanya sendiri. Tapi ada yang berbeda. Fany Pinasthika yang dilihatnya kini lebih tinggi. Rambutnya masih sama panjang, dengan ujung yang dibuat lebih bergelombang. Tapi sekarang wajahnya terlihat lebih dewasa, dan sorot matanya kini memancarkan kepercayaan diri yang lebih dari biasanya. Terlihat seperti wanita dengan umur di akhir dua puluhan.
Fany menggunakan setelan formal. Berdiri di tengah ruang sidang. Bicara dengan tegas dan lancar, tentang bukti-bukti yang ia miliki untuk mendukung klaimnya. Bahwa orang yang menjadi tersangka pembunuhan, yang saat ini sedang dibelanya memang tidak bersalah.
Fany tersenyum melihat dirinya sendiri yang tampak begitu mengagumkan. Ketika hakim memutuskan bahwa tersangka dinyatakan bebas, kebahagiaan yang dirasakan Fany dewasa tertular padanya. Dua bulir air mata Fany bahkan terjatuh ketika melihat wanita yang menjadi klien itu memeluk Fany dewasa. Berterima kasih karena telah membantunya terbebas dari tuduhan membunuh suaminya sendiri.
Lalu seketika keadaan berubah. Ketika Fany berkedip, tiba-tiba gadis itu sudah mendapati dirinya berada di sekolah. Kali ini bukan sosok Fany dewasa yang Fany lihat, tapi sosok berseragam SMA yang sangat ia kenal. Dirinya sendiri.
Jika tadi Fany seolah melihat masa depan, kali ini Fany melihat masa lalu. Ketika gadis itu berdiri di tengah lapangan, membawa megafon dan mengatakan bahwa Zinu bukanlah pencuri. Selanjutnya Fany melihat ketika dirinya berjuang keras mengumpulkan bukti. Mulai dari CCTV, wawancara dengan beberapa orang, hingga bukti yang ia dapat dari Toni. Semua itu berujung pada saat di mana sekolah memutuskan bahwa Zinu memang tidak bersalah.
Fany merasakan perasaan puas yang luar biasa. Dan sekali lagi, gadis itu merasa bahagia.
Fany terbangun dari tidurnya pukul lima pagi. Gadis itu mengerjap, melihat langit-langit kamarnya yang berwarna putih, sambil mengingat serentetan mimpi yang baru saja ia dapatkan. Mimpi yang anehnya terasa begitu nyata dan masih bisa Fany ingat ketika bangun.
Berada di tengah-tengah sidang.
Membantu Zinu.
"Gue emang nggak tahu apa-apa tentang lo. Tapi sejauh yang gue lihat, lo seolah memprioritaskan belajar sama pentingnya dengan bernapas. Katakan, apa gue salah?"
"Gue emang perlu belajar buat meraih apa yang gue mau. Karena gue... gue mau jadi dokter."
Benarkah? Benarkah itu yang Fany inginkan?
"Nama lo itu Fany. Fun. Senang. Tapi gue nggak pernah tuh, lihat muka lo nunjukin kalau lo lagi seneng."
Tidak. Zinu salah. Ada satu momen membahagiakan yang masih Fany ingat sampai detik ini. Yaitu ketika usahanya membela Zinu tidak sia-sia.
Dan detik itu, Fany mulai mengetahui apa yang diinginkannya dalam hidup.
Menjadi pengacara.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Eftychis
Romance#1 mimpi dari 8,15k cerita Kata Papa Fany, dokter adalah satu-satunya profesi ideal di bumi. Maka anak-anaknya tidak boleh mencari profesi lain selain dokter. Termasuk Fany. Keyakinan itu pun melekat di kepala Fany, sampai Fany bertemu dengan Zinu...