Zinu dan Fany keluar dari bangunan kos dua lantai itu dengan lesu. Ini sudah kos ke sebelas yang mereka kunjungi, tapi tidak ada satu pun yang sesuai. Jika ada yang bagus, harganya di luar jangkauan Fany. Jika ada yang harganya sesuai, tempatnya pasti kotor dan tidak terawat. Sejauh ini Fany belum menemukan kos sederhana yang bersih, dengan harga yang terjangkau.
“Mau makan dulu, Fan?” tanya Zinu sambil memberikan helm. “Udah jam makan siang, nih.”
Fany mengangguk. “Gue traktir, ya. Sorry bikin lo capek sejak pagi.”
“Gue justru bakalan lebih capek kalau biarin lo keluyuran cari kos sendiri. Gue khawatir.” Zinu tersenyum menenangkan kemudian naik ke atas motornya. Fany mengikuti. Keduanya pun tiba di sebuah warung mi ayam dan makan dengan lahap. Mencari kos ternyata cukup menguras energi.
“Fan, kenapa nggak pilih yang ketiga tadi aja? Yang cat rumahnya warna biru,” tanya Zinu pada gadis yang duduk di hadapannya. “Kosnya bersih. Udah ada isinya, tinggal pakai. Nggak kemahalan kok kalau harga segitu, ntar bisa gue bantu juga.”
Fany menyeruput es jeruknya sebelum menjawab, “Mahal buat gue, Zin. Katakanlah gue bisa bayar sebulan dua bulan pertama, tapi seterusnya gue mungkin bakalan pusing. Mending cari kos yang nggak ada isinya aja, lebih murah perbulannya. Tinggal beli kasur satu, udah. Sisanya bisa nyusul. Yang penting bisa buat tidur.”
Zinu mengangguk pelan. Dalam hati ia iba pada Fany. Gadis yang biasa hidup berkecukupan, tiba-tiba berubah hanya dalam sekejap mata. Namun Zinu kagum, karena Fany mampu bertahan. Bahkan menolak bantuan finansial dari Zinu jika kondisinya tidak benar-benar terpepet.
Mereka makan dengan lahap. Tak lama kemudian Fany berhenti ketika melihat ponselnya berdering. Gadis itu terdiam sesaat, menelan ludahnya dengan gugup, kemudian mengangkat teleponnya.
“Halo, Ma?”
Zinu menatap Fany. Gadis itu mendengarkan telepon sambil mengaduk mi ayamnya dengan tidak bersemangat. Zinu menunggu Fany berbicara dan berharap bisa mengerti percakapan yang hanya bisa ia dengar satu arah itu.
Namun Fany tidak bicara banyak. Gadis itu hanya bicara, “Hm. Nanti Fany kabari,” setelahnya menutup telepon dan menghela napas panjang.
“Kenapa, Fan?”
“Mama,” gumam Fany lesu. “Mama pengin ketemu aku nanti sore.”
***
Fany dan ibunya bertemu di sebuah kafe. Fany lebih banyak menunduk dan meminum es vanilanya daripada menatap sang ibu yang duduk di depannya. Perasaan Fany masih tak menentu. Mungkin ia hanya marah dan kecewa pada ayahnya, tapi entah kenapa rasa itu juga merembet pada sang ibu yang selama ini lebih banyak diam.
“Jadi kamu kapan pulang, Fan? Ini sudah tiga hari. Kamu tidur di mana?”
Dalam hati Fany mencibir. Kenapa baru datang setelah tiga hari? Namun ia memilih untuk menelan kalimat itu dan mengucapkan hal lain, “Aku nggak mau pulang kecuali Papa ngizinin aku masuk hukum. Aku juga pengin ngerasain punya mimpi.”
“Kita coba bujuk Papa lagi, ya? Mama bantuin,” kata Isti.
Fany mengembuskan napas dan menggeleng. “Kita tahu gimana kerasnya Papa, Ma. Aku nggak mau berharap banyak di saat aku tahu harapanku nggak akan terkabul gitu aja.”
“Terus kamu mau gimana?”
“Biarkan aku berjuang. Sekalipun pilihanku ternyata salah, biar aku sendiri yang menyesalinya nanti. Sekali aja, aku ingin memilih dan bertanggung jawab atas pilihanku sendiri,” kata Fany sungguh-sungguh.
Isti menghela napas berat. Wanita paruh baya itu menatap putri bungsunya dengan mata berkaca-kaca.
Fany mengalihkan pandangannya ke arah lain. “Jangan lihat aku kayak gitu, Ma. Aku baik-baik aja. Aku punya tabungan kok,” kata Fany.
Sekali lagi Isti menghela napas, kemudian ia meraih dompetnya dan memberikan sebuah kartu debit pada Fany. “Kalau gitu kamu ambil ini. Meskipun nggak banyak, paling tidak bisa buat nambahin biaya kuliah sama buat makan.”
Fany terdiam.
“Fan, Mama percaya kamu. Kamu boleh berjuang. Tapi jangan lupa, rumahmu masih ada di tempat yang sama. Kamarmu masih utuh. Jalan pulangmu nggak berubah. Pintu itu akan selalu terbuka buat kamu, kalau kamu merasa di luar sana semakin dingin.”
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Eftychis
Romansa#1 mimpi dari 8,15k cerita Kata Papa Fany, dokter adalah satu-satunya profesi ideal di bumi. Maka anak-anaknya tidak boleh mencari profesi lain selain dokter. Termasuk Fany. Keyakinan itu pun melekat di kepala Fany, sampai Fany bertemu dengan Zinu...