Bertahun-tahun Zinu sekolah, ini adalah kali pertamanya ia belajar dengan sungguh-sungguh. Waktu yang biasanya Zinu gunakan untuk nongkrong atau bermain game, kini digunakannya untuk belajar. Sebelum tidur, bangun tidur, mandi, bahkan saat buang air besar pun ia selangi dengan menghafal materi. Kuota yang biasa lenyap untuk menyaksikan video musik di youtube, kini lenyap untuk melihat video belajar. Zinu bahkan menghubungi teman-temannya, meminjam catatan maupun meminta penjelasan. Mereka sampai heran, tak sekali dua kali bertanya apakah Zinu salah makan, atau kepalanya terbentur sesuatu atau kesurupan? Tak hanya teman-teman Zinu, orang tuanya pun sempat heran melihat putra semata wayangnya belajar. Juga merasa sayang, kenapa anak itu rajin ketika sudah di-DO? Ah, manusia memang tak tahu apa yang menunggunya di depan, yang mungkin bisa mengubah hidupnya dalam sekejap mata.
“Zinu! Fany udah dateng!”
Zinu mendengar mama memanggilnya dari luar. Lelaki itu buru-buru keluar dari kamarnya, menghampiri Fany yang sudah duduk di ruang tamu, bahkan sudah mulai mengeluarkan buku.
“Mana soal latihannya? Biar gue periksa,” todong Fany tepat setelah Zinu meletakkan pantatnya di sofa.
Zinu mengeluh. “Sabar kenapa sih, Fan. Baru juga ketemu. Ngapain dulu kek. Nanya gue udah makan belum, atau cerita hari lo di sekolah, atau bilang kangen gue, atau apa gitu.”
Namun tampaknya Fany tak teralihkan. Ia terus menodongkan tangannya pada Zinu, sehingga Zinu mau tak mau harus menyerahkan buku latihan soal yang ia bawa.
Fany mengoreksinya. Zinu melihat gadis itu dengan was-was sambil menggigit bibir bagian dalamnya. Terutama ketika Fany berulang kali mencoret jawaban Zinu dan menatapnya dengan tatapan membunuh.
Fany selesai mengoreksi. Gadis itu menutup buku di pangkuannya, meletakkan pena di atas buku, melipat tangan di dada lalu menatap tepat ke bola mata Zinu.
“Salah semua, ya?” Zinu menciut.
Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Dan... “25 dari 50 soal,” katanya singkat, padat, jelas, dan datar.
Zinu langsung mengembuskan napas yang sejak tadi ia tahan. Rasanya seperti ada yang mencekik lehernya, lalu kembali dilepas tepat sebelum Zinu kehabisan napas. Lega sekali. Tapi juga sial. Terkadang ia tidak paham kenapa bibirnya selalu bisa Fany buat membisu.
“Syukurlah. Gue kira bakalan salah semua atau cuma lima yang bener.” Zinu memuji dirinya sendiri.
“Jangan seneng dulu! Kemarin aja lo bisa bener 29, sekarang malah turun jadi 25. Seharusnya lo—”
“Yang penting kan setengahnya udah benar,” potong Zinu.
“Mana bisa begitu!”
“Bisa, lah. Seperti roda kehidupan yang berputar, hidup manusia kadang di atas kadang di bawah. Jawab soal pun begitu. Kadang banyak salahnya, kadang banyak benarnya. Yang penting kan dijawab.”
Fany memutar bola matanya. “Lo ngomong apa, sih? Nih kerjain tryout 6!”
Zinu merengek. “Faaannnn, gue capek belajaaarrrr...”
“Katanya mau jadi pacar gue?”
“Ya iya mau jadi pacar lo. Makanya gue belajar. Tapi sekarang gue lagi bener-bener capek, Fan. Serius. Badan gue juga masih pegel latihan bela diri terlalu keras tadi pagi.” Zinu mengangkat dua jarinya, menunjukkan keseriusan. “Ntar malem gue kerjain, deh. Besok lo koreksi lagi. Gimana?”
Fany sebenarnya enggan mengabulkan permintaan Zinu. Laki-laki itu masih butuh banyak belajar di kondisinya yang sekarang. Tapi melihat wajah lesu Zinu, juga kantung mata yang menunjukkan bahwa lelaki itu tidak berbohong, Fany pun menyerah. “Oke. Cuma hari ini aja, ya!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Eftychis
Romance#1 mimpi dari 8,15k cerita Kata Papa Fany, dokter adalah satu-satunya profesi ideal di bumi. Maka anak-anaknya tidak boleh mencari profesi lain selain dokter. Termasuk Fany. Keyakinan itu pun melekat di kepala Fany, sampai Fany bertemu dengan Zinu...