Fany sampai di rumah Zinu. Rumah lelaki itu cukup besar jika dilihat dari depan. Tingkat dua, dengan cat putih tulang mendominasi dindingnya. Zinu mengajak Fany masuk. Tapi tidak untuk duduk, Fany langsung diarahkan ke gudang rumah lelaki itu.
Gudang itu pengap dan gelap. Tapi ketika Zinu menyalakan lampunya, Fany cukup terkejut melihat banyaknya foto-foto, piala dan piagam penghargaan yang dibingkai dan ditempel di dinding. Benda-benda itu seolah diletakkan pada tempat yang salah; gudang. Perhatian Fany terfokus pada foto-foto itu; foto seorang anak lelaki yang berdiri di atas panggung memegang microphone. Bukan hanya satu panggung, tapi banyak sekali. Berjajar dengan rapi di dinding gudang yang pengap.
Fany menatap Zinu dengan alis terangkat. “Lo... penyanyi?”
Zinu terdiam sesaat, kemudian bergumam, “Dulu gue pernah punya suara bagus.” Lelaki itu tersenyum getir. Menertawakan dirinya sendiri. “Seperti yang lo lihat. Semua hanya berakhir di sini tanpa berarti apa-apa.”
“Kok bisa?”
Zinu menatap Fany. Tersenyum kecil. Berusaha menceritakan masa lalunya tanpa harus terlihat menyedihkan. Juga berusaha menjelaskannya dengan cepat, tanpa mau mengingat peristiwa-peristiwa pahit itu lebih lama. “Gue pernah mengalami kecelakaan parah. Demi menyelamatkan hidup gue, dokter harus bikin lubang di tenggorokan gue. Dan itu artinya gue nggak akan bisa nyanyi lagi,” jelasnya singkat, cepat dan cukup jelas bagi seseorang dengan otak encer seperti Fany.
Fany masih menatap Zinu dengan tatapan tak percaya.
“Selalu ada konsekuensi dari setiap pilihan, kan? Orang tua gue selalu bilang nggak pa-pa. Yang terpenting adalah gue selamat. Yang penting adalah gue hidup. Tapi bagi gue, detik ketika mimpi itu direnggut, detik itu juga hidup gue ikut mati.”
“Kenapa lo berpikir seperti itu?”
“Seperti yang lo lihat, gue nggak bisa apa-apa. Otak gue nggak encer kayak lo. Nilai-nilai gue pada jeblok. Sejak kecil, yang gue bisa ya cuma nyanyi. Bakat gue hanya itu. Jadi, menurut lo, apa hidup gue masih baik-baik saja setelah satu-satunya yang gue bisa direnggut paksa?” kata Zinu. Fany hanya diam. “Saat itu gue marah. Gue udah buang semua ini ke tempat sampah. Dan gue nggak tahu kalau ternyata diambil lagi sama Mama.”
Zinu memaksakan senyumnya kepada Fany. Kepalanya sudah cukup berdenyut dengan mengingat masa-masa tersulit hidupnya. Ia harus mengakhiri ini dengan cepat, dan mengajak Fany keluar dari tempat menyesakkan ini. “Jadi, lo salah, Fan. Bukan karena gue nggak pernah mikirin masa depan. Tapi memang udah nggak ada lagi yang bisa gue lakuin. Udah nggak ada harapan lagi.”
Zinu segera menarik tangan Fany pergi bahkan sebelum gadis itu sempat menjawab. Zinu sudah merasa sesak. Zinu tidak sanggup lagi berada di tempat itu, bersama kenangan yang ingin ia lupakan, yang nyatanya masih sering menghantui tidur Zinu.
Bali.
Selancar.
Dia.
Tawa yang hilang.
Hangat yang berubah beku.
Mobil yang terguling.
Meja operasi.
Koma.
Hingga Zinu bukan Zinu lagi.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Eftychis
Romance#1 mimpi dari 8,15k cerita Kata Papa Fany, dokter adalah satu-satunya profesi ideal di bumi. Maka anak-anaknya tidak boleh mencari profesi lain selain dokter. Termasuk Fany. Keyakinan itu pun melekat di kepala Fany, sampai Fany bertemu dengan Zinu...